Semenjak pulang dari rumah sakit, Renjun lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar dengan melamun dan tidak melakukan apa-apa. Pemuda itu juga tidak nafsu makan selama beberapa hari, dia sibuk memikirkan perkataan Papa beberapa hari lalu, apa benar dirinya seorang psikopat dan sangat menyeramkan sehingga Papa tidak mau menganggapnya sebagai anak.
Renjun yang pendiam itu tentu saja membuat Haechan khawatir, tetapi Renjun tetap mengatakan kalau dirinya tidak apa-apa dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan, dia hanya terlalu banyak pikiran.
Setelah beberapa hari ke luar dari rumah sakit, Renjun hampir tidak pernah berbicara dengan Papa, dia menghindari segala bentuk pertemuan dengan Papa bagaimana pun caranya, sampai-sampai dia berangkat sekolah pagi-pagi biar tidak diantarkan Papa, tentu saja dia beralasan ada urusan di sekolah yang membutuhkannya berangkat pagi-pagi.
Seperti pagi ini, suasana sekolah masih sepi sedangkan Renjun sudah berada di sana sepuluh menit yang lalu. Pemuda itu duduk di atap sekolah sembari memandang langit yang dipenuhi gumpalan awan yang begitu indah, memikirkannya saja tiba-tiba membuat Renjun ingin mengabadikan awan itu dalam lukisannya, tetapi lagi-lagi dia takut ketahuan Papa kalau melukis, pukulan Papa hari itu masih menimbulkan trauma dan luka di sekujur tubuhnya.
"Ck, pagi-pagi sudah menyuruhku ke sini, ada apa?"
Suara Mark dari belakang terdengar, ia mendekati Renjun yang duduk tenang di sana, tanpa banyak bicara Mark duduk di sebelah Renjun dan menanyakan lagi urusan apa yang membuat Renjun menyuruhnya ke atap sekolah pagi-pagi begini.
"Tumben sendirian, tidak sama Haechan?" tanya Mark, dia menoleh karena Renjun belum menjawab pertanyaannya sejak tadi.
Kelopak mata Renjun tertutup, masih dengan posisi duduknya, Mark kemudian menyentuh pelan bahu Renjun, takut pemuda itu tertidur dan dia akan sia-sia pagi-pagi datang ke sekolah.
"Aku lagi menghindari orang rumah," jawab Renjun pelan, dia membuka matanya dan kembali menatap langit.
"Kau ada masalah?" tanya Mark dengan suara yang lebih bersahabat, dia juga tidak tahu kenapa kalau berada di dekat Renjun ia bisa bersikap biasa saja, sedangkan kalau di dekat Haechan, Mark rasanya ingin marah-marah, padahal di sini Renjun yang suka membantahnya.
"Setiap manusia yang hidup punya masalah Mark, kalau dia mati baru masalahnya selesai," jawab Renjun sekenanya.
Mark berdecak kesal. "Lalu kenapa kau memanggilku ke sini pagi-pagi? Bel masuk masih sejam lagi."
Renjun menggeleng. "Tidak ada, aku hanya bosan sendirian, jadi aku minta ditemani."
Mark protes yang mana membuat Renjun tertawa. Kali ini Mark tidak tersulut emosinya, melihat senyum terbit di wajah Renjun yang selama berhari-hari ini terlihat murung membuat Mark tanpa sadar menaikkan kedua sudut bibirnya.
"Aku minta tolong jangan menganggu atau memukuli Haechan setidaknya selama seminggu ini," ujar Renjun, dari nada suaranya dia mulai serius.
"Kenapa?"
Renjun menoleh ke arah Mark, helaan napasnya terdengar berat. Mark di sebelahnya terkejut melihat wajah Renjun yang terdapat banyak sisa luka di wajahnya. "Aku masih lemas, badanku masih sakit karena dipukuli Papa, jadi aku tidak bisa membela Haechan kalau dia kau pukuli."
"Berarti benar kau kemarin koma sehari?"
Renjun mengernyitkan keningnya. "Kau tadi dari mana? Haechan?"
Mark mengangguk singkat.
"Kenapa kau harus membela Haechan kalau dia aku pukuli? Kalau kau membela Haechan pun, aku tidak akan melukaimu, Renjun. Urusanku hanya dengan Haechan, bukan denganmu," kata Mark.
![](https://img.wattpad.com/cover/318884710-288-k953750.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear My Dream
Fanfic"Apa kau menginginkan pernikahan ini, Haechan?" tanya Renjun. "Aku tidak begitu peduli, yang selama ini kuinginkan itu keluar rumah dan hidup sendiri," jawab Haechan, ia lantas menoleh pada Renjun yang dari tadi menatapnya. "Lalu kau sendiri bagaima...