Tidak ada manusia yang sempurna, semua menepati jati dirinya secara tepat. Beberapa bersembunyi di balik rahasia yang mengejutkan, bahkan beberapa di antara mereka menangis di sepanjang hidupnya. Luka-luka sisa goresan masa lalu memang tampak pudar...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Lea bersandar ujung wastafel. Rasa segar menyeruak setelah dia membasuh wajahnya. Rambut panjang jatuh dari bahunya, beberapa helai jatuh menempel di pipi dan lehernya. Tetapi napasnya masih tersengal-sengal, perut dan dadanya masih terasa tidak nyaman. Lea mengusap bibirnya cepat dan melemparkan netranya yang cekung ke arah sudut pintu. Elver mengawasinya dengan wajah khawatir.
"... Apa kita perlu pergi ke dokter?"
"Tidak. Tidak perlu ke dokter," jawabnya. Sebenarnya, Lea juga tidak tahu, berapa lama dia akan bertahan jika di setiap paginya, mual dan muntah selalu menyambutnya. Kondisi tubuhnya terasa lemas dan mudah lelah. "... Semingguan ini sudah biasa seperti ini, untungnya aku hanya muntah di pagi hari. Besok aku ada jadwal kontrol ke rumah sakit."
"Kalau begitu besok aku akan mengantarmu." Elver menyodorkan handuk kecil. Pagi itu sedikit drama, setelah sarapan dan mandi, Leanna langsung menghambur ke kamar mandi karena morning sickness. Wangi sabun tercium segar menyusup ke dalam Indera penciuman. "... wajahmu sangat pucat. Segera pakai pakaianmu, dan minum air hangat di meja."
Lea memandangi penampakannya di cermin. Memang wajahnya terlihat lelah, padahal dia selalu cukup tidur... Ini jelas efek morning sickness bawaan si jabang bayi. "Jam berapa kita kembali ke Tenggarong?" Tanyanya seraya mengusapkan handuk ke bagian wajahnya yang masih lembab.
"Kalau kamu membaik, setelah briefing pagi... Kita bisa pulang." Elver menyandarkan bahunya di ambang pintu. Bola matanya menelisik tubuh Lea yang hanya dibalut handuk putih.
Lea melotot. "Briefing... Astaga, aku hampir lupa..." Segera dihempaskan handuk kecil di tangannya ke atas wastafel. Dia pun buru-buru melewati tubuh Elver, kembali ke kamar tidur.
"Tidak usah terburu-buru, Lea. Duduk saja sebentar, kamu baru saja morning sickness. Kalau perlu biar aku saja yang menggantikanmu." Tatapan Elver masih memantau gerak-gerik Lea.
"Ada beberapa poin yang harus aku sampaikan, terutama proyek yang kemarin ditawarkan pak Remi." Lea melepaskan handuknya, dia memeriksa kerapian kemejanya yang tergantung di dekat almari hotel. Mereka memang tidak membawa baju ganti, karena tidak ada rencana menginap.
"Hm? Haruskah kamu menyampaikannya perkara tuan Kun?" Tentu saja Elver berusaha fokus, Perempuan cantik itu nyata telanjang bulat.
"Tidak, aku tidak akan memberitahu alasan konyol itu. Tetapi dari awal, Pak Remi sudah mengirimkan email kepada Tim tentang rencana proyek itu. Tentunya Tim kita juga menaruh harapan yang besar," jawab Lea. Dia mengambil ikat rambutnya dan mengambil pakaian dalamnya. "Aku cukup bingung, bagaimana menjelaskan kalau proyek ini tidak diberikan kepada kita?"
Elver meneguk ludahnya, konsentrasinya buyar. Ketika Lea mengangkat kedua tangannya, jantung Elver mulai bereaksi... Leanna seakan-akan memamerkan keindahan kedua buah dadanya yang sintal, ujungnya pun tampak seperti kuncup bunga mawar yang segar. Permukaan leher jenjangnya terekspos dengan detil bulu-bulu halus yang menggoda, setiap menyusuri mesra permukaannya... perempuan cantik itu pasti akan menggila. Lekuk tubuh Lea begitu sempurna, torsonya kecil dengan pinggul yang tidak terlalu besar sangat pas, dengan kedua kaki panjangnya. Kulitnya putih tetapi cenderung pucat karena campuran darah Italia dari mendiang ayahnya. Dan vaginanya...