"Kenapa tidak pakai baju? Dan wajahmu itu kenapa terluka?" Mark berdiri di depan kamarnya, dia melipat kedua tangan di depan dada, niat awalnya hendak ke dapur dan malah menemukan Haechan yang berdiri di depan kamarnya dengan wajah banyak luka.
"Nggak perlu banyak tanya," jawab Haechan ketus.
"Kau!" Mark kesal mendengar jawaban Haechan, dia tidak menyangka Haechan yang biasanya tidak berani membantahnya kini menjawabnya dengan ketus.
"Apa? Mau menambah lukaku juga? Silakan, mau tambah luka di bagian depan? Kalo di belakang sudah banyak," ujar Haechan pasrah.
Haechan kemudian membalikkan badan, memperlihatkan punggung yang penuh dengan darah karena cambukan. Mark yang melihatnya pun melototkan mata dan terkejut melihat luka separah itu di punggung Haechan.
"Siapa yang melakukannya?" Mark mendekati Haechan, wajahnya terlihat khawatir.
"Di rumah ini hanya ada kita bertiga, siapa lagi kalo bukan mamamu itu yang melakukannya?" Haechan menatap Mark dengan tajam.
"Beraninya kau menuduh mamaku!" seru Mark, emosinya langsung naik gara-gara Haechan menuduh Mama.
Mark kemudian mendorong tubuh Haechan sampai mentok ke pintu kamar yang tertutup, hilang sudah rasa kasian yang tadi ada di hatinya. Mark kemudian mencekik Haechan.
"Mau membunuhku juga seperti yang dilakukan mamamu itu?" Haechan semakin menantang Mark, dia sungguh merasa muak dengan manusia-manusia ini.
"Kurang ajar! Mama tidak akan melakukan hal itu! Jangan bicara omong kosong!"
"Arggh!" Haechan menjerit kesakitan.
Lehernya terus ditekan Mark sampai-sampai Haechan merasakan tenggorokannya yang begitu kesakitan, seakan-akan ada yang membakarnya.
Mark terus mencekik Haechan semakin dalam hingga adiknya itu kesulitan bicara dan bernapas, Haechan sekuat tenaga berusaha menahan tangan Mark yang semakin menekan lehernya tetapi usahanya sia-sia saja karena tenaganya sudah terkuras habis sejak Mama mencambuknya tadi, hingga perlahan tangan Haechan terasa tidak sanggup lagi menahan Mark, tubuhnya itu merosot ke lantai dengan mata yang perlahan tertutup.
Mark yang tadi gelap mata tiba-tiba tersadar kalau Haechan sudah tidak sadarkan diri, hatinya merasa bersalah saat melihat mata Haechan terpejam apalagi dengan tidak terlihatnya perutnya yang mengembang dan mengempis. Mark kemudian menampar pipi Haechan dengan kalap sampai-sampai sudut bibirnya yang lain berdarah, tetapi perlakuannya itu membuahkan hasil karena Haechan kini sudah sadar.
Haechan menghirup udara dengan rakus kemudian dia tersenyum remeh. "Nyawaku tidak ada harganya di sini."
Haechan kemudian batuk-batuk, dia berusaha berdiri. Tangan yang lemah itu mengambil bajunya yang terjatuh, sedangkan tangan yang lain meraih tembok agar dia bisa berdiri. Mark hanya melihatnya tanpa ada niat untuk membantu Haechan berdiri, Haechan semakin kurus saja sampai tulang pipinya terlihat, padahal dulu pipi itu berisi.
"Karena kau menuduh mamaku yang tidak-tidak!"
Haechan tertawa keras, tetapi kemudian tawanya terhenti saat merasakan ada darah yang mengalir dari hidungnya, lalu dengan cepat dia mengusap darah itu dengan kemejanya agar Mark tidak mengetahuinya walau sebenarnya Mark sudah melihatnya, tetapi kakaknya itu memilih diam.
"Dengarkan ini Mark Hyung terhormat, mamamu tidak pernah menyayangiku seperti yang kau kira, dia malah sering menyiksaku," ujar Haechan dengan napas terengah-engah, kepalanya terasa sangat pusing.
"Kau pikir aku percaya? Kau hanya memfitnah Mama, biar aku semakin membenci Mama karena kau tahu aku kesal dengannya karena dia terlalu sayang padamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear My Dream
Fanfiction"Apa kau menginginkan pernikahan ini, Haechan?" tanya Renjun. "Aku tidak begitu peduli, yang selama ini kuinginkan itu keluar rumah dan hidup sendiri," jawab Haechan, ia lantas menoleh pada Renjun yang dari tadi menatapnya. "Lalu kau sendiri bagaima...