Tidak ada manusia yang sempurna, semua menepati jati dirinya secara tepat. Beberapa bersembunyi di balik rahasia yang mengejutkan, bahkan beberapa di antara mereka menangis di sepanjang hidupnya. Luka-luka sisa goresan masa lalu memang tampak pudar...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Renita meletakkan teko berisi teh panas di atas meja makan. Dia ikut terdiam dan melirik Elver dan Lea yang duduk berjauhan di ujung meja. Ada hawa suram mengelilingi meja makan itu.
"Ada apa? kenapa kalian berdua diam saja sedari tadi?" tanya Renita. Dituangkannya segelas teh panas untuk Leanna.
"Tidak apa-apa, Bu." Lea menjawab dengan ekspresi datar. Dia malas untuk berbicara, apalagi melihat Elver yang duduk di ujung sana.
"Apakah kalian berdua sedang bertengkar?" Renita juga melirik ke arah Elver, dia sudah selesai menghabiskan sarapannya. Renita memperhatikan memar di wajah Elver masih menghitam tetapi kelopak matanya tidak bengkak lagi. Renita bingung, dia pun duduk di tengah-tengah mereka. "Ayo, kalian ambil lagi sarapannya..."
"Tidak, aku sudah cukup kenyang," jawab Elver sambil merapikan sendoknya di atas piring kosong. Nasi goreng yang dimasak oleh ibu Lea sangat enak. Hanya saja Elver tidak biasa sarapan pagi dengan makanan berat. "Ini sarapan terenak yang pernah aku makan..." Pujinya.
"Wah, Elver... Ibu senang kalau kamu suka masakan ibu. Kalau Lea sangat jarang sarapan pagi di rumah. Biasa jam segini, dia sibuk kalang kabut karena selalu bangun terlambat," ucap Renita menyinggung Lea. Dia pun menyodorkan segelas teh panas untuk Elver.
"Ibu..." Lea melemparkan nada protes kepada ibunya. Alisnya sampai mengkerut, memberikan tanda agar ibunya berhenti membicarakan keburukannya.
Renita tertawa, dia tampak senang menggoda putrinya. "Nanti malam, kamu kembali menginap saja di sini... Pokoknya, sampai luka-lukamu sembuh."
"Ibu!" Lea langsung berdiri. Dia terang tidak akan memberikan kesempatan Elver untuk menginap lagi! Pria kurang ajar itu berani menciumnya!
"Loh, kamu kenapa, Lea? bukankah keadaan Elver begini karena dia membelamu? Kamu harus bertanggung jawab merawatnya. Apalagi dia tinggal sendirian..."
"... Aku pergi ke kantor sekarang!" Sahut Lea. Dia langsung beranjak dari kursinya dan cepat memeluk ibunya untuk pamit pergi ke kantor. Dengan wajah merengut, Lea langsung melengos keluar ruang makan... Langkah kakinya pun terdengar menghentak kesal. Tidak lama, suara pintu tertutup dengan keras terdengar.
"Apa... Kalian Bertengkar?" Renita kebingungan dengan tingkah putrinya.
Elver diam saja. Dia memandangi teh panas di gelasnya, diteguknya sedikit... Teh itu terasa sangat manis... Elver langsung merinding.
"Ya ampun, ada apa dengan anak itu?... Pagi-pagi sudah emosi sendiri," Renita mengusap pipinya, heran. "Elver? Apa kalian bertengkar?" ulang Renita.
"... Aku pergi dulu, Bu. Terima kasih banyak atas kebaikan dan tumpangannya..." Elver tersenyum, dia memilih tidak menjawab pertanyaan Renita.
"Oh, bukan apa-apa. Semoga cideramu cepat sembuh, Nak," ucap Renita. "Tadinya ibu khawatir, karena Leanna tiba-tiba menginapkan pria ke rumah. Tapi kamu luar biasa sekali rela babak belur dipukuli karena Lea."