(10) STIGMA

1.8K 228 4
                                    

Pol yang berdiri bersandar di badan motor menatap bingung pada Vegas yang diam, bersedekap menatap jalanan sepi. Bahkan Big yang baru saja tiba di pos Polisi, menatap bingung karena gerakan hormatnya tidak di gubris.

"Kenapa?" Bisik Big ketika sudah berada di sebelah rekannya itu.

Pol mengangkat bahunya. Akhirnya, keduanya ikut bersandar menatap Vegas yang melamun.

"Hai, Pete," teriak Big membuat Vegas tersadar dan mencari keberadaan Pete. Pol dan Big tertawa saat ia tidak menemukan Pete di mana pun.

"Kalian sedang mengejekku ya!!" Sentak Vegas ketika melihat kedua bawahannya tertawa.

Big dan Pol segera memberikan hormat ketika melihat wajah marah Vegas. "Maaf, Pak. Bapak itu terlihat seperti sangat tertarik dengan Pete sejak datang ke sini."

"Huh," Vegas berjalan menghampiri keduanya dan berdiri bersedekap, membuat keduanya langsung menegakkan diri. "Kemarin Pete bilang kalau tidak mau berbicara denganku karena katanya tidak mau aku terkena masalah. Menurut kalian, masalah apa yang akan menimpaku?"

Keduanya saling menatap mendengar pernyataan serta pertanyaan Vegas.

"Wah, Bapak memang keren." Pol bertepuk tangan. "Saya belum pernah berbicara dengan Pete dan Bapak belum ada satu bulan di sini sudah bisa mengobrol dengan Pete."

"Mengobrol apanya, hanya mengangguk dan menggeleng." Vegas kesal mengingat percakapannya dengan Pete.

"Saya pernah dengar kalau Pete itu merasa orang yang dekat dengannya pasti akan sial. Seperti ibu dan neneknya yang pergi tidak akan kembali, dan bapaknya yang tidak tahu kapan akan kembali." Jelas Pol, Vegas dan Big terdiam mendengar itu.

"Tapi masalahnya," Big bersuara. "Kenapa juga Pete harus berpikir seperti itu? 'Kan semua pergi karena alasan masing-masing."

"Ya, Pete merasa semua karena dia."

"Ah iya, jadi sampai sekarang pembunuh neneknya Pete belum ditemukan?" Tanya Vegas, mendapat anggukan dari Pol. "Pete benar-benar tidak ingin diselidiki?"

Big mendengus kecil menatap Vegas yang berapi-api ketika menyinggung cerita ini. "Masalahnya itu kasus sudah lama, Pak. Lagipula, di desa ini mana ada CCTV, susah."

"Yakan—"

"Permisi ...." Ketiganya menoleh pada sumber suara yang memotong seruan Vegas. Seorang wanita berpakaian pemda berwarna khaki coklat menatap mereka dengan senyum yang mengembang.

"Eh, iya Bu, selamat pagi." Sapa Big.

"Pagi," wanita itu berjalan mendekati Big dan menyerahkan sebuah surat. "Katanya ada pembaruan kartu tanda penduduk, ya? Untuk desa sebelah digabung sama desa sini, 'kan? Tadi sudah menemui Pak kades, tapi saya diminta untuk datang ke kantor Polisi langsung. Saya belum mendaftar, belum terlambat, 'kan?"

"Oh belum Bu, hari ini terakhir, besok sudah harus dibawa ke kantor pusat untuk diurus." Big mendekat, tangannya terulur ke arah kantor. "Ayo Bu, silahkan masuk."

Ketika sedang memperhatikan interaksi Big dan wanita itu, Vegas melirik ke arah Pol yang melambaikan tangan ke arahnya. Seperti memintanya untuk mendekat.

"Ada apa?" Vegas berdiri di sebelah Pol yang sudah memiringkan kepalanya, sedangkan tubuhnya masih bersandar lurus atas motor.

"Itu, Pak …." Bisik Pol membuat Vegas mengernyit bingung. "Itu, Bu Nindi, yang ikut andil dalam merisak Pete sewaktu Sekolah Menengah Pertama."

"Iyakah?"

Pol mengangguk. "Saya ingat, soalnya beliau sendiri yang bilang kalau Pete itu anak yang menyebalkan. Saat saya bertanya kepada murid yang lain. Katanya, beliau memang terkenal galak."

Tanpa sadar, Vegas mengepalkan tangannya. "Masih menjadi guru?"

"Tidak, Pak. Sudah menjadi kepala sekolah." Pol menegakkan tubuhnya saat wanita itu keluar dan tersenyum pada keduanya. Pol membalas senyum itu, sedangkan Vegas hanya diam memandang datar, sampai wanita itu menghilang dari pandangannya.

Next➡

STIGMA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang