(31) STIGMA

1.7K 231 42
                                    

Tiga bulan kemudian

Drett... Drett...

Vegas meraba keberadaan ponselnya yang terus bergetar mengganggu tidur nyenyaknya dan menemukan benda pipih itu berada di lantai, matanya masih mengantuk dan tanpa melihat si pemanggil, Vegas menerima itu.

"Hm?"

"Selamat malam Pak,"

Vegas menatap layar ponsel. "Pol? Ada apa?"

"Mau mengajak bergosip," ucap Pol di seberang sana.

Vegas berdehem menetralkan suaranya, melihat kesebelahnya lalu bergerak menjauh sedikit. "Pol, ini jam sebelas malam, ada cerita apa sampai kamu seniat itu mengganggu tidurku."

"Ini tidak bisa dibiarkan sampai besok Pak, harus sekarang." Ucap Pol.

Membuat Vegas menggeleng kecil. "Ada apa sih?"

"Kami sudah menyelesaikan kasus itu."

Vegas mengusap wajahnya, dia mulai menajamkan pendengaran. "Lalu, bagaimana?"

"Wah, Bapak pasti tidak menyangka kalau pembunuh Kimhan dan kepala sekolah itu bukanlah Pak Korn." Ucap Pol dengan bangga.

"Oh ya? Lalu siapa?" Tanya Vegas.

Pol terdengar tertawa. Mantan bawahannya itu terdengar sangat puas. "Jadi, yang digunakan Ibu kepala desa untuk membunuh Pak Korn diduga benda yang sama yang digunakan untuk membunuh Kimhan dan Ibu kepala sekolah. Jadi, Ibu Kadeslah yang membunuh mereka berdua itu. Boom, si pembunuh desa Ban Mai adalah Bapak Kades lalu si pembunuh desa Ban Rai adalah Ibu Kades. Sungguh pasangan yang cocok kan Pak?"

"Hmm. Jadi, kasusnya beneran sudah tuntas?"

"Iya! Pak Peter sangat hebat, dia benar-benar mengusut tuntas. Bapak tahu tidak? Ada yang lebih parah. Pak Korn suka mengoleksi guci-guci dari tanah liat yang ternyata semua bahan pembuatannya adalah dari abu mayat yang sudah di kubur. Kami membongkar semua Makam dan ditemukan tidak ada lagi tubuh utuh maupun kerangkanya, benar-benar kosong." Pol terbahak. "Sumpah ya Pak saya merinding sekali sewaktu mengetahui fakta itu, dan ibu kades sudah dimasukkan kerumah sakit jiwa di Kota. Dia depresi karena anaknya."

"Tapi anehnya Pak, bu kades selalu mengatakan 'aku dibantu oleh dia saat membunuh Korn' tapi sampai sekarang kami tidak tahu siapa yang dia maksud, seluruh warga mengatakan bahwa ibu kades bersekongkol dengan iblis." Sambung Pol.

Vegas tidak banyak berkomentar, tiga bulan lalu saat dia mencoba membantu penyelidikan. Pak Gun datang dan memaksa Vegas untuk kembali keibu kota karena mengenai tugasnya yang telah selesai, bahkan saat Vegas mencoba memberontak. Pak Gun marah besar dan mengancam Vegas dipecat, hingga akhirnya Vegas memilih kembali dengan Kinn.

"Pak Korn adalah seorang dukun, sebelum targetnya meninggal, dia akan membuat si target bermimpi disebuah hutan! Mengerikan. Kami menemukan sesajian yang katanya digunakan untuk penyembahan di salah satu ruangan di kamar besar itu Pak." Pol seperti sedang menyeruput minuman, kemungkinan kopi seperti kebiasaannya. "Lalu, Ibu kades yang menjerat lehernya hingga tidak bernyawa dan setelah di kubur, barulah Pak Korn yang bekerja untuk membuat guci. Sadis."

"Ibu kades sendiri yang mengirim pesan kepada atasan kalau tidak perlu mengusut kasus kematian yang terjadi di desa Ban Rai tapi atas perintah Pak Korn, mungkin karena dia takut kalau pembunuhan di desa Ban Mai akan diusut." Sambung Pol.

"Ahh, pantas saja selalu tidak diusut." Ucap Vegas. "Aku pernah mengalaminya, bermimpi di dalam hutan. Di sana aku bertemu dengan sosok bayangan hitam."

"Ah, serius Pak? Seramnya. Untung Bapak selamat."

"Hm, karena ada Pete di dalam mimpiku." Tangan Vegas mengusap surai hitam yang memanjang itu.

"Pak...." Pol diam.

"Hm?" Tanya Vegas, penasaran dengan apa yang akan Pol katakan.

"Maaf pak."

"Untuk apa, Pol?"

"Menurut Pak Peter, mayat tanpa kepala yang mengambang di danau itu memang benar mayat Pete."

Vegas tersenyum tipis, "sudah diselidiki?"

"Warga menolak. Mereka semua menangis dan meminta mayat Pete langsung di kubur saja tanpa diotopsi." Pol merendahkan suaranya. "Maaf mengganggu waktunya, selamat malam Pak."

Sambungan terputus, Vegas menoleh.

Pergerakan dari sampingnya membuat Vegas menaruh kembali ponsel dan menatap laki-laki muda yang tengah tetidur. "Apa aku mengganggumu?"

Laki-laki itu menggeleng. Dia bergerak mendekati Vegas dan memeluknya erat. "Dingin,"

Vegas terkekeh. "Biar aku matikan AC-nya."

Laki-laki itu mengeratkan pelukannya. "Peluk saja."

"Manjanyaaa," Vegas mengecup bibirnya dan memeluk erat, dia berbisik ditelinga laki-laki muda itu. "Rindu ikanmu?"

Laki-laki itu mengangguk.

"Aku sudah memindahkannya di kolam belakang."

"Iyakah?"

Vegas mengangguk, memeluk sangat erat. "Bagaimana perasaanmu? Kamu sudah aman bersamaku, tidak ada lagi yang bisa menyakitimu Pete. Aku sudah melenyapkan semua orang, apa kamu senang?"

Pete mengangguk. "T-terima kasih."

Vegas menatap Pete, mengelus pipinya, "rasanya sangat melegakan melihatmu ada bersamaku sekarang. Ada dalam pelukanku."

Pete tersenyum, tangan mungil itu mengelus punggung Vegas.

Pete menatap Vegas, jika bukan karena pria yang memeluknya ini. Kemungkinan Pete akan selamanya hidup dalam kesedihan dan kesendirian. Pete bergerak mengecup leher Vegas yang terdapat sebuah tanda kenang-kenangan dari desanya dan bergelung dengan selimut setelah menyusup kedalam pelukan Vegas yang hangat. Vegasnya sangat hangat.

Next

STIGMA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang