Tidak ada manusia yang sempurna, semua menepati jati dirinya secara tepat. Beberapa bersembunyi di balik rahasia yang mengejutkan, bahkan beberapa di antara mereka menangis di sepanjang hidupnya. Luka-luka sisa goresan masa lalu memang tampak pudar...
Leanna memandangi pantulan wajahnya di depan kaca besar wastafel, tetapi dia fokus dengan penjaga yang menelponnya.
"... Hampir sebulan, kamu belum mengkonfirmasi para Submisif."
"Iya, aku memang tidak lagi membuka aplikasi pemain, aku akan segera mengkonfirmasinya," ucap Leanna, ada sedikit tegang.
Pria di ujung sambungan telepon itu hening beberapa saat. "Apakah kamu sudah menemukan tempat terbaikmu, Nona D? Kelihatannya, Pria penyusup itu sudah berhasil mengalihkan pikiranmu."
Leanna berdiri menyandarkan pegangan tangannya pada meja wastafel. Wajahnya menunduk membenarkan tebakan sang Penjaga. "Aku akan segera mengkonfirmasi para Submisif..."
"Ingat, Nona D... Sekali kamu keluar. Kami tidak akan lagi menyediakan tempat pulang untukmu."
"Aku tahu dan aku belum memutuskannya."
"Segera hubungi Nyonya Damiyana, jangan memberi ketidakpastiaan."
"Aku mengerti."
Leanna memang terlalu lama mangkir. Para Pemain memang tidak bisa melarikan diri begitu saja, mereka harus membuat pernyataan untuk mengundurkan diri. Apalagi identitas dan video aktivitas mereka bersama submisif selalu direkam.
Leanna memutar tubuhnya, menyandarkan tubuhnya di meja wastafel. Dihelanya napas panjang, jari-jarinya mulai bergerak memilih tombol dengan tulisan TIDAK untuk menolak konfirmasi para submisif yang mendaftar.
"... Sebanyak ini?"
Leanna belum membulatkan keputusannya. Berapa hari ini, dia memikirkan apa yang pernah diucapkan Elver, bahwa kehidupannya sekarang sudah jauh lebih baik, dirinya tidak lagi memerlukan terapi Pemain ini.
Pintu toilet terbuka tiba-tiba. Leanna terkesiap, ponsel yang dipegangnya hampir saja terlepas... Ternyata seorang wanita masuk menggendong anaknya. Lea memasukkan ponselnya ke dalam tas, dan segera menuju bilik toilet.
---
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Akhirnya mereka memutuskan untuk makan siang di Restoran Nusantara, milik kawan lama Renita. Restoran beratapkan rumbia itu terletak di pinggir danau, yang dikelilingi hutan bakau berjarak setengah jam perjalanan dari kota Tenggarong. Meskipun Sabtu siang, tamu yang datang tidaklah terlalu ramai, padahal cuaca di tengah hari itu sedang teduh. Gumpalan awan medung di antara langit-langit biru tampak melayang-layang di angkasa.
Elver melepas kacamata hitamnya, lalu menopang dagunya. Matanya masih konsentrasi pada layar laptopnya. Sesekali tangannya meraih bir dingin di samping laptopnya, meneguknya pelan-pelan
"Maaf, Elver. Padahal kamu sedang sibuk bekerja, malah repot-repot ikut mengantarkan kami jalan-jalan."
"Tidak apa-apa, Bu. Hari ini memang libur. Aku hanya memantau pengurusan peti kemas saja," sahut Elver tanpa melihat wajah Renita.