(16) STIGMA

1.7K 230 14
                                    

Vegas membuka mata, dia melihat ke sebelahnya dan tidak ada Pete lagi di sana. Ia mengusap wajahnya, bisa-bisanya ia malah berbuat tercela pada Pete yang butuh perlindungan. Vegas meremas rambut dengan kedua tangannya, bagaimana jika Pete malah semakin takut didekatinya.

Vegas bangkit dari ranjang, keluar kamar mencari keberadaan Pete barang kali masih ada di rumahnya. Sayangnya tidak ada. Vegas bergegas membersihkan diri dan mulai berangkat ke kantor. Soal Pete urusan nanti saja.

~~~

Saat sampai di kantor, ada Pol yang bergegas ke arahnya. "Pak, ada telepon dari kantor kota."

Membuat Vegas berjalan cepat menuju telepon kantor dan meraih gagang telepon itu.

"Betah?"

Vegas tahu ini suara siapa. "Lumayan Pak, ada apa Pak?"

"Temui aku sekarang. Aku ada di kantor kota." Ucap suara di sebrang sana. Telepon mati, membuat Vegas menggeram kesal.

"Ada apa Pak?"

"Bisa-bisanya dia merintah seenaknya." Vegas menaruh gagang telepon dengan kasar membuat Pol dan Big tersentak kaget. "Tidak tahu ya kalau sedang bertugas."

"Ada apa sih Pak?"

"Pol!!" Big menatap tajam. Memberi peringatan pada Pol agar tidak mengganggu Vegas.

Vegas mendengus dan menatap keduanya. "Aku akan ke kota, sialan itu memanggilku. Kalian butuh apa biar aku belikan di sana."

"Sialan siapa?" Celetuk Big.

"Pak Gun, siapa lagi."

"Eh, kamu tahu?" Tanya Vegas pada Pol.

Pol terkekeh. "Dari Porsche Pak, kami berteman dekat sejak SMA. Hanya saja dia lebih dulu masuk ke kepolisian."

"Dasar!"

Vegas berjalan keluar kantor dengan wajah tertekuk, dia kesal saja. Pasti Pak Gun akan mengungkit soal pekerjaan dan perjodohan. Vegas tersenyum saat melihat Pete berjalan melewati kantor polisi.

"Hei Pete." Sapanya, Pete menoleh dan membungkuk kecil lalu berjalan cepat meninggalkannya. "Huh, sudahlah tidak ada waktu."

~~~

Dalam perjalanannya, dia tidak sengaja bertemu dengan laki-laki gondrong, anak pemilik rumah makan di desa Ban Rai. Sedang duduk di halte terakhir di mana tempat untuk menunggu bus menuju kota. Vegas menghentikan mobil, membuka kaca mobilnya.

"Hai, mau ke kota?"

"Oh, hai, iyaa."

"Masuklah, saya juga mau ke kota."

Laki-laki itu membuka pintu mobil, masuk dan duduk di sebelahnya, menatapnya tersenyum setelah memakai sabuk pengaman. "Waw, ternyata seorang polisi ya?"

Vegas tersenyum, melajukan mobilnya. Dia belum mengganti pakaian karena akan bertemu atasannya juga, jadi terlalu merepotkan jika harus berganti-ganti.

Mereka bercerita kecil memecah kesunyian, hingga Vegas menemukan pertanyaan menarik.

"Bagaimana kamu kenal dengan Pete, Kimhan?" Tanya Vegas, sekilas menoleh.

"Oh, Pete. Kami berteman di SMP dan SMA." Ujarnya. "Saya tidak bertemu dengannya saat SD karena saya ikut paman di kota."

"Ohh,"

"Saya kaget saat bertemu dengannya kemarin, dia itu tidak pernah keluar setelah tidak sekolah lagi. Tingkahnya masih sama seperti dulu," jelasnya sembari terkekeh. "Saya kaget saja, dia datang bersama dengan beberapa orang. Padahal setahu saya dia orang yang tidak bisa berinteraksi. Bagaimana kalian bisa akrab?"

"Pol dan Big yang mengenal baik Pete. Saya baru sebulan di sini, ya bicara hanya di balas dengan angguk dan gelengan." Jawab Vegas. Tidak perlu jugalah ia menjelaskan bagaimana kearaban mereka hingga Vegas berani mengecup bibirnya. "Apa di sekolah dia benar-benar tidak punya teman?"

Kimhan mengangguk. "Eum ya, soalnya dia memang sangat pendiam."

"Di rundung juga kah?"

Kimhan tertawa. "Wah, pasti banyak beredar gosip itu, tapi benar sih, Macau yang sering melakukannya."

"Macau? Anak Pak Korn."

"Yap. Dia yang paling bersemangat mengerjai Pete dulu, ada lah beberapa anak lain yang turut andil." Jelasnya.

"Kamu juga?"

Kimhan terkekeh, menatap keluar jendela. "Biasalah, anak-anak."

"Betul sih, menjadi anak-anak memang menyebalkan." Balas Vegas, menatap ke jalan yang sepi dan sepanjang jalan hanya melewati pepohonan.

"Apa anda membuat kesalahan?" Pertanyaan Kimhan membuat Vegas menoleh. "Setahu saya polisi yang dipindah tugas ke desa terpencil karena predikatnya buruk di kota."

"Tidak juga. Pemikiranmu terlalu dangkal." Kimhan ikut tertawa mengikuti Vegas. "Hanya sedang bermusuhan dengan atasan, makanya dipindahkan."

"Enak ya jadi atasan."

"Ya begitulah."

"Ah iya, bagaimana soal Bu Nindi. Betulan tidak diusut ya soal kematiannya. Kasihan sekali."

Vegas mengangguk. "Tidak ada bukti kuat siapa yang melakukannya."

"Kalau saya boleh menduga, Pete bisa jadi tersangka utamanya."

Vegas menoleh. "Kenapa dia?"

"Kalau saya jadi Pete, saya akan melakukannya. Mungkin jika Pete tidak melakukannya, sekarang juga pasti Pete orang paling bahagia di dunia ini mendengar kematiannya."  Ucap Kimhan. "Bu Nindi adalah orang yang paling besar mempengaruhi anak-anak untuk merundungnya, orang kedua setelah Macau."

"Dan kamu orang ketiga?"

Kimhan tertawa. "Anda pandai menebak."

Vegas menatap ke depan lagi. "Kalau meninggalnya Bu Nindi adalah kebahagiaan Pete. Bagaimana kalau kamu selanjutnya, Kimhan? Apa Pete juga akan bahagia?"

Next➡

STIGMA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang