Kelopak mata dengan iris cokelat muda itu terbuka perlahan, pandangannya yang kini buram ia coba kerjabkan secara perlahan hingga terlihat jelas pemandangan di sekitarnya.
Haechan melirik ruangan di sekelilingnya, lagi-lagi dia berada di rumah sakit. Sejenak dia menyadari kalau ada sebuah tangan yang mengelus pelan kepalanya.
Haechan mendongakkan kepala, di sana ada Renjun dengan wajah khawatir yang menatapnya sembari tangannya terus mengelus pelan kepala Haechan dengan sayang.
"Maaf karena tidak bisa menjagamu, Haechan," ujar Renjun pelan, tangannya yang satu menggenggam erat jemari Haechan yang tidak diinfus.
Kedua sudut bibir yang penuh luka itu tersenyum tipis sebelum menjawab. "Aku baik-baik saja, Renjun. Buktinya aku masih hidup."
"Kau hampir mati, Haechan. Kalau saja aku tidak meneleponmu semalam, mungkin Mark akan membiarkanmu mati." Ada wajah kesal saat Renjun berkata.
"Mark Hyung yang memberitahumu?"
Renjun berdecak. "Apa yang kau harapkan dari dia? Aku mengetahui posisimu karena melacakmu, Jeno sudah ribut menanyaiku dan saat aku meneleponmu malah Mark yang mengangkatnya."
"Mama bagaimana?" Haechan tiba-tiba khawatir karena ia tidak pulang semalaman, ia takut kena marah lagi. "Mama tidak mencariku karena aku tidak pulang semalaman?"
Renjun mengernyitkan kening sejenak sebelum dia menjawab. "Aku sudah izin Papa sama Mama, aku bilang kita ada acara di sekolah dan sekalian menginap di rumah Yangyang. Asal kau tahu, kau tertidur dua hari Haechan."
Haechan terkejut mendengarnya, ia kira hanya tidur beberapa jam, ternyata sudah dua hari. Luka yang ditimbulkan Mark begitu parah ya sampai membuat Haechan seperti ini. Pemuda itu kemudian memperhatikan wajah Renjun yang baru disadarinya kalau ada sebuah luka baru di sana.
"Wajahmu kenapa?"
"Oh, ini?" Renjun menunjuk luka di pipi dan sudut bibirnya. "Aku habis bertengkar sama Mark dan orang gila."
"Maaf ya sampai-sampai kau terluka karena Mark Hyung." Haechan balas menggenggam tangan Renjun.
"Kenapa kau harus meminta maaf atas perlakuan Mark?" Mata Renjun menatap Haechan dengan curiga, terlihat wajahnya yang kesal.
"Gara-gara aku kau harus terluka, Renjun." Haechan memejamkan matanya, dia merasakan perih di beberapa titik tubuhnya.
"Kau tidak apa-apa, Haechan? Ada yang sakit?" tanya Renjun dengan suara lembut, ia kembali mengelus pelan kepala Haechan yang diperban.
Haechan menetaskan air mata, badannya memang sakit dan penuh luka tetapi hatinya lebih sakit lagi saat mengingat kejadian di mana Mark memukulinya. Sebenci itu kah Mark padanya sampai dia benar-benar ingin membunuh Haechan?
"Haechan."
Renjun memanggil Haechan dengan suara getir, melihat Haechan menangis, emosinya jadi terbawa, dia jadi ingin menangis. Renjun memeluk Haechan dan adiknya itu menumpahkan tangisnya saat itu juga.
"Tidak apa-apa, menangislah Haechan." Renjun menepuk pelan bahu Haechan yang bergetar.
Setelah beberapa menit tenang, Renjun melepas pelukannya dengan Haechan.
Mata Haechan memerah, tangannya sibuk menghapus sisa air mata di pipinya.
"Sudah lebih baik?" tanya Renjun.
"Terima kasih, Renjun." Haechan mengangguk lucu.
Renjun menggenggam tangan Haechan. "Kau harus sembuh, Haechan. Jangan sakit-sakit lagi, aku tidak suka melihatmu terluka seperti ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear My Dream
Fanfiction"Apa kau menginginkan pernikahan ini, Haechan?" tanya Renjun. "Aku tidak begitu peduli, yang selama ini kuinginkan itu keluar rumah dan hidup sendiri," jawab Haechan, ia lantas menoleh pada Renjun yang dari tadi menatapnya. "Lalu kau sendiri bagaima...