Untuk yang kedua kalinya Arthur meminta Emily untuk berbicara dengannya di ruang kerja. Ruangan pribadi milik Arthur, di mana siapa pun tak dapat mengganggu pembicaraan mereka.
Pria itu meminta Emily untuk duduk di sofa. Arthur membawa masuk kompres air dingin dan beberapa obat pereda nyeri.
Emily terkekeh. "Kau tidak sedang berusaha mengobatiku, bukan? Tadi Florine telah melakukannya."
Arthur tidak peduli. Ini adalah kesalahannya. Ia duduk di sebelah Emily, menunggu Emily untuk mengulurkan tangannya. Tanpa izin darinya, ia tak akan menyentuhnya.
"Kau benar-benar gentle. Terima kasih." Emily mengulurkan tangannya dan membiarkan pria yang begitu membencinya mengobatinya.
Arthur belum berkata apa pun dari tadi. Ia meletakkan kompres dingin ke handuk, tidak lupa memberikan beberapa pil obat dan segelas air.
Setelah melakukan beberapa tindakan, akhirnya usai juga. Keduanya terjerat dalam suasana sunyi. Emily menjaga kata-katanya, begitu juga Arthur.
"Maaf."
Akhirnya suara berat nan lembut itu keluar dari mulut Arthur. Emily begitu senang mendengarkannya, karena apa yang ia ingat dulu adalah suara cempreng dari anak laki-laki jerawatan.
"Aku begitu konyol karena menutupi Jacob. Kau tak dapat dihentikan, jadi aku mengambil inisiatif," jelas Emily.
Arthur mengerutkan keningnya heran. "Mengapa kau masih melindunginya setelah semua hal buruk yang ia lakukan padamu?"
Beberapa detik diam, Emily tersenyum miring. "Ia masih tunanganku, dan aku tidak ingin kau bermusuhan dengannya. Ia memang cakap di mulut, tapi tak pernah aku melihatnya berkelahi. Jadi aku pikir, ia tak dapat membela diri."
Arthur tertawa kecil merendahkan. "Kau memang bodoh karena mencintai orang itu."
Benar. Emily memang bodoh. Ia dibutakan oleh semua hal manis dan cinta palsu yang ia dapatkan dari Jacob. Semuanya terasa begitu indah sampai mereka harus menghadapi kenyataan untuk melangkah ke dunia pernikahan.
"Seandainya kau tidak meninggalkanku ke kota ini, mungkin kau akan membelaku jika aku membutuhkan seseorang untuk menampung air mataku," kekeh Emily.
Mendengar apa yang Emily katakan sekarang, hati Arthur mengeras kembali. Rahangnya mengeras, ia tidak sadar bahwa ia sudah terlalu baik pada Emily.
"Aku tidak menyesal meninggalkan kota itu." Arthur diam sebentar sampai Emily melihatnya.
"A-Aku tahu jika aku bersalah. Kau memang berhak menyesal. Namun, ketika kau tidak ada, suasananya berbeda. Aku kesepian," sahut Emily. "Rasanya seperti kehilangan. Maka dari itu, aku berharap dapat melihatmu lagi. Dan kini, aku ada di sini."
Ucapan itu terdengar begitu manis. Telinga Arthur pedas mendengarnya. Pria itu berdiri dari tempatnya, tak akan melupakan jarak di antara mereka.
"Aku begitu benci jika harus melihatmu lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Withered Roses [PROSES TERBIT]
Romance[TERBIT DI SAMUDERA PRINTING SEMARANG] "Aku begitu benci jika harus melihatmu lagi." Emily terlambat untuk menyesal setelah melukai hati pria yang berjuang untuk mencintainya. Perpisahan dalam sumpah untuk membenci dan tidak bertemu lagi sukses memb...