Tidak ada manusia yang sempurna, semua menepati jati dirinya secara tepat. Beberapa bersembunyi di balik rahasia yang mengejutkan, bahkan beberapa di antara mereka menangis di sepanjang hidupnya. Luka-luka sisa goresan masa lalu memang tampak pudar...
"... Masak pasta?" Renita bengong sejenak. Pupilnya bergerak melirik ke arah Elver yang masuk melewatinya ke dalam ruang tamu.
"... kami membeli roti bakar untuk camilan malam ini." Elver mengangkat bungkusan plastik di tangannya.
"Siap-siap saja naik timbangan. Malam-malam begini, kita malah makan yang manis-manis." Leanna tertawa, dia masih menggelayut di lengan Elver.
Renita tersenyum tipis, seraya menutup pintunya.
"Kalau begitu, nanti ibu buatkan minuman panas."
Matanya masih mewawas kepada keduanya. Ada hawa baru. Tidak biasanya Leanna menggandeng Elver seperti itu. Roman wajah mereka pun tampak mesra dan semringah, padahal biasanya mereka selalu meributkan hal-hal kecil.
"Kemana saja, Elver? kamu lama tidak mampir kemari." Renita menepuk bahu anak muda gagah itu.
"Iya, Bu. Hari ini, aku baru saja pulang tugas dari Tenggarong," jawab Elver. Dia meletakkan tasnya di sofa.
"... Aku naik dulu ke kamar, mau mandi dulu." Leanna melepaskan gandengannya. "Sekalian nanti aku bawakan selimut dan bantal untukmu."
"Ya." Elver tersenyum, bola matanya lekat mengikuti langkah Leanna menuju tangga kamarnya.
Ujung bibir Renita menyunggingkan sikap pahamnya, perubahan antara mereka berdua memang kentara sekali. "Kelihatannya, kamu sudah akur dengan Leanna. Ibu tidak pernah Leanna menggandengmu seperti itu."
Elver tersadar. Dia menoleh ke arah Renita sambil mengusap tengkuknya. "Haha. Iya, kami sudah akur." Elver memaksa dirinya tertawa agar rasa malu-malunya tertutupi.
"Ibu senang, itu kabar yang bagus. Akhirnya Leanna mau membuka hatinya." Renita menyalakan teko air panas dan mengambil beberapa gelas mug dari rak atas. Dia menghela napas panjang dengan rasa cemas.
"Jangan khawatir. Aku akan menjaga Leanna dengan baik." Elver menangkap ekspresi Renita. Dia harus paham, mengapa ibu Leanna itu berubah cemas...
"... Ibu percaya kepadamu." Renita mengambil toples berisi susu. "Tapi, Kamu masih terlalu muda. Kalau tidak salah, umur kamu baru 23 tahun."
"Itu... benar." Elver menyandarkan punggungnya dengan nyaman. Sofa yang bisa dia tiduri itu memang tetasa nyaman.
"Ibu anggap, kalian berdua memang sama-sama dewasa. Hanya saja ibu mengingatkan, hati putriku itu sudah rapuh... tidak untuk dipermainkan."
Elver tidak memberikan komentar apa pun. Dia memilih mendengarkan curahan seorang ibu yang ingin melindungi putrinya. Tentu saja Elver setuju dengan sikap Renita.