Tidak ada manusia yang sempurna, semua menepati jati dirinya secara tepat. Beberapa bersembunyi di balik rahasia yang mengejutkan, bahkan beberapa di antara mereka menangis di sepanjang hidupnya. Luka-luka sisa goresan masa lalu memang tampak pudar...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Lea menopang dagunya, memandangi sosok punggung ringkih yang membelakanginya. Pemilik punggung kurus adalah orang yang paling dicintainya di sepanjang hayatnya. Percikan air keran mengenai sedikit lengan pakaiannya, ketika ia membasuh kedua tangannya. Tampaknya dia telah selesai mencuci beberapa piring sisa makan malam mereka. Ditariknya ikatan apron bermotif bunga-bunga itu, lalu netranya lurus merespon tatapan Leanna.
"Jadi... Ibu tidak mau tinggal dengan kami?"
Percakapan panjang mereka setelah makan malam, tampaknya telah disimpulkan. Renita pun tidak serta merta menjawab pertanyaan sang Putri dengan segera. Suara denting beradu, mengikuti tangan-tangannya sibuk menyusun beberapa gelas dan piring di atas rak pengering.
"Ibu yakin, kalian berdua perlu ruang privasi untuk lebih mengenal. Kamu akan menyadari kehidupan setelah menikah, akan banyak kejutannya. Pasti kalian berdua akan sering bersitegang atau berkonflik. Jika ibu di tengah-tengah kondisi kalian, sudah pasti naluri seorang Ibu akan ikut campur dengan permasalahan anak-anaknya."
Lea diam. Tetapi dia tidak ingin ibunya tinggal sendirian. "Bagaimana kalau ibu kesepian? kita tidak akan bisa berbicara lagi seperti ini."
Renita melirik ke arah Lea, ekspresi terbalut sedih itu jelas terlukis di iras cantiknya. Renita memang sedih... "Sayang, Bukankah hampir setiap hari... kamu juga pulang tengah malam dan kembali pergi di pagi?"
Jantung Lea seperti terantuk benda keras, nyeri itu pun menyadarkannya. Lea terdiam seraya mengusap tengkuknya berdengus... Dia mengakuinya. Ketika Ibunya sakit dan dirinya fokus mulai bekerja, Lea hanya mampu meluangkan waktu kosongnya di akhir minggu saja. Ketika dirinya harus Berkutat keras, rasanya 16 jam dalam sehari itu sangatlah kurang dan makan malam bersama seperti ini... memang sangat jarang.
"Maafkan aku, Ibu. Aku memang egois."
"Aduh, Sayang. Kenapa kamu jadi sedih begini? Ibu tidak bermaksud menyinggungmu. Selama ini kamu pun bekerja keras demi ibu dan memenuhi keperluan kita. Ibulah yang berhutang budi kepadamu." Renita mengusap rambut Lea.
"Ibu, jangan berkata seperti itu. Aku tidak mau berpisah dengan ibu." Lea berkutat dengan emosinya.
"Ibu juga merasa sedih, jika kita tidak tinggal bersama lagi. Tetapi ibu harus sadar, kamu melalui ini tidaklah mudah... Kamu pun sudah berani meluluhkan hatimu untuk mencintai orang lain. Ibu merasa bahagia dan harus mendukungmu." Renita berbicara dengan mata berbinar-binar.
"Elver luar biasa. Dia bisa mengubah prinsipmu," ucap Renita sambil tertawa. Dia sengaja mengubah suasana agar tidak membuat mereka sedih.
"Hhh... Dia licik! Dia menghamil perempuan polos sepertiku," celetuk Lea.
"Haha... Pemuda yang pintar. Rupanya dia tahu bagaimana mendapatkan wanita yang diinginkannya." Renita segera meletakkan susu kedelai hangat di depan Lea.