Renjun mengeluarkan cat-cat beserta semua kanvas yang dia simpan di lemari kamar, Papa sudah lebih dulu keluar kamar.
Renjun melirik sekilas Haechan yang terbaring di kamar, kemudian pandangannya beralih pada Mama yang menatapnya dengan khawatir.
"Aku pergi dulu, Ma."
Renjun kemudian turun ke lantai satu mengikuti langkah Papa. Pemuda itu ketakutan, ia memikirkan banyak kemungkinan yang akan Papa lakukan padanya nanti.
Langkah Papa terhenti di sebuah gudang tempat Renjun menyimpan puluhan kanvas hasil lukisannya. Papa membuka pintu itu dan menyuruh Renjun masuk ke sana.
Papa berdiri memunggunginya, napasnya terlihat naik-turun seperti menahan amarah, kemudian pria itu berbalik dengan mata memerah dan telapak tangan yang dengan cepat mengarah pada Renjun.
Plak!
Sebuah tamparan keras mengenai pipi Renjun sampai-sampai Renjun terjatuh di atas kanvas-kanvas yang dia bawa tadi yang mana membuat sebagian frame kanvasnya patah.
Belum sempat Renjun bangkit dari posisinya, Papa sudah menarik kerah bajunya hingga Renjun berdiri, pemuda itu meringis pelan saat merasakan perih di lehernya.
Papa membiarkan Renjun berdiri di depannya, kemudian Papa mematahkan dan merobek lukisan Renjun.
"Pa, jangan," ujar Renjun, hatinya sangat sakit begitu semua karya yang dia ciptakan dihancurkan begitu saja.
Kuas-kuas dengan mudah dipatahkan oleh tangan kekar Papa seakan-akan menunjukkan jika Renjun berani membantahnya maka tulangnya akan patah seperti itu. Dan terakhir, Papa membuang cat-cat itu di lantai hingga bercampur warna-warni abstrak di lantai.
Mata Renjun berair, cat-cat itu seperti nyawa bagi pelukis sepertinya dan karya-karyanya seperti anak baginya, hatinya menjadi sedih dan emosi di saat bersamaan.
"Kenapa kau menggunakan darahmu untuk cat merah?!" Papa berteriak di depan wajah Renjun.
Mata Renjun yang memerah itu balas menatap netra Papa. "Memangnya kenapa, Pa? Papa juga mau aku pakai darah Papa buat melukis?"
Plak!
Tamparan di pipi kiri lagi-lagi Renjun terima, tetapi pemuda itu tetap berdiri tegar di atas kakinya.
"Papa tanya sekali lagi, kenapa kau menggunakan darahmu?" Papa mengguncang bahu Renjun dengan kuat.
"Karena aku benci warna merah, Pa, tapi aku suka darah," balas Renjun dengan wajah datar.
"Jangan gila!"
Renjun tertawa keras. "Aku memang sudah gila, Pa, selagi aku tidak mengganggu Papa, kenapa Papa peduli?"
"Tapi gara-gara darah itu Haechan jadi pingsan," balas Papa kesal.
Renjun mengangkat sudut bibirnya ke atas. "Kenapa Papa sangat peduli Haechan sedangkan padaku tidak? Yang sebenarnya anakmu itu siapa sih, Huang Chanyeol?"
"Papa menyayangi Haechan karena dia baik dan penurut, seperti anak idaman Papa dan kau sama sekali tidak menurut. Seharusnya kau dulu Papa tinggalkan di penjara isolasi."
Renjun terdiam. "Kenapa aku harus dipenjara?"
Papa mencengkeram kerah baju Renjun. "Dulu kau suka menyakiti diri sendiri dan orang lain, kau mirip psikopat, Renjun, tapi mamamu yang terlalu baik itu bilang kalau kau tidak apa-apa, dan lihat sekarang, kau bahkan sudah gila dengan menggunakan darah untuk cat."
Kali ini Renjun terdiam lagi, dia baru menyadari hal ini. Dia memang suka menyakiti dirinya sendiri, tetapi untuk menyakiti orang lain, ia memutuskan untuk berhenti melakukannya setelah kematian Mama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear My Dream
Fanfiction"Apa kau menginginkan pernikahan ini, Haechan?" tanya Renjun. "Aku tidak begitu peduli, yang selama ini kuinginkan itu keluar rumah dan hidup sendiri," jawab Haechan, ia lantas menoleh pada Renjun yang dari tadi menatapnya. "Lalu kau sendiri bagaima...