Rapunza menjatuhkan gelasnya syok saat tak sengaja mendengar percakapan Lusi dan Boy di pagi buta ini.
Kedua manusia yang tengah membahas sebuah topik serius pun menoleh kaget. Boy yang tahu ada serpihan kaca di lantai jelas bergegas mendekati Rapunza yang mematung.
"Kebakaran? Maksudnya apa?" suara Rapunza bergetar.
Boy tidak menggubris, fokus pada kaki sang istri lalu menggendongnya yang seperti patung itu.
"Lusi," Rapunza menatap asistennya yang menunduk sedih.
Rapunza tidak dapat jawaban sampai dia didudukan di kasurnya dan Boy.
"Boy!"
Boy menghela nafas. "Kebakaran kecil, sayang. Masalahnya ga hanya itu, tapi kita kemalingan juga," jelas Boy dengan terpaksa.
"A-apa?" Rapunza semakin syok, bisnisnya yang akan resmi di buka dua hari lagi mendapat masalah cukup serius jelas membuatnya pening.
"Jangan banyak pikiran, inget anak kita sayang! Aku ga kasih tahu karena—"
"Bisnis aku hancur?" suara Rapunza bergetar lirih.
Boy menghela nafas. "Kata siapa? Aku sama Lusi ga akan biarin itu terjadi!" yakinnya seraya mengusap perut Rapunza.
"Hiks.. Hikss.."
Boy memeluk Rapunza, menenangkannya tanpa banyak kata. Biarkan Rapunza mengeluarkan kesedihannya, barulah dia jelaskan secara rinci kejadian tiga hari yang lalu.
"Pantes hiks kamu sibuk, ternyata hiks.." tangis Rapunza semakin kencang.
***
Boy setia menemani sang istri yang harus kembali di rawat, fisiknya kembali melemah. Jelas semua khawatir namun beruntungnya Rapunza hanya perlu di infus vitamin tanpa istirahat total seperti sebelumnya.
"Masalah udah kelar, kita bisa memperbaiki semuanya. Kamu harus cepet sehat, bayi kita butuh mamahnya, kamu jangan banyak pikiran, sayang,"
Rapunza mengangguk, membalas genggaman tangan Boy dengan erat. "Makasih, maaf aku ga bisa bantu. Aku emang bodoh, ga bisa berdiri sendiri. Tanpa papah sama kamu aku cuma—"
"Jangan mulai!" Boy jelas tidak suka mendengar Rapunza merendahkan dirinya sendiri di saat Boy selalu menjunjung tinggi Rapunza bagai ratu di hidupnya.
Rapunza terisak pelan di dada bidang Boy, disambut Boy yang langsung merengkuhnya mesra nan hangat.
"Ini musibah, hidup tanpa ada halangan namanya bukan hidup. Kamu ga bisa menuntut kebahagiaan setiap detik," Boy mengusap punggung Rapunza yang bergetar.
Rapunza semakin menenggelamkan wajahnya ke dada Boy hingga air matanya membasahi kaos yang di pakai Boy.
"Nanti dedenya ikut nangis," bisiknya dengan terus dia usap punggung dan kepalanya.
Rapunza tetap terisak walau perlahan melemah dan terlelap.
Boy mengangkat perlahan kepala Rapunza lalu merebahkannya di bantal rumah sakit dengan hati-hati. Tak lupa dia selimuti.
Boy mengecup kening Rapunza lalu duduk di sofa dan mulai menyalakan laptop.
Tak lama pintu terbuka. Bagas dan Zoela datang, menatap kasur rumah sakit.
"Udah lama tidurnya?" tanya Zoela.
Boy menyambut, membiarkan Bagas dan Zoela agar duduk di sofa.
"Gimana keadaan Rapunza?" Bagas merangkul Boy agar duduk di sebelahnya.