[TERBIT DI SAMUDERA PRINTING SEMARANG]
"Aku begitu benci jika harus melihatmu lagi."
Emily terlambat untuk menyesal setelah melukai hati pria yang berjuang untuk mencintainya. Perpisahan dalam sumpah untuk membenci dan tidak bertemu lagi sukses memb...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Emily. Dari mana saja kau, Nak? Mengapa kau pulang terlambat? Sekarang sudah lewat dari waktu makan siang," tegur sekaligus tanya ibu Emily.
"Keluar seperti biasa, Bu. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan," jawab Emily singkat. Ia menyendok makanan dan memasukkannya ke dalam mulut.
"Ayah dengar, rumah pembantu yang berada di seberang kediaman kita akan segera dirobohkan. Tanahnya akan dibangun menjadi sebuah minimarket." Tuan Loyal membuka pembicaraan.
Emily meletakkan alat makannya. Ia menatap sekilas pengawal yang tadi menyertainya ke rumah Arthur. Pandangannya beralih kepada ayahnya kembali.
"Tidak akan dirobohkan," tolak Emily, membuat kedua orang tuanya diam menatapnya.
"Apa maksudmu, Nak?"
"Aku ingin Ayah membeli rumah itu untuk pelayan setiaku di rumah ini. Biarkan ia tinggal di sana, namun Ayah tidak boleh melakukan apa pun terhadap rumah itu," pinta Emily.
Ayah dan ibu Emily heran akan permintaan putrinya. "Emily ... kalau ibu tak salah ingat, rumah tersebut adalah tempat tinggal si rambut emas yang sangat kau benci, bukan?"
Emily menatap ibunya. "Benar."
"Lalu mengapa kau tetap ingin mempertahankan rumah yang bangunannya sudah terbengkalai selama 7 tahun itu?" tanya ibu Emily.
Emily merasa dirinya memang aneh. Segala pemikirannya berubah setelah menelusuri rumah itu sendiri dan menemukan banyak kenangan di dalamnya. Rumah itu dulunya ditinggali oleh seseorang yang begitu mencintainya, walau sampai sekarang tidak pernah diisi oleh apa pun.
"Yang kuinginkan hanya itu saja. Lahan dan tanah kosong masih ada di sebelah bangunan rumah itu. Buat minimarket bisa di mana saja, yang penting rumah itu tidak boleh dirobohkan," tegas Emily.
Sepasang suami istri itu saling menatap dan berbisik, membicarakan putri mereka yang berbicara aneh. Makan siang pun usai saat itu, Emily kembali ke kamarnya.
Cklek.
Pintu ditutup. Emily duduk di kursi meja belajarnya yang berwarna putih mewah. Bayangannya tak sirna, mengingat bahwa meja belajar Arthur hanya tersisa meja kayu yang bolong karena dimakan rayap.
Untung saja buku harian Arthur tidak rusak. Semua hasil tulisan tangannya kini berada di atas meja Emily, telah dibersihkan, dan halamannya telah direkatkan.
"Kerja bagus. Terima kasih telah membantuku," ujar Emily kepada pelayan yang kini berada di sisinya. "Sebagai hadiah, rumah yang ada di seberang kediaman ini milik Anda. Namun, jangan Anda pakai kamar yang bertuliskan nama Arthur di sana," jelas Emily.
"Telah sangat merepotkan Anda, Nona. Terima kasih atas pemberian Anda," sahut pelayan wanita yang selama ini berada di sisi Emily.
Emily hanya berharap, jika ada yang merawat rumah itu, maka kenangan milik Arthur pun juga tetap akan terjaga bersama rumah itu. Orang tuanya akan memerintahkan pekerja bangunan untuk memperbaiki rumah itu agar layak dipakai besok pagi.