35. Pencarian

65 6 0
                                    

Sudah hampir 24 jam sejak Vanya hilang, dan tidak ada satu pun petunjuk yang mengarah pada keberadaannya. Dipta telah mengerahkan seluruh anggota BEM untuk membantu mencari, bahkan memanfaatkan semua koneksi yang ia punya, tapi hasilnya nihil.

Di ruang sekretariat BEM yang biasanya ramai dengan diskusi atau tawa, suasana kini terasa mencekam. Meja-meja penuh dengan catatan lokasi pencarian, peta, dan nomor kontak yang bisa dihubungi. Beberapa anggota terlihat mondar-mandir dengan wajah lelah, tapi tidak ada yang setengah hati membantu.

Sementara itu, Dipta duduk di salah satu sudut ruangan dengan kepala tertunduk. Matanya yang biasanya penuh semangat kini tampak kosong, lingkaran hitam di bawah matanya menjadi bukti bahwa ia tidak tidur sejak Vanya hilang. Wajahnya semakin pucat, dan tubuhnya terlihat lebih lemas dari biasanya.

"Dip, lo udah makan belum?" tanya Senja, yang sejak tadi mengawasi temannya itu dengan khawatir.

Dipta tidak menjawab, hanya menggeleng pelan sambil terus menatap ponselnya, berharap ada kabar baik dari siapa pun yang sedang mencari.

"Maneuh teh teu bisa kos kieu terus. Maneh harus makan," kata Haikal, mendekati Dipta dengan sebotol air dan roti. "Kalau lo jatuh sakit, siapa yang bakal pimpin kita? Siapa yang bakal nyari Vanya?" Ucap Jendral menimpali

"Gue nggak bisa makan," jawab Dipta pelan, suaranya serak. "Gue nggak bakal bisa tenang sampai Vanya ketemu." Ucap Dipta seraya mengacak rambutnya yang sudah berantakan sejak tadi.

"Gue ngerti, Dip. Tapi lo bakal lebih berguna kalau lo kuat," tambah Senja, mencoba membujuknya.

Jendral, yang baru saja masuk setelah mencari di salah satu lokasi, menatap Dipta dengan prihatin. "Lo nggak bisa terus nyalahin diri sendiri, Dip. Kita semua udah nyari semaksimal mungkin. Ini bukan salah lo."

"Tapi gue gagal jaga dia," jawab Dipta, suaranya penuh penyesalan. "Dia bilang nggak apa-apa pulang sendiri, dan gue percaya. Gue percaya kalau dia bakal aman. Gue... salah besar."

Semua yang ada di ruangan terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Mereka tahu Dipta sedang dalam tekanan besar, dan kata-kata mungkin tidak akan cukup untuk mengurangi rasa bersalahnya.

Tiba-tiba, ponsel Dipta berdering, membuat semua orang terdiam menunggu reaksinya. Dipta dengan cepat mengangkat telepon itu, berharap ini adalah kabar baik.

"Halo?"

"Dip, gue baru dapet info," suara Senja terdengar di ujung telepon. "Ada yang lihat cewek mirip Vanya diangkut masuk ke dalam mobil di daerah gudang tua dekat pasar."

Dipta langsung berdiri, wajahnya kembali penuh dengan tekad. "Gue ke sana sekarang."

"Gue ikut!" kata Jendral, langsung mengambil jaketnya.

"Gue juga!" tambah Haikal, yang sudah siap meski tubuhnya terlihat kelelahan.

"Gue bakal stay di sini buat koordinasi sama yang lain," kata Senja. "Hati-hati, Dip."

Dipta hanya mengangguk sebelum berlari keluar dari sekretariat BEM bersama Jendral dan Haikal. Dalam perjalanan menuju lokasi, pikiran Dipta terus dipenuhi oleh wajah Vanya. Ia tidak peduli apa yang harus ia hadapi di sana, yang penting ia harus menemukan gadis itu.

*****

Mobil Dipta melaju kencang di jalan yang remang-remang menuju gudang tua di dekat pasar. Angin malam menyelinap masuk melalui kaca jendela yang sedikit terbuka, menambah dingin suasana hatinya. Wajah Dipta penuh dengan tekad dan kekhawatiran, pikirannya hanya dipenuhi oleh satu hal: Vanya.

Namun, tiba-tiba sebuah motor memotong jalur mobilnya, membuat Dipta menginjak rem mendadak. Ban mobilnya berdecit keras di jalanan.

"Apa-apaan ini?!" geram Dipta, membuka kaca jendela.

Presma DiptaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang