Part 3 - Barcode

1.2K 132 21
                                        

"Bukannya terlalu terburu-buru kalau mereka menikah seminggu lagi?" tanya Renjun pada Haechan.

Papa dan Yurim menyuruhnya untuk berbicara santai dengan Haechan di halaman rumah agar keduanya lebih akrab. Renjun menoleh pada Haechan yang tak kunjung menjawab pertanyaannya.

Haechan memejamkan mata, menikmati setiap hembus angin yang menyapu lembut wajahnya, walau hal itu membuat lukanya menjadi perih. "Ya mau bagaimana lagi, aku tidak bisa menentang keputusan Mama, mungkin mereka sudah menyiapkan segala keperluan pernikahannya jauh-jauh hari."

Renjun menatap wajah Haechan, malam ini mereka sama sekali tidak menunjukkan senyumannya. "Apa kau menginginkan pernikahan ini, Haechan?"

"Aku tidak begitu peduli, yang selama ini kuinginkan itu keluar dari rumah dan hidup sendiri," jawab Haechan, ia lantas menoleh pada Renjun yang dari tadi menatapnya. "Lalu kau sendiri bagaimana?"

Renjun menggeleng. "Aku juga tidak peduli pada apapun yang dilakukan Papa sejak dia tidak mempedulikanku lagi."

"Ah, begitu rupanya."

Haechan mengernyitkan keningnya saat Renjun tidak berhenti memandang wajahnya. "Apa ada yang salah dengan wajahku, Renjun?"

"Terakhir kali aku melihat di wajahmu tidak ada luka di pojok bibir dan pipimu tidak semerah itu," ujar Renjun terus terang.

"Ah, luka ini?" Haechan menyentuh sudut bibirnya yang ternyata masih berdarah, ia lantas buru-buru menghapus darah di jarinya. "Tadi ada orang gila yang memukulku karena aku terlambat."

Renjun termanggut-manggut. "Ah, orang gila."

Keduanya terdiam setelah itu. Renjun baru ingat, dia dan Haechan masih memakai seragam sekolah, belum sempat ganti baju apalagi mandi.

"Apa kau tidak merasa aneh Renjun karena sebelumnya kau anak tunggal tiba-tiba kau punya saudara?" tanya Haechan.

"Bukannya kau juga anak tunggal?" Haechan mengangguk menjawab pertanyaan dari Renjun. "Mungkin awalnya aku tidak akan terbiasa, tapi semoga saja hidup kita lebih bahagia kedepannya."

"Aku harap juga begitu," sahut Haechan.

"Kau lahir di bulan apa, Haechan?" Renjun kini sepenuhnya menghadap Haechan.

"Bulan Juni, kau sendiri?"

"Aku Maret, berarti aku kakaknya." Renjun tersenyum lebar, pemuda itu lantas mengulurkan tangannya.

"Hm?" Haechan memiringkan kepalanya, tetapi dia tetap menyambut uluran tangan Renjun.

"Ayo kita jadi saudara yang baik dan saling menyayangi. Aku akan jadi kakak yang baik untukmu, setidaknya aku akan belajar menjadi kakak yang baik," kata Renjun.

Haechan tersenyum tulus, itulah senyum pertama yang Renjun lihat setelah dia bertemu Haechan. "Aku juga akan berusaha menjadi adik yang baik untukmu, Hyung."

Senyum Haechan luntur saat ia tidak sengaja melihat tangan kiri Renjun yang menggantung di udara. Lengan pemuda itu penuh dengan sayatan hingga menyerupai barcode.

Apakah Renjun baik-baik saja?

***

Haechan dan Yurim sudah pulang beberapa menit yang lalu. Renjun juga sudah mandi dan berganti memakai pakaian tidur yang bergambar kartun Moomin, piyama itu hadiah dari Mama tahun lalu, jadi walau Renjun sudah merasa malu untuk memakainya karena Papa terus menggodanya, Renjun tetap tidak sungkan memakai piyama Moomin berkali-kali.

Renjun menatap dua kantung kertas bercorak bunga yang tergeletak di atas kasurnya.

"Papa! Siapa yang menaruh sampah di kasurku?!" Renjun berteriak, hingga membuat Papa yang kebetulan mencukur kumis di kamar mandi lantai dua terkejut.

Dear My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang