Vegas berdiri, melihat Big dari dalam kantor yang tengah menyapa si laki-laki mimpi itu di depan kantor. Dia berjalan ke sisi pintu untuk menunggu Big, membuat Pol menatap kebingungan.
Saat Big sudah masuk ke dalam kantor, buru-buru Vegas menariknya mendekat, bahkan tidak mengindahkan hormat serta laporan dari Big setelah berkeliling desa.
"Ada apa Pak?"
"Itu, siapa namanya?"
"Yang barusan lewat?" Big menunjuk keluar dengan jari jempol.
"Iyalah, yang barusan kamu ajak ngobrol!" Vegas bersemangat, dia ingin tahu namanya. Tidak hanya namanya sih, kalau bisa Vegas ingin tahu semua tentangnya.
"Oh, Pete."
"Pete? Itu namanya?" Big mengangguk.
"Kenapa dengan Pete, Pak?" Tanya Pol, membuat Vegas menatapnya tajam.
"Katamu kemarin tidak kenal."
Dahi Pol mengkerut. "Ohh, bapak bilangnya laki-laki cantik sih, mana saya tahu kalau yang dimaksud itu Pete."
"Ya dia 'kan memang cantik, matanya saja berwarna abu-abu." Ungkap Vegas dengan kesal.
Big dan Pol saling pandang dan menatap Vegas lagi.
"Bapak lihat matanya?" Tanya Big.
"Kenapa? Tidak boleh kah?"
Big menggeleng. "Dia selalu menunduk, kami saja sampai tidak tahu bagaimana wajahnya secara keseluruhan kalau dilihat secara langsung. Apalagi sampai bisa melihat warna matanya."
Vegas terkekeh, menepuk dada Big. "Jangan membuatku merasa special."
"Tapi itu benar," ucap Pol. "Saya dengar dia itu anak yang seperti introvert, tidak bisa bergaul. Bahkan diajak bicara saja tidak bisa. Makanya selalu menunduk dan pergi kalau disapa."
"Kenapa begitu?" Vegas menarik kursi di hadapan Pol, dia tertarik pada cerita laki-laki bernama Pete.
"Minder Pak. Dia tidak melanjutkan sekolahnya sejak neneknya meninggal." Ucap Pol. Big ikut duduk di sebelah Vegas. "Katanya semacam depresi gitu, jadi kerjanya cuma ngurusi ladang peninggalan neneknya sama bantu-bantu warga di sini."
"Neneknya meninggal kenapa?" Tanya Vegas penasaran.
"Serangan jantung." Jawab Big.
Pol menegapkan dirinya. "Di bunuh, enak saja serangan jantung."
Big tidak ingin kalah. "Kata pak kepala desa serangan jantung kok."
Pol meminta perhatian Vegas. "Di bunuh pak, percaya sama saya."
Big juga meminta perhatian Vegas. "Bapak masa gak percaya sama pak kepala desa."
BRAK..
"Diam!" Vegas menggebrakkan meja. "Kenapa malah beradu sih, jadi intinya Pete itu menjadi sangat pendiam sejak neneknya meninggal?"
"Dia memang pendiam Pak." Jawab Pol. "Bukan mau membantah Pak Korn nih selaku kepala desa, hanya saja saya ini sudah bekerja di sini sejak tiga tahun lalu. Saya sendiri yang mengangkat jasad neneknya Pete. Memangnya ada serangan jantung tapi lehernya tersayat?"
Pol memajukan tubuhnya hingga menempel pada bangku, "saya kasih tahu sebuah rahasia."
Membuat Vegas dan Big ikut memajukan diri.
"Desa ini aneh. Saat saya meminta untuk diselidiki kematian neneknya Pete, warga menolak. Bahkan saya tidak diizinkan berbicara dengan Pete." Jelas Pol. "Sama seperti kematian Macau, anak pak kades. Katanya mati tenggelam karena sedang bermain dengan teman-temannya, padahal ada yang bilang kalau yang mendorong Macau adalah Pete."
"Hah?" Vegas memundurkan tubuhnya.
"Betul Pak!" Ucap Pol dengan penuh penekanan. "Tapi beritanya masih simpang siur, katanya Pete boleh saja melakukan itu karena Macau suka merundung Pete saat disekolah."
Big menepuk kepala Pol. "Kamu dengar dari mana sih?"
"Loh, saya kan kalau berkeliling bukan sekedar memantau." Ucap Pol. "Tapi sekaligus menggali informasi."
"Soalnya saya sempat tertarik sama Pete yang pendiam. Maksudnya, seperti ingin tahu apa yang terjadi sama dia. Gituuu." Sambung Pol.
Next➡
KAMU SEDANG MEMBACA
STIGMA [END]
Mistério / SuspenseVegas adalah aparat negara yang mendadak dipindah tugaskan ke Desa terpencil. Selama bertugas, ia mendapatkan sebuah kasus pembunuhan. Vegas berusaha memecahkan kasus itu. [Sorry, this is BxB] [Complete since : 1 March 2023] © intanksm98