Dirty Hands

18 7 0
                                        

"Oeeeegh! Uhuk! Uhuk!"

Armin tersungkur di tepi jalan, muntah tanpa bisa menahannya. Tubuhnya bergetar, wajahnya pucat, dan keringat dingin membasahi pelipisnya. Udara terasa berat, seakan aroma kematian masih melekat di hidungnya.

Tangannya mencengkeram dada, mencoba mengatur napas yang tersengal-sengal. Namun, setiap kali ia menutup mata, adegan itu kembali terputar dalam benaknya—darah, suara tembakan, dan tubuh yang ambruk tak bernyawa.

Armin menggigit bibirnya, menahan isakan yang mulai naik ke tenggorokannya.

Di belakangnya, Mikasa hanya bisa diam. Matanya menatap punggung sahabatnya yang gemetar, merasa kasihan.

Tanpa banyak bicara, ia berlutut dan mengulurkan tangan, mengusap punggung Armin dengan lembut. Gerakannya pelan, tapi cukup untuk memberikan sedikit ketenangan.

Armin terdiam sesaat, merasakan kehangatan itu di antara dinginnya ketakutan yang masih mencengkeram pikirannya.

Sebelum ia sadar, bibirnya menggumam pelan.

"Apa Mikasa juga merasakan hal yang sama?"

Suara itu nyaris tidak terdengar, tapi cukup bagi Mikasa untuk menangkapnya.

Ia menundukkan pandangan.

Tentu saja.

Tentu saja ia juga merasakan hal yang sama.

Namun, berbeda dengan Armin, Mikasa sudah terbiasa mengubur perasaannya dalam-dalam. Ia telah melihat terlalu banyak kematian, terlalu banyak kehilangan. Ia tahu, di dunia ini, kelemahan hanya akan membawa kehancuran.

Tapi melihat Armin seperti ini…

Mikasa mengeratkan usapannya sebentar sebelum akhirnya menarik tangannya kembali.

Armin tersadar dari lamunannya. Ia buru-buru menghapus air mata yang sempat menggenang di sudut matanya, lalu bangkit dengan susah payah.

Mikasa mundur setengah langkah, memberikan ruang bagi sahabatnya untuk menenangkan diri.

“Maaf,” gumam Armin, suaranya masih sedikit bergetar.

Mikasa menatapnya sebentar sebelum menjawab.

“Tidak apa.”

Dan di antara sunyi yang menyelimuti mereka, hanya desiran angin yang menjadi saksi atas luka yang tak terucapkan.

Flashback

Dor!

Satu tembakan meletus, menembus kepala lawan dengan presisi mematikan. Darah berceceran di udara, bercampur dengan suara gemuruh pertempuran yang masih berkecamuk.

Jean terbelalak. Matanya membesar melihat kepala itu meledak akibat tembakan Armin. Napasnya tercekat, seakan seluruh dunia berhenti sejenak.

Mikasa yang berdiri di dekat mereka juga tersentak. Seketika itu juga, keseimbangannya hampir goyah akibat suara tembakan yang begitu menggema.

BRAK! BRAK! BRAK! BRAK!

Di atas atap, tubuh beberapa orang terlempar seperti boneka yang kehilangan kendali. Garou melayang di antara mereka, tubuhnya bergerak cepat, memukul, menghancurkan, dan menyingkirkan siapa pun yang menghalangi jalannya.

“Oi, sudah selesai belum?” serunya tanpa henti, menahan serangan dari para pengejarnya yang masih tersisa.

Levi melirik ke belakang. Tiga orang masih mengejar mereka dengan cepat.

 OMINOUS THE FUTURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang