Tidak ada manusia yang sempurna, semua menepati jati dirinya secara tepat. Beberapa bersembunyi di balik rahasia yang mengejutkan, bahkan beberapa di antara mereka menangis di sepanjang hidupnya. Luka-luka sisa goresan masa lalu memang tampak pudar...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Tidak apa-apa, Elver. Beri waktu sejenak kepada Leanna. Kamu tidak bisa memaksanya untuk mengerti."
Kalandra menyodorkan botol air minumnya kepada Elver. Pria lemas itu hanya duduk di lantai parkiran apartemen Leanna. Elver meringkuk diam seribu bahasa, sambil merengkuh puncak kepalanya.
"... Sifat Remy memang seperti itu. Dia selalu membenciku tanpa alasan yang jelas. Sebagai orang tua, aku paham dengan ambisinya yang tidak mau terkalahkan oleh anak-anakku." Kalandra pun ikut duduk di samping Elver yang frustasi. Wajah anak muda ini merah, urat-urat di dahinya sampai timbul. "Kamu harus menyadari dan belajar... persaingan, dunia bisnis dan kerja memang kejam. Mereka melakukan apa pun untuk menjatuhkanmu," nasehat Kalandra berusaha menenangkan Elver.
"Ini tidak ada urusannya dengan pekerjaan. Seharusnya semua berjalan lancar tanpa gangguan setan sialan itu! Kalau sampai aku kehilangan Leanna... Aku benar-benar akan membunuhnya!" Elver sangat geram, ujung matanya meruncing bak mata sebilah pisau. Tangannya gemetaran dan mengepal.
"Tenanglah, Elver."
Elver tentu tidak terima. Beberapa hari ini, mereka berdua bersemangat mengurus segala urusan untuk pernikahan. Elver tidak sabar, miliki Leanna secara resmi dan menanti buah cintanya. Semuanya langsung buyar dalam hitungan menit karena ulah mulut mahluk biadab!
"Tidak, aku tidak akan tenang! Aku tidak mau kehilangan Leanna!" Elver semakin kalut. Dia memijat dahinya lagi, lalu menyeka rambutnya, kepalanya pun terasa sangat pusing. "Leanna harus menikah denganku!" Pekik Elver, suaranya seakan menembus lorong parkiran itu.
"Elver... Tenanglah..."
"Bagaimana aku tenang! Lea tengah mengandung anakku! Dia harus menikah denganku!" Sahut Elver lebih keras.
Kalandra tercengang. "... apa katamu? Leanna? Leanna Hamil?"
"Leanna sedang hamil anakku!" Elver bertambah panik. "Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan! Dia pasti sangat membenciku!" Pekiknya lagi. Isi kepala dan perasaannya sudah kacau beraduk.
"... Sudah tenanglah, Anak muda. Minumlah dulu air ini." Kalandra masih menyodorkan botol minumnya. Elver masih tidak bergeming. "Ayo, minum! Paman akan membantumu menyelesaikan permasalahan ini. Cobalah untuk menenangkan dirimu."
Elver mengalah, diambilnya botol air minum itu. Jari-jari tangannya tampak gemetaran.
Kalandra pun berdiri dan merogoh ponselnya. Dia segera menelpon Anita, Istrinya yang berada di hotel.
---
"Maafkan kami, kami sangat berharap lamaran ini berjalan dengan lancar." Anita mengusap tangan ibu Leanna dengan hangat. "Ini di luar kendali kami, Bu."
Renita hanya mengangguk pelan, dipandangi ekspresi tamu-tamunya itu. Elver datang dengan paman dan bibinya, tetapi wajahnya pucat tidak terlihat senang. "Hari ini... tidak biasanya, Leanna pulang di siang hari. Dia pun mengunci dirinya di kamar sampai sekarang. Apa sesuatu yang terjadi?" Ungkap Renita .