Setelah kepergian Oma, kami merasa sangat kehilangan. Aku merasakan sebuah penyesalan dalam hidupku karena telah mnyia-nyiakan Oma yang merupakan orang tua satu-satunya sekaligus orang terakhir yang masih bertahan di keluarga Sanjaya.
Sayang sekali, aku kehilangan sosok itu. Aku amat menyesal karena belum bisa menjadi cucu yang bisa membahagiakan Oma ku. Hatiku seketika hancur melihat kepergiannya. Apalagi saat melihat adik bungsuku yang terlihat sangat menyedihkan hingga tidak bisa menangis saking kehilangan sosok yang ia sayang.
Aku bingung. Bingung harus bagaimana sebagai kakak. Pantaskah aku menjadi seorang kakak yang tidak bisa mengajak adik-adikku ke dalam hal baik? Pantaskah aku disebut seorang kakak padahal aku yang mengajari mereka menjadi seorang brandal? Pantaskah aku disebut seorang kakak karena tak bisa membimbing mereka?
Tentu saja tidak. Kakak mana yang mengajari adik-adiknya seperti itu? Hanya aku dan tentu saja aku. Aku hanyalah seorang kakak yang tidak pantas disebut kakak. Seandainya waktu itu aku saja yang pergi dari rumah dari pada San.
Aku benar-benar malu pada mereka, malu pada diri sendiri, dan malu pada keluargaku yang sangat menyayangi dan mempercayakan semuanya padaku. Sayangnya, aku malah mengingkari kepercayaan mereka.
Mungkin kehilangan Oma adalah hukuman atas semua kelakuanku dulu. Tuhan sedang menghukumku dengan membuatnya pergi. Terimakasih untuk hukuman itu, karena telah membukakan hatiku.
Setelah beberapa hari kepergian Oma, aku berniat membersihkan kamar Oma yang terlihat berantakan. Setelah kepergiannya, tak ada satu pun yang berani menyentuh barang miliknya ataupun masuk ke dalam kamarnya karena mengingatkan kami pada Oma. Namun aku tak peduli. Aku mulai memutar knop itu, lalu memasukinya.
Kulihat barang-barangnya yang sedikit berdebu. Aku mengambil sebuah bingkai foto yqng memperlihatkan seluruh keluarga kami sebelum Tuhan mengambil mereka dari kami.
Aku tersenyum.
Aku masih ingat foto ini. Ini adalah foto saat berlibur ke Disniland. Tiba-tiba aku bernostalgia ke masa lalu. Aku ingat, tentang peristiwa yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidupku. Di peristiwa itu, Harlan menangis karena berebut permen dengan Mondy. Harlan yang keras kepala,
sementara Mondy yang tidak mau kalah.Aku meletakkannya ke sudut nakas. Tak lama, sebuah benda berwarna putih panjang menyumbul di bawah kolong tempat tidurnya. Karena penasaran, aku memungutnya untuk membaca isinya.
Aku menutup mulutku tak percaya. Air mataku menetes perlahan ke wajahku. Sebuah rahasia besar yang ditutupi oleh Oma kepada kami. Rahasia tentang sebuah penyakit yang tidak diketahui oleh semua orang termasuk aku. Sebuah surat dari medis yang menyatakan, bahwa Oma kami memiliki riwayat jantung dan sudah memasuki stadium akhir.
Tak lama, aku melihat sebuah kertas yang ditumpuk oleh sebuah buku kecil. Aku lanhsung mengambilnya dan membacanya juga. Aku kembali meneteskan air mataku saat membaca isi tulisan itu.
Tak lama, aku merasakan tepukan di bahuku. Kupandang Harlan dengan tatapan sendu.
"Kenapa kak? Kok kakak—"kusodorkan dua kertas yang sempat ku temukan kepadanya.
Aku bisa melihat air mata kesedihan di balik mata tajamnya. Dia menangis setelah membaca surat itu. Ku rengkuh adikku yang tengah menunduk ke dalam pelukanku.
"Oma....,"
"Iya Lan, aku juga terkejut setelah membacanya.....kamu tidak sendiri....,"ujarku.
Tak lama, beberapa saudaraku datang lalu menghampiri kami. Aku rangkul satu persatu saudaraku setelah kuberikan surat tadi kepada mereka. Mereka juga ikut menangis bersama setelah membaca surat itu.
"Kita harus kuat setelah ini, kita harus bangkit!"ujarku menguatkan mereka. Mereka mengangguk menuruti ucapanku.
![](https://img.wattpad.com/cover/318205675-288-k16871.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
8 Makes 1 Family's
Teen Fiction[TELAH DIBUKUKAN] Kamu pernah merasa menjadi orang yang paling beruntung diantara orang lain? Pasti sangat menyenangkan bukan? Ya, itulah yang di rasakan oleh seorang gadis desa bernama Arqelah Yujin Hidayah. Tapi, siapa sangka jika gadis desa itu...