Part 8 - Seni Melukis Luka

764 104 10
                                    

"Di mana Haechan?"

Papa tiba-tiba datang ke rumah padahal dia tadi bilang kalau tidak akan pulang. Renjun yang baru selesai mengobati Haechan dan membawanya ke kamar itu kini sedang duduk di sofa ruang tamu dengan pandangan kosong karena Haechan tidak kunjung sadar.

"Renjun, Haechan ada di mana?" tanya Papa, ia menyentuh pelan bahu Renjun hingga membuat pemuda itu tersadar.

"Di kamar," balas Renjun cepat.

Papa menatap Renjun dengan pandangan aneh, ia biasanya banyak bicara apalagi Papa tiba-tiba pulang padahal tadi ia pamit kalau tidak akan pulang malam ini. Papa menggelengkan kepala, ia lantas menaiki anak tangga hingga tiba di kamar Renjun.

Renjun menoleh ke arah kamarnya dengan lemas, entah dorongan apa ia jadi berdiri dan membuntuti papanya. Renjun hanya berdiri di luar kamar saat Papa masuk, ia bersandar di dinding dekat pintu dan tubuhnya merosot begitu saja. Renjun takut sesuatu yang buruk akan terjadi pada Haechan, ia ingin menangis tetapi tidak bisa karena ada Papa di dekatnya.

"Renjun!"

Pemuda itu terkejut setengah mati saat Papa tiba-tiba berteriak, tangannya yang gemetar berusaha menopang tubuh agar bisa berdiri, ia masuk kamar saat Papa meneriakinya lagi.

Papa memasang wajah emosi, dia menunjuk Haechan yang terbaring tidak sadarkan diri di kasur lalu bergantian menunjuk Renjun.

"Kenapa Haechan sampai terluka seperti ini? Lihat! Dia sampai pingsan!" Papa mendekat ke arahnya dan emosinya semakin memuncak.

Renjun menundukkan wajahnya. "Maaf, Pa. Aku tidak bisa menjaga Haechan."

Papa mengacak rambutnya frustrasi. "Kau tidak becus sebagai kakak, mengurus satu adek saja nggak bisa! Bahkan Haechan sampai terluka begini, kalau mamanya tahu dia pasti membencimu juga."

"Ya aku harus gimana, Pa? Aku tidak bisa dua puluh empat jam di samping, Haechan!" Renjun mengepalkan tangannya.

"Berani menjawab!"

Plak!

Sebuah tamparan kuat melayang di pipi Renjun hingga membuat pemuda itu oleng. Renjun merasakan pipi kanannya perih dan bibirnya sobek hingga mengeluarkan darah. Renjun memejamkan mata, tangannya terkepal kuat tetapi air matanya mulai menetes.

"Kalau sampai besok Haechan masih tidak sadar bagaimana? Papa nggak ingin dia sampai tidak datang ke pernikahan."

"Persetan dengan pernikahan sialan itu," balas Renjun dengan suara dalam yang penuh dendam.

"Kau bilang apa?"

Tamparan dilayangkan di pipi kiri Renjun hingga dia oleng dan terjatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangannya. Renjun menatap wajah Papa dengan nyalang, matanya memancarkan dendam yang luar biasa.

"Aku bilang akan membunuhmu." Tatapan Renjun semakin menajam, matanya seperti gelap akan dendam.

Papa menarik kerah baju Renjun hingga pemuda itu berdiri. "Sebelum kau membunuhku, aku yang akan membunuhmu, Renjun. Kau tahu, kau dulu memang anakku satu-satunya dan kau memang menyusahkan. Andai aku bisa menukarmu, aku akan menukar Wendy denganmu, lebih baik aku kehilangan anak daripada kehilangan seorang istri."

"Tukar saja, bawa kau ke persembahan iblis dan tukar saja!"

Papa melembar tubuh Renjun hingga punggungnya menabrak tembok, ia meringis kesakitan karena tenaga papanya tidak main-main.

"Kalau sampai besok kalian tidak datang ke pernikahan. Kau yang terima akibatnya, Renjun!" Papa memandang Renjun dengan tatapan serius.

Brak!

Dear My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang