Kedua netra berwarna cokelat terang milik seorang pemuda terbuka perlahan, ia mengerjabkan mata dengan pelan. Ringisan terdengar pelan saat dia berusaha menggerakkan tubuhnya.
Renjun memperhatikan sekeliling, sebuah kamar yang luasnya sama seperti kamarnya dengan interior yang serupa, hanya saja kamar ini bercat biru muda. Di sini terdapat satu ranjang besar yang kini Renjun tempati, satu lemari kayu yang modelnya sama seperti miliknya. Di dekat pintu ada meja belajar yang sebelahnya terdapat rak buku yang sekarang masih kosong.
Renjun sekarang berada di kamar baru yang terletak di sebelahnya, kamar yang sebenarnya untuk Haechan tetapi adiknya itu lebih memilih untuk sekamar dengannya dan Renjun pun tidak mempermasalahkannya. Mereka berdua hanya mampir ke kamar ini sesekali untuk bermain.
"Sudah bangun?"
Suara dari samping Renjun mengejutkan pemuda itu yang dari tadi melamun. Kepalanya menoleh ke sebelah kiri dan begitu terkejutnya Renjun saat tahu Papa duduk di sana, mungkin sudah dari beberapa menit yang lalu tetapi Renjun baru menyadarinya.
Pemuda itu refleks duduk, tangannya ribut menyeret tubuhnya agar menjauh dari Papa hingga punggungnya teratuk dinding. Renjun tidak merencanakannya, tetapi tubuhnya bereaksi secara alami.
Papa yang melihat anaknya ketakutan itu hanya bisa menghela napas.
"Papa kenapa ada di sini?" tanya Renjun dengan suara serak.
"Menunggumu? Sekarang masih jam lima pagi," jawab Papa.
Renjun menarik selimut dan menyelimuti tubuhnya, ia semakin mundur dan menyembunyikan diri dari hadapan Papa. Jujur saja Renjun takut dengan Papa, ia takut kalo Papa akan memukulnya lagi.
"Jangan sampai Haechan tahu kalo semua luka ini perbuatan Papa. Papa nggak mau sampai Haechan takut sama Papa," ujar Papa di tengah keheningan.
Di balik selimut, Renjun mengepalkan tangan. Ia lantas membuka selimutnya hingga wajah itu terlihat, matanya menatap Papa dengan pandangan yang tidak bisa diartikan.
"Kenapa kalau Haechan takut sama Papa?" Matanya nyalang memandang Papa. "Kenapa aku harus berbohong di depan Haechan kalau Papa itu jahat?"
"Papa tidak mau anak sebaik Haechan menghindari Papa," jawab Papa serius yang mana mengundang kekehan dari Renjun yang kemudian berubah jadi gelak tawa.
"Iya deh Haechan memang anak kesayangan Papa." Pandangan sendu itu beralih menatap tangannya. "Boleh kok Papa memukuliku sepuasnya, entah karena Haechan terluka, entah karena aku pulang terlambat atau karena aku melukis."
Papa mencengkeram kerah baju Renjun dan menariknya hingga tubuh pemuda itu terseret ke depan. "Kau memang pantas mendapatkannya, jangan menjadi yang paling tersakiti di sini."
Renjun tertawa sarkas. "Memang kenyatannya benar? Aku yang tersakiti di sini."
Renjun melotot kaget saat tiba-tiba Papa mendorong kembali tubuhnya sampai punggungnnya teratuk di dinding. Leher Renjun ditekan dengan tangan Papa hingga membuatnya sesak napas. Mata Renjun memanas karena menahan rasa sakit di lehernya, iris cokelat itu berkaca-kaca.
"Kau tahu? Papa sangat membencimu, Renjun. Kau begitu mirip dengan mamamu hingga Papa begitu membencimu."
Kening Renjun mengernyit menahan sakit, sedangkan Papa semakin menekan kuat lehernya. Tangan Renjun ribut memukuli Papa agar cengkeraman di lehernya dihentikan.
"Kenapa ... kau membenci Mama?" Sorot mata sendu itu menatap Papa, setetes air mata turun dari pelupuk matanya.
"Karena dia meninggalkan Papa!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear My Dream
Fanfic"Apa kau menginginkan pernikahan ini, Haechan?" tanya Renjun. "Aku tidak begitu peduli, yang selama ini kuinginkan itu keluar rumah dan hidup sendiri," jawab Haechan, ia lantas menoleh pada Renjun yang dari tadi menatapnya. "Lalu kau sendiri bagaima...