3.1 ㅡ THE LOST TAPE
"Ham, jangan gini . Tolong, jangan..."
Layar kamera menampilkan gambar yang temaram dan agak buram. Terdengar suara Ilham, juga suara seorang yang lain yang terus menangis sambil meringis sakit.
"Ka... Raka. Dengar aku, kita akan baik-baik aja. Kamu jangan banyak gerak nanti lukanya makin parah. Yah? Aku cuma butuh gergaji pipa ini sedikit lagi, lihat nih udah tinggal dikit lagi. Oke? Ini kamu dengarkan musik aja. Kamu gak akan sadar aku udah nyusul. Mas, udah bisa ini. Tolong yah mas?" Usai berujar demikian dipakaikannya earphone ke telinga Raka, wajah Ilham lalu terpampang di depan layar.
"Ilham! Ilham!" Terdengar teriakan Raka tak lama kemudian, perlahan mengecil, mengecil hingga benar-benar hilang.
Fanny dan Netha segera terisak sesenggukan di pelukan Marco dan Andika. Yang lain merasakan nafas mereka tertahan. Wajah yang terpampang di layar itu, benar Ilham, wajah yang enam bulan yang lalu mereka lihat membiru di dalam kantong jenazah.
Terdengar suara derit besi beradu dengan gergaji. Juga deru air yang tak hentinya terdengar kian ramah, siapapun yang mendengarnya akan paham bahwa si pembuat video ini sedang berada di dalam ruangan yang dengan perlahan sedang di penuhi air.
"Hah... Ilham gak kuat lagi. Ilham udah berusaha, bunda... Ilham takut..."
Andika yang sedari tadi kuat, kini tak mampu tangisnya. Kini ialah yang harus di kuatkan, ia menangis di bahu Hans.
Terdengar lagi di sela-sela tangisan, suara peraduan besi dan gergaji. Penyelamat yang membawa Raka keluar belum juga kembali.
Tiba-tiba tampilan layar bergeser, tak terdengar lagi suara besi. Ilham baru saja membawa kamera itu ke tangannya. Lebih dekat seperti itu, wajah Ilham kini terlihat lebih jelas. Ada luka lebam dan gores di beberapa tempat di wajahnya, William paham betul, persis seperti saat ia meriah wajah itu untuk terakhir kali kala itu.
"Hah, menjijikan sekali. Menangisi diri sendiri. Siapa sangka aku akan mati begini." Kalimat-kalimat acak tertutur olehnya. Di sertai hening demi hening kemudian.
Kamera lalu di letakkannya lagi. Suara gergaji kembali terdengar.
Hingga belasan menit berlalu, benar-benar tak ada penyelamat lagi yang datang. Suara deru air kian deras terdengar, kini suara gergaji sudah tak terdengar sama sekali. Untuk kedua kalinya, kamera di arahkan ke wajah Ilham.
"Hah..." Ada jeda yang tak singkat. Hanya terdengar suara deru air yang kian keras. Seisi dojo menyaksikan dalam diam, begitu mencekam. Seolah mereka semua juga berada dalam ruangan sempit itu bersama Ilham. Bermenit berlalu, suara Ilham lalu kembali terdengar.
"Peter, hal baik kamu udah balik kemarin. Tolong yah, aku titip Raka. Kamu kuatin dia, aku minta tolong kalian berdua selesain tugas kita ini. Semoga nilai kita bagus, yah. Aku sayang kalian."
"Teh Fanny... Nanti, di kamar Ilham teteh coba buka nakas di samping ranjang. Laci tengah. Ilham ada hadiah buat Junior, harusnya di kasih sebelum kesini. Tapi lupa. Ilham beruntung, udah sempat gendong Junior sekali. Junior punya wajah setampan ayahnya, juga mata seindah bundanya. Ilham tau, jagoan kecil teteh ini akan jadi orang hebat nanti."
Fanny meraung kian tak karuan, Marco memeluknya erat. Sama-sama ikut menangis.
"Kang Nico, lebih sering bilang i love you sama Kang Reno. Gitu juga sebaliknya. Serius. Kalian berdua terlalu sibuk sendiri sekarang. Cita-cita boleh ada, tapi bahagia itu harus yang utama, kan? Ini quote Kang Nico, loh."
"Teh Netha. Hah... Harusnya Ilham ikut antar ke bandara waktu itu. Hmm, kalau Kang Dika lama, Teh Netha aja yang nembak. Hehe, makasih udah nemenin Kang Dika di masa-masa sulit di sana Teh. Kedepannya juga, Ilham mohon bantuannya yah. Kang Dika itu susah sekali dalam hal mengutarakan, tapi nyatanya dia sosok paling perhatian yang pernah Ilham kenal."
"Hah... Kang Yoyo. Kalau lihat video ini, pasti Kang Yoyo sedang marah sama Ilham. Ilham gak menepati janji. Tapi, Ilham paling tau Kang Yoyo. Orang paling kuat, paling tegar yang pernah Ilham kenal. Jangan bersedih terlalu lama. Untuk Ilham, hiduplah lebih baik dari hari ke hari Kang. Nanti, kalau boleh sesekali main lah ke rumah. Temani Satya, Kang. Makasih, Kang. Udah hadir di hidup Ilham. Ilham cinta Kang Yoyo."
"Bunda..."
Kali ini Ilham terhenti, kembali menangis. Kali ini terdengar jauh lebih menyayat hati lagi dari sebelumnya. Ketakutan, kerinduan melebur jadi satu.
"Ilham dari dulu, cuma memimpikan hal-hal kecil bunda. Hidup sederhana, membantu bunda di rumah, bermain sama teman-teman, makan masakan buatan bunda. Pijat punggung ayah sama bunda setiap pulang kerja. Apa semua itu terlalu muluk, bunda? Salah Ilham apa? Kenapa, kenapa selalu cuma Ilham. Kenapa bunda? Bunda, Ilham takut..."
Suara derit keras yang entah apa tiba-tiba terdengar. Menyusul layar yang menampilkan bagaimana si pemegang kamera terguncang sebelum video itu terhenti.
"Dek, adek. Ya Tuhan, adek." Andika betul-betul kehilangan kendalinya.
Dalam dekapan Hans ia menangis se jadi-jadinya. Tak ada mata yang bertahan kering sepanjang sisa malam itu. Luka oleh kehilangan itu nyatanya tak pernah benar-benar sembuh. Dan entah akan bisa. Ilham pergi begitu cepat, lalu dengan cara yang amat kejam. Namun nyatanya manusia hanya para pelakon dari kisah yang sudah tertulis tuntas dalam buku bernama takdir hidup. Buku dimana segala hal telah tercatat untuk masing-masing insan dari awal hingga akhirnya. Hans segera menyesali keputusannya membawa Yoyo ikut bersamanya tadi.
"Biar kakak yang bawa kameranya, sekalian antar Kang Dika pulang."
*
"Gua gak tau harus bilang apa ke bunda, Hans. Bunda akan hancur sekali kalau melihat ini, gua nggak bisa lihat itu." Cetus Dika resah.
Ia baru saja meminta Hans menepikan mobil, rumahnya masih cukup jauh. Hujan di luar masih cukup deras. Hans ikut terpekur, memilih diam untuk beberapa saat.
"Hari itu, selesai berurusan dengan dosen-dosen Yoyo gua langsung ke Rumah Sakit. Saat tiba semua orang sudah berkumpul di kamar jenazah. Sudah lama sekali sejak terakhir gua lihat kehebohan sebesar itu." Hans mulai berujar.
"Lalu gua mendengar dari beberapa orang disana. Kayaknya beberapa dari mereka juga ada di atas kapal saat peristiwa itu terjadi. Almarhum adik lo, menyelamatkan begitu banyak nyawa hari itu. Orang-orang yang sama, beserta keluarganya juga datang melayat saat upacara pemakaman. Lo pasti bangga, punya adik seperti almarhum."
Hujan di luar cukup deras untuk menyamarkan suara tangis Dika yang kembali meledak. Hampir setengah jam setelahnya barulah Hans melanjutkan perjalanan mereka. Tiba di rumah menjelang tengah malam. Andika bersyukur bundanya telah terlelap, di dapatinya tertidur di kursi goyang dengan televisi yang masih menyala.
"Gua pamit, yah. Kasihan anak-anak di rumah. Videonya lo simpan dulu aja, tunjukin sama bunda dan Satya saat lo rasa tepat."
"Makasih, Hans. Gua titip Yoyo, di pasti terguncang lagi gara-gara ini."
Hans mendengus, seraya mengangguk pelan. Andika masih di depan pintu sampai mobil sahabatnya itu menghilang dari pandangan.
Usai mengunci pintu, ia melangkah mendekati Binar. "Bunda..." Ujarnya seraya menepuk pelan pundak sang bunda.
Wanita itu menggeliat sejenak sebelum matanya terbuka. "Dika..." Desis Binar seraya menegakkan tubuh.
"Tidur di kamar aja, di luar hujan deras. Nanti bakal dingin banget."
"Ah, iya. Kamu udah makan?"
"Udah tadi di Cafe. Bunda?"
"Tadi bunda makan sama Vanya dan Leo, mereka disini sampai larut. Tadi kalian ke dojo?"
"Iya bunda, Hans nawarin anak-anak nginap disana aja untuk persiapan wisuda. Lebih dekat ke kampus juga."
Binar mengangguk. "Hmm, Yoyo gimana kabarnya yah. Udah lama sekali dia gak main kemari." Tiba-tiba Binar berujar.
Dika tersenyum kecil, "Tadi dia ada, bunda."
Senyum pun ikut terurai di wajah Binar, "Iya kah? Gimana keadaannya sekarang, nak?"
"Udah jauh lebih baik, bun. Kata Hans tadi sebelum ke dojo dia minta di antar ziarah. Hebat juga sahabatku itu."
Binar terdiam lebih lama, "Ini yang pertama, yah? Sesudah pemakaman."
"Iya, bunda."
"Baguslah. Hmm, ya sudah bunda ke kamar yah. Besok harus bangun subuh, bunda ingin masak untuk mereka di wisuda." Ujar Binar sambil tersenyum.
Sepeninggal bundanya, Hans mengambil ranselnya di lalu melangkah ke kamarnya. Langkahnya lalu terhenti di depan pintu kamar mendiang Ilham, pintu kamar itu tak seperti biasanya terbuka. Hanya terkuak sedikit, memperlihatkan sosok Satya yang sedang terlelap memeluk guling di atas ranjang.
Dika teringat lagi hari pemakaman itu. Peti jenazah siap di antar ke liang lahat, tapi Satya tak mengizinkannya. Sang adik bungsu, memeluk peti itu dengan erat sembari terus histeris meraungkan tangisan. Menyayat hati siapa saja yang menyaksikan.
Andika memutuskan untuk menemani si bungsu tidur di kamar tersebut. Satya yang begitu peka segera terbangun begitu tubuh tinggi sang kakak tuntas berbaring di sampingnya.
"Kang..."
"Kang Dika juga mau tidur disini, boleh yah?"
Satya mengangguk, si bungsu yang biasanya paling risih di peluk, kali ini tak mengelak kala Andika memeluknya dari samping dengan erat.
"Kang..." Satya berujar setelah beberapa saat hening.
"Hmm?" Jawab Dika. Seraya menatap wajah sang adik, kian hari wajahnya semakin mirip Ilham.
"Besok antar Satya ziarah, yah."
Dadanya menghangat lagi, susah payah menahan diri untuk tak menangis di depan sang adik. "Ok. Kang Dika juga mau ziarah tapi gak sempat-sempat."
Keduanya terdiam setelahnya, sama-sama terlalu takut mengujarkan apapun yang tak mampu mereka lanjutkan.
Dika masih terjaga sampai Satya kembali terlelap, Memandanginya tanpa jengah, Satya dan bundanya adalah dua orang yang harus ia lindungi saat ini. Ia yang dulu begitu menentang pernikahan kedua sang ayah, kini menjadi satu-satunya tempat mereka bersandar. Ia kini amat menyesali sikapnya dulu, semua kata-kata dan perbuatan buruk yang tak terhitung lagi. Kini, melihat tangisan dari keduanya adalah hal yang paling ia takuti.
*
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
I Think I Love You, Buddy (END)
RomanceFriend to Lover §§§ A bittersweet and (sometimes) naughty story about friends and (or to) lovers. §§§