Part 18 - Lukisan Luka

500 68 8
                                    

Langit yang agak mendung dengan angin semilir menyegarkan membuat Renjun sejenak tersenyum, kemudian tangannya menggoreskan kuasnya pada kanvas hingga tercipta lah coretan-coretan indah yang serupa dengan kondisi langit sekarang, tetapi Renjun menambahkan kesan senja sehingga langit yang ada di lukisannya berwarna jingga kemerahan dengan padang bunga mawar di bawahnya.

Suara petikan gitar dari Haechan di sebelahnya menambah kesan menenangkan sore hari ini walaupun Haechan dari kemarin hanya memainkan satu lagu itu terus-menerus.

Mereka kini duduk bersantai di balkon kamar sembari melakukan hobi masing-masing, Renjun yang memang ingin melukis karena lama dia tidak melukis dan Haechan yang akhirnya setelah sekian lama bisa mengasah bakatnya lagi di bidang musik.

Perpaduan seni dan musik begitu indah.

Fokus Renjun pecah saat Haechan menyanyikan lagu yang sama sampai-sampai Renjun bosan mendengarnya, tetapi Renjun tidak sampai hati untuk mengomeli Haechan karena adiknya itu terlihat sangat menghayati saat menyanyikan setiap bait lagu dengan petikan jari di senar-senar gitar.

Haechan menghentikan jemarinya yang memainkan senar gitar, ia kemudian menatap pada Renjun. "Kenapa kau suka melukis, Renjun?"

"Hobi," jawab Renjun singkat, ia meletakkan kuasnya kemudian mencampurkan cairan yang ada di botol ke cat merah. "Lagi pula kalo dijual harganya mahal, lumayan bisa dapat uang."

"Memangnya ada orang yang beli?" tanya Haechan ragu.

"Ada, mereka yang suka seni," jawab Renjun.

Renjun melirik jemari Haechan yang terluka karena terlalu banyak main gitar. "Kau sendiri kenapa dari kemarin main lagu yang itu terus? Belum hafal kunci nada lagu lain?"

Haechan menggeleng pelan. "Tidak, aku hanya ingin berlatih lagu ini, aku ingin menunjukkan lagu ini di depan Mark Hyung."

Renjun menghela napas kasar, tangannya menggores secara brutal cat merah ke kanvas hingga cat itu habis. Pemuda itu kemudian menatap Haechan.

"Hatimu terbuat dari apa sih, Haechan? Kenapa kau begitu baik? Sesekali marah dan mengumpat tidak apa-apa."

"Ha?" Haechan tidak paham arah pembicaraan Renjun.

"Mark sudah sering menyakitimu, bahkan dia memukulmu secara fisik, dia juga mengabaikanmu, kenapa kau tidak menjauhinya? Dia bahkan bukan siapa-siapamu," ujar Renjun dengan nada kesal.

Haechan tertawa mendengar suara Renjun. "Aku kan sudah bilang kalau Mark Hyung juga Hyung-ku, Renjun. Kau dan Mark sama-sama Hyung-ku, mana bisa aku membenci dan menjauhi Hyung-ku sendiri?"

Renjun memutar bola mata malas. "Terserah. Bahkan penjual es krim di minimarket juga kau anggap Hyung-mu sendiri, semua yang kau panggil Hyung adalah Hyung-mu."

Haechan hanya tertawa mendengar penuturan Renjun, dia tidak membantah karena memang semua orang yang dia panggil Hyung maka dia anggap Hyung-nya sendiri.

"Papaku mengajarkan untuk tidak benci seseorang," kata Haechan sembari menatap langit. "Aku tiba-tiba merindukannya."

Renjun menoleh pada Haechan saat pemuda itu membahas tentang papanya, Haechan jarang sekali membahas tentang masa lalunya dan Renjun bersyukur Haechan diajarkan hal baik sama papa kandungnya.

"Akhir-akhir ini Mark tidak menyakitimu kan?"

Haechan kembali menatap Renjun. "Tidak, bahkan di sekolah aku tidak pernah melihat Mark Hyung, aku khawatir Mark Hyung kenapa-kenapa."

Renjun mengacak rambutnya frustrasi, bahkan Haechan masih mempedulikan keadaan Mark, kalo Renjun di posisi Haechan, ia bahkan tidak peduli jika orang yang selama ini memukulinya itu mati atau tidak.

Dear My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang