(23) STIGMA

1.6K 223 3
                                    

Pak Korn terus menolak bahwa dia tidak tahu soal kematian Kimhan. Bahkan tidak tahu menahu soal pesan yang atasannya kirim, Pak Korn menegaskan hanya pernah bekerja sama dengan kepala desa sebelah untuk tidak mengumbar perihal apapun yang terjadi di desa mereka.

Pol dan Big saling memandang Vegas yang diam menyorot tajam pada Pak Korn yang sedang menjelaskan.

Pak Korn juga terlihat berusaha melindungi Pete, menegaskan bahwa Pete adalah anak yang baik-tidak akan pernah melakukan hal sekeji yang dimaksud oleh para Polisi. Padahal mereka tidak sedang menuduh Pete.

Vegas menatap Pete yang menunduk, terkadang mendongak melihatnya, lalu menunduk lagi.

~~~

Mereka bertiga sudah kembali ke kantor polisi. Pol terlihat berdiri di depan kompor dengan wajah tidak terima karena keputusan dari atasan mereka, bahkan Pol sempat menelpon dan meminta itu dibatalkan, sayangnya gagal. Perintah tetaplah perintah, Pol yang berpangkat rendah tidak bisa meminta lebih.

Pol mematikan kompor, dia menuang air mendidih itu ke atas cangkir.

"Saya masih bingung, kenapa ya Pak Korn meminta untuk tidak membuka kasus." Pol sedang menyeduh tiga cangkir kopi untuk mereka bertiga.

"Takut kejahatan sendiri kebongkar mungkin." Tanggap Vegas, membuat keduanya menoleh kaget. Tidak menyangka jika Vegas mendengarkan obrolan acak mereka.

"Tapi kok saya setuju ya sama Pak Vegas."

Big memukul kepala Pol. "Kamu tuh ya, kadang dipihak pak Vegas, terkadang dipihak menyudutkan."

"Menyudutkan apa?" Pol tidak terima.

Big berdecih. "Itu tadi, pakai mencurigai pak Vegas segala."

"Kan cuma bertanya-"

"Pertanyaanmu itu tidak tahu situasi, Pol." Potong Big, Pol aparat yang masih terbilang muda. Jiwa dan pikirannya masih terguncang. Big sebagai rekan kerja selama dua tahun merasa Pol masih terlalu labil dalam berpikir.

"Ya lagian kan saya merasa tidak melihat Pak Vegas lewat, cuma bertanya saja. Takut-takut kalau pak Vegas malah melindungi kejahatan Pete kan?"

"Terus, kamu masih mau mencoba menyelidiki Pete?" Tanya Vegas, Pol terlihat mengangguk.

"Meskipun saya agak tidak yakin sih. Hanya penasaran siapa pembunuhnya itu, gila, ingin tahu kenapa harus sebrutal itu untuk membunuh. Apa lagi banyak yang berspekulasi itu adalah balas dendam." Ucap Pol. "Meskipun dipikir berulang kali tidak bisa masuk ke dalam otak saya. Rasanya tidak mungkin orang seperti Pete berani membunuh sebrutal itu."

"Bisa saja," Big duduk disebelah Pol. "Kalau sudah tertutupi benci, semua bisa dilakukan."

"Menurut kalian, bisakah orang yang tidak ada sangkut pautnya membunuh?"

"Eh, maksud bapak pembunuhnya bisa saja orang luar?" Vegas mengangguk. "Ya untuk apa dia membunuh?"

"Untuk kesenangan?"

"Hadeh, Bapak kebanyakan menonton serial killer ya?" Ucap Big sembari menggeleng. "Yang jadi masalahnya di sini, Macau-Bu Nindi-lalu sekarang Kimhan, ketiga orang itu adalah perundung hebat, pasti ya karena balas dendam. Kalau benar ini cuma ulah psycopath yang hanya mencari kesenangan, kenapa harus mereka yang berhubungan?"

"Benar juga. Bapak bicara asal, pasti karena ingin melindungi Pete kan?" Ucap Pol dengan wajah meledek. Dia sudah berani mengajak Vegas bercanda lagi karena Vegas terlihat sudah mulai santai.

"Mana pintar lagi mengambil hati Pete dengan mengajak main game. Huh." Tambah Big.

Vegas mendengar omelan keduanya hanya tersenyum tipis dan menatap keluar jendela. Pagi itu secara tidak langsung Pete mengatakan bahwa dirinya adalah orang yang Pete sayangi, itu berarti usahanya tidaklah sia-sia, Vegas akan melindungi Petenya bagaimanapun caranya.

Next➡

STIGMA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang