(17) STIGMA

1.7K 216 16
                                    

Kimhan tertawa keras, membuat Vegas ikut tekekeh.

"Selain pandai menebak, anda juga pandai bercanda, Pak Polisi." Ujar Kimhan.

Vegas mengangguk. "Jalan yang lurus dan sepi ini membuat saya sedikit mengantuk."

Keduanya terdiam, Vegas kembali fokus pada jalanan.

"Tapi menurut saya ...." Suara Kimhan membuat Vegas menoleh.

"Kemungkinan Pete orang yang paling bahagia juga jika saya tiada." Membuat Vegas menatap Kimhan. "Ya, saya orang yang ikut di dalam kepedihannya. Dan juga, saya melihat sendiri bagaimana Pete mengatakan akan membunuh semua orang yang sudah menyakitinya. Dia mengatakan itu saat perundungan terjadi."

"Pete mengatakan itu?"

Kimhan mengangguk. "Pernah ada salah satu siswa yang mengatakan melihat mulut Pete menggumam 'mati' dengan tatapan kebencian tapi semua tidak ada yang mendengar itu. Jadi semua mengira kalau siswa itu hanya berhalusinasi saja. Tapi saat Pete mengatakan akan membunuh semua orang yang sudah menyakitinya, kami semua mendengar."

"Apa respon kalian saat itu?"

Kimhan tersenyum. "Tertawa."

"Menyedihkan."

"Ya, menjadi Pete memang menyedihkan."

"Bukan. Saya mengatakan kalian." Vegas dan Kimhan saling menatap. "Kalian menyedihkan."

Kimhan memutuskan tatapan mereka, laki-laki gondrong itu menatap ke depan dan mengangguk kecil. Tampak seperti menyetujui kalimat sarkasnya.

"Kalian merundung Pete itu memang hanya iseng saja atau memang Pete harus di rundung?" Vegas ingin tahu apa yang membuat semua orang ingin menyakiti Petenya.

"Saya dengar, saat SD dulu memang hanya iseng karena Pete anak yang bodoh dan pendiam. Jadi saat SMP mulai menjadi kebiasaan bagi anak-anak lain, sekitar kelas dua saya baru ikut-ikutan. Lalu saat SMA semakin menjadi karena Pete ketahuan menyukai sesama jenis-"

"-menjijikkan."

Vegas menatap Kimhan yang menatap keluar jendela. "Pemikiran di desa memang tidak semodern kota ya? Hal semacam itu dianggap hal yang hina."

"Ah, saya tidak berpikir seperti itu lagi." Kimhan tertawa kecil. "Ya pemikiran anak dulu, setelah berkuliah di kota, pemikiran sudah lebih dewasa. Hal semacam itu sudah lumrah."

Vegas menancapkan gas ketika sudah mulai memasuki area kota.

"Ini tidak pulang ke desa lagi?"

"Pulang. Nanti sore." Jawab Kimhan. "Ada panggilan wawancara."

"Wah, semangat ya?"

"Terima kasih." Kimhan menunjuk halte bus. "Turunkan di situ saja, mau bertemu teman dulu."

"Boleh." Vegas mulai memelankan lajuannya. Menghidupkan lampu sen. "Mendapat panggilan di mana?"

"Hotel Brawijaya." Ungkapnya.

Mata Vegas melebar. "Waw, hotel terbesar. Semoga di terima ya?"

"Semoga. Terima kasih,"

Kimhan melepaskan sabuk pengamannya.

"Ah iya Kimhan?"

Kimhan menoleh. "Ya?"

"Soal Macau yang meninggal di danau, apa benar Pete yang mendorongnya?"

Kimhan tersenyum. "Bukan di danau, Macau meninggal di jalan perempatan desa, tidak ada yang tahu kenapa sih? Tapi semua mengarah pada Pete karena memiliki motif yang tepat, saya tidak tahu kenapa Pak Korn mengatakan anaknya tenggelam, padahal dia sendiri yang menggendong anaknya dari perempatan sampai ke rumah."

Vegas mengangguk paham.

"Tapi, Macau pernah bilang, ingin membongkar rahasia ayahnya sendiri mengenai ibunya Pete. Tapi belum sempat bercerita karena sudah keduluan ajal." Ungkap Kimhan lagi, laki-laki itu merapikan tas ranselnya. "Sampai jumpa."

"Kimhan," panggilnya lagi.

"Ya." Kimhan menahan pintu.

"Menurut kamu, apa Pak Korn sendiri yang membunuh anaknya?"

"Siapa yang tahu. Bahkan banyak orang ya berpikir bahwa Pak Korn tidak sebaik itu."

Vegas diam, lalu menyodorkan kartu namanya pada Kimhan. "Kabari kalau mau pulang, kita bisa serentak. Lumayan untuk teman mengobrol."

Kimhan terkekeh, menerima kartu namanya. "Kasus itu sudah lama, tidak mungkin ada mau membukanya lagi kan?"

"Hanya butuh teman cerita." Tanggap Vegas.

Kimhan mengangguk. "Sepertinya anda tertarik pada Pete?"

"Begitu menurutmu?"

Kimhan mememulangkan kartu namanya. "Meski saya bilang saya tidak terlalu ambil pusing soal sesama jenis. Tapi saya tetap tidak bisa satu udara dengan orang yang menganut hal semacam itu. Terima kasih atas tumpangannya, semoga anda diberikan keselamatan."

Pintu tertutup, Vegas tersenyum tipis.

Dia kembali mengemudikan mobilnya naik ke atas jalan, mulai menuju tempat tujuannya. Vegas menatap kaca tengah di mana dia dapat melihat Kimhan masih berdiri di depan halte.

"Berikan doa itu untuk dirimu sendiri, Kimhan."

Next

STIGMA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang