Tidak ada manusia yang sempurna, semua menepati jati dirinya secara tepat. Beberapa bersembunyi di balik rahasia yang mengejutkan, bahkan beberapa di antara mereka menangis di sepanjang hidupnya. Luka-luka sisa goresan masa lalu memang tampak pudar...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"... Apakah kamu yakin ikut masuk ke dalam? Aku tidak mau kamu ribut di tempat umum."
Elver tidak segera menjawab pertanyaan Leanna, ujung matanya mengawasi dari spion, memastikan kalau mobil mereka terparkir dengan benar. "Jadi kamu lebih senang aku tidak ikut?" Elver balik bertanya.
"Menurutku akan sangat memalukan jika kalian ribut."
Elver menaikkan bahunya. "Kamu tahu sendiri, aku tidak pernah memulai perkelahian. Lagi pula, aku harus memeriksa pekerjaanku dari laptop," sahut Elver. "Silahkan saja kalian rapat sendiri, selama Remi tidak macam-macam denganmu... Aku tidak akan turut campur."
Lea menyunggingkan senyumnya saja, dia cukup paham dengan ucapan Elver. "Terima kasih, Elver," ucapnya lembut, Lea tidak ingin Elver emosi.
"Hehehe. Untuk apa lagi kamu berterima kasih?" Elver mendekati Lea dan membuka safety belt-nya.
"... Karena kamu selalu melindungiku." Kedua manik Aksanya lekap, menyejajarkan porosnya. Pria dengan rahang tegas itu membalasnya juga dengan senyumannya yang mengembang. Kecupan mesra pun dia layangkan di tepi wajah sang pangeran.
"Bagaimana aku tidak jatuh cinta... Kamu sangat manis, Tante..." Goda Elver, hatinya melonjak senang mendapatkan ciuman mesra dari kekasihnya.
"Hmm... tante?" Lea berdesis kesal. Wajahnya cemberut, langsung dirangkulnya manja lengan Elver.
"Hehe. Ayo, kita naik ke lobi." Elver mengusap dahi Lea dengan ujung hidungnya.
"Hm, sebentar..." Lea langsung sigap mengambil tasnya, dan memperhatikan wajahnya dari cermin bedaknya. "Aku janji sekitar pukul 2 siang." Lea lanjut mengambil lipstik merahnya dan memoleskannya beberapa kali.
Elver tetap tidak melepas tatapannya, walaupun dia membenci rona lipstik itu, namun warna merah menyala itu pantas menakhlikkan aura Lea. Pancarannya sewarna darah, melukiskan intensi dan keberaniannya sebagai perempuan yang kuat. Elver berdebar-debar, dia sangat memujanya.
Lea tentu saja menyadari, kalau Elver terus memperhatikannya. "Apa ada yang aneh di wajahku?" Tanyanya sambil mengedipkan matanya, sedang tangannya sibuk merapikan isi tas miliknya.
"Tidak ada," jawabnya sambil mematikan mesin mobilnya. "Ayo, kita segera ke atas." Elver pun membuka pintu mobilnya.
"Elver..." Lea gesit menangkap ujung lengan pria berpakaian hitam-hitam itu. Dia harus memastikan, apakah Elver baik-baik saja? "Bagaimana perasaanmu?"
Raut wajah pria itu terpaku beberapa detik, Elver mengerti sebab kekasihnya ini khawatir. Akhirnya, dia kembali duduk. "Jangan khawatir. Semua baik-baik saja. Tentunya aku sangat lega, karena aku berhasil menguraikan kisah yang memang seharusnya calon istriku tahu. Tidak ada lagi jarak dan tidak ada lagi rahasia di antara kita berdua." Elver mengangkat jemari tangannya, diusapnya lembut pipi hangat Lea. "Kita akan sama-sama mengobati bekas luka-luka itu dan maju melangkah ke masa depan. Kita berdua, tidak akan lagi merasa kesepian atau merasa sendirian."