38. Felix and Levana

110 16 4
                                    

Chapter ini dibuat dari sudut pandang orang pertama

Chapter ini dibuat dari sudut pandang orang pertama

Deze afbeelding leeft onze inhoudsrichtlijnen niet na. Verwijder de afbeelding of upload een andere om verder te gaan met publiceren.


—FELIX

Rasanya ada beribu-ribu perasaan bersalah yang berusaha menyeruak masuk secara bersamaan ketika lihat kak Leo melihat Hasnan yang membawaku pergi menjauh dari dia. Dia terlihat kebingungan dengan situasi saat itu, terlebih waktu Hasnan bilang ke dia, "Lo balik aja duluan, Felix harus gue bawa."

Aku juga belum sempat bilang terimakasih, atas perlakuannya tadi yang bikin aku bisa bernafas dengan lebih baik. Sekaligus perasaan lega dan hangat yang akhirnya bisa bikin aku tenang.

"Saya sekarang di sini, Felix. Kamu bisa jelasin apa yang kamu rasain sekarang."

Suara tante Susan, Mamanya Hasnan, nyaring masuk ke dalam gendang telingaku melalui sebuah panggilan video. Dia menatapku penuh perhatian.

Apa yang aku rasain sekarang..?

"Pusing." Jawaban itu akan menjadi jawaban singkat sebelum pikiranku melambung jauh ke sebuah memori yang terjadi beberapa tahun yang lalu, memori baik dan tragis yang... gak tau.. ingin dilupakan atau disimpan seumur hidupku.

Salah satu memori, dari banyaknya memori yang berharga dan tragis di hidup.

Memori tentang dia.

Tentang Levana Arumi Wicaksana yang biasa dipanggil Eva. Seorang siswi yang nggak cuma baik, cantik, tapi keibuan dan bijaksana. Kata-kata gak mampu mendeskripsikan dia.

Cerita itu gak bohong, aku yang bikin Eva menderita sampai dia meninggal di akhir hidupnya.

"Halo! Nama gue Levana Arumi Wicaksana." Suara nyaringnya yang justru lembut dan ceria. "Pak Ade yang nyuruh gue buat nemenin lo keliling sekolah." Aku inget saat dia tiba-tiba dengan percaya dirinya datengin aku yang duduk melamun di bangku sendirian pas istirahat.

Waktu itu aku kesusahan buat beradaptasi di lingkungan baru, terlebih setelah ketemu sama Om Wira dan kak Christ-yang sekarang udah biasa aku panggil Ayah dan kakak secara tiba-tiba beberapa hari sebelum masuk ke sekolah itu. Seolah dunia kasih kejutan yang gak pernah terduga melalui misterinya, sehingga mukaku terlihat agak kurang berminat dengan apapun bahkan sekedar untuk punya temen karena hari-hari tahun itu begitu suram.

Tersenyum pun aku sama sekali kurang berminat, terlalu banyak hal yang penuh di dalam pikiranku.

"Oh.. ya.. halo, Levana." Kataku menatapnya ragu.

"Pffft," aku gak tau apa yang lucu, "Hahaha, aduh, panggil gue Eva aja. Levana kepanjangan." Dia tersenyum lembut dan saat itu aku bisa tahu kalau itu senyuman yang paling tulus setelah senyum Mama. Setidaknya itu yang aku pikirkan saat itu.

"... oke Eva.." aku akhirnya mengangguk-angguk sebelum akhirnya aku mengikutinya mengelilingi kawasan sekolah karena hari itu adalah hari dimana aku jadi murid baru di semester genap awal.

Je hebt het einde van de gepubliceerde delen bereikt.

⏰ Laatst bijgewerkt: Jan 22 ⏰

Voeg dit verhaal toe aan je bibliotheek om op de hoogte gebracht te worden van nieuwe delen!

Palette [Changlix]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu