32 ㅡ Resepsi Alternatif

168 9 1
                                    

"Asli ini nikahan paling kocak yang pernah gua datengin." Ujar Marco berhadiahkan cubitan dari Fanny.
Di depan sana, Nico dan Reno sedang berdansa di depan masing-masing orangtua mereka. Bahkan di depan kedua orangtua Virgy. Nyatanya tak ada yang menikah hari ini, pengumuman Mathias dan Marlina mengenai pembatalan berbalas reaksi variatif dari para keluarga dan undangan.
Yemima dengan caranya berhasil mempertahankan semua keluarga besar mereka demi pengumuman yang di canangkannya untuk Mathias ujarkan. Awalnya Mathias ragu, tapi Yemima berhasil meneguhkan tekad adiknya.
"Ini momen yang paling pas, Mathias. Kita tentu gak akan bisa mengendalikan reaksi mereka nanti, tapi ini jauh lebih baik di banding harus menyembunyikan semuanya nanti. Ini bakal lebih berat lagi untuk Nico dan Reno."
Setelah merenung beberapa saat, Mathias kemudian mengangguk. Marlina mendorong kursi rodanya menuju mimbar.
"Saya penyelenggara pesta paling buruk yang pernah teman-teman semua temui itu sudah pasti. Saya cuma bisa memohon maaf sebesar-besarnya untuk itu. Tapi disini, saya akan bercerita tentang putra kedua saya. Nicholas..."
Di duduknya bersama rombongan para sahabat, Nico dan Reno terperanjat. Mereka bahkan belum menyadari Mathias sudah berada di mimbar dan sedang bercerita.
"Dari semua anak-anak saya, Nico ini sejak kecil adalah yang paling susah diatur. Paling menyusahkan. Umur 4 tahun, saya dan Marlina dibuat panik kalau-kalau dia hilang padahal sedang ketiduran dibawah meja akibat kekenyangan usai memakan habis kue ulangtahun kakaknya sekaligus. Umur sembilan tahun, saya dipanggil pihak sekolah untuk mengurusnya yang bakupukul dengan teman sekelasnya. Umur enam belas Marlina nyaris membuat jantung saya lepas saat mengabari bahwa Nico sedang di kantor polisi akibat tergabung tawuran sekolah. Saya benar-benar merasakan bagaimana mendidik anak dari segala aspek saat membesarkan Nico." Mathias mengambil jeda, ia siap menangis kapan saja kala itu. "Tapi para hadirin, putra saya ini juga memiliki sisi lain. Sejak SD sampai dia lulus SMA. Tidak satu haripun dia lupa membuatkan ayahnya ini kopi di pagi hari dan teh di sore hari. Meski terkenal sebagai siswa pengacau, nilainya di sekolah tak pernah rendah. Peringkatnya tak pernah dibawa sepuluh besar. Dia sangat tau apa yang paling bisa membuat orangtuanya tersenyum bahagia. Dia akan melakukan hal-hal aneh yang bisa memancing senyum kedua orangtuanya ini semisal saat pulang ke rumah seusai hari yang berat. Dia paling tak bisa melihat saya dan Marlina menangis. Seberbakti itulah putraku ini, sampai suatu hari saat putra sulung kami... Kakak tersayangnya... meninggal dalam sebuah kecelakaan. Tanpa saya ketahui putra saya ini mengikrarkan janji untuknya akan menjaga dan membahagiakan kedua orangtuanya dengan seluruh hidupnya." Pada titik ini, Mathias telah dalam kontak mata dengan putranya.
Netha mengusap pundak sahabatnya seraya menyeka airmata di wajahnya dengan tissue.
"Tanpa saya sadari, janji itu sudah mengekang hidupnya dengan cara yang paling kejam. Roda takdir menambahkan satu elemen lagi dalam hidupnya yang membuat segalanya menjadi semakin tak terkendalikan. Dia jatuh cinta dengan seorang pria."
Seruan kaget terdengar di seisi venue begitu kalimat terakhir itu terucap juga dari mulut Mathias. Segera setelahnya riuh ribut orang-orang yang tadinya tenang mengubah total suasana.
"Kalian berdua maju di depan sini. Bantu ayah kalian ini membereskan kekacauan yang sudah kalian lakukan." Sentak Mathias mengagetkan Nico dan Reno, kedua pemuda itu saling tatap dalam kebingungan.
"Udah maju aja, ini masih mending dibanding kalian berdua di sabet rotan nanti di rumah." Ujar Fanny dengan tatapan datar. Nico membalas dengan tatapan kesal.
"Rese lo."
Dengan takut-takut dua pria dalam balutan kemeja dan celana setelan yang memukau itu memasuki jangkauan lampu sorot. Keduanya lalu berdiri disamping Mathias tanpa berani menatapnya.
"Coba perkenalkan siapa kamu, dan jelaskan alasan yang membuatmu berdiri disini saat ini." Ujar Mathias sambil berusaha menahan senyum diujung bibirnya.
Bergetar hebat, tangan Reno benar-benar bergetar hebat saat mengambil mikrofon dari tangan Mathias. Jantungnya berdegup kencang seolah sedang berada dalam babak terakhir lari marathon. Nico dengan cepat meraih pergelangan tangan kekasihnya itu saat terlihat mikrofon malang itu siap dijatuhkannya.
"Kyaaaaa..." Tawa orang-orang disekitar mereka pecah saat Netha tak mampu menahan jeritannya melihat adegan lucu nan mesra yang tercipta diantara dua sahabatnya di panggung sana.
Virgy yang baru bergabung ikut heboh ketika duduk diantara Fanny dan Netha. "Sumpah itu gaun, ngelepasnya ribet banget."
"Tapi kamu cepet banget tau." Sahut Fanny sembari merapihkan lagi rambut Virgy yang sudah di style ulang.
"Iyalah, aku gak akan mau kelewatan momen historik ini."
"Hampir aja lo nikah sama itu orang gila." Jawab Fanny.
"Nyaris. Tapi aku udah sempat nampar dia sih minggu lalu."
"Serius!?" Tanya Netha.
Tawa parah sahabat itu pecah lagi mendengar celotehan Virgy kala itu. Virgy kemudian membelalak saat melihat Yemima yang baru saja duduk di dekat mereka.
"Tante, maaf..." Ujar Virgy sambil tertunduk.
"Hih, ngapain cuma di tampar aja? Kamu bisa judo kan? Harusnya kamu praktekin tuh."
Gerombolan itu terbahak lagi. "Tante ih, tapi bisa sih. Nanti Virgy coba."
*
"Na-nama saya Moreno Marcus Raharja. Sa-saya... Saya... Jatuh cinta sama Nico sejak pertama bertemu."
Riuh hebat dari arah para hadirin pesta menyambut ujaran terbata-bata Reno diatas panggung saja. Yemima, Vanya juga beberapa orang lainnya tak melewatkan mengabadikan momen berharga itu dengan kamera masing-masing. Seperti yang ditebak, reaksi para penonton sungguh bervariasi. Ada yang hanya menatap datar, bersorak kegirangan, tapi tak sedikit pula yang menatap jengah dan tak nyaman. Marlina menggenggam tangan suaminya, meyakinkannya bahwa mereka sudah melakukan yang terbaik. Mathias mengangguk lalu kembali mengambil alih mikrofon.
"Benar atau salah, semua itu relatif. Dan tentu saja menjadi tanggung jawab masing-masing kita sebagai manusia. Saya disini menyatakan diri, akan mendukung anak-anak saya beserta pilihan-pilihan mereka dalam hidupnya. Saya percaya, cita-cita terbesar kita sebagai orangtua adalah menyaksikan anak-anak kita hidup bahagia. Hanya jika hadirin sekalian masih sudi dan berkenan, saya ingin kita semua melanjutkan pesta merayakan hari yang begitu berharga untuk keluarga saya ini."
Tanpa di duga Mathias, pidatonya bersambut tepukan tangan dan sorak dari sebagian besar mereka yang hadir. Begitu bahagia dan menyejukkan hati, Marlina memeluk dan mencium pipinya dengan sayang. Harry dan Silvia bergabung dalam momen penuh haru dan bahagia itu bersama Yemima yang kemudian mengambil alih.
"Huh, benar-benar hari yang mencengangkan. Potong kuenya kita skip aja kali yah, semua orang udah lapar disini. Kita tutup dengan satu sesi saja, heh kalian berdua. Sebagai hukuman karena udah nyusahin orangtua, beri kita... Apa bilangnya yah, ah... Engagement dance. Teman-teman EO, tolong yah." Ujar Yemima seraya mematikan mikrofon.
"Tante..." Rengek Nico.
"Gak ada tapi-tapian. Cepetan, bentar lagi orang-orang pada ngamuk kelaparan. Ayo dek, Harry, Silvia kita ke meja makan keluarga aja."
Nico tak diberi celah menghindar, rona merah di telinga dan wajahnya kian parah. Hal yang sama juga dirasakan Reno.
"Ini gimana?" Bisik Nico.
"Gak tau, kamu bisa dansa?"
"Boro-boro. Ngereog doang gua bisa."
Keduanya kemudian tersentak dikejutkan dengan musik yang diputar terlalu keras, membuka sesi dansa dengan Endless Love milik Diana Ross dan Lionel Richie. Para hadirin terbahak, untungnya operator sound dengan cepat menangani.
"Dansa aja, ikutin hati kalian." Nico dan Reno tersentak tak menyadari semua sahabat mereka sudah berada di depan panggung mengabadikan momen memalukan bagi mereka itu. "Ren... Ayolah!"
Reno kemudian menarik nafas panjang lalu melakukan hal yang mencengangkan Nico. Dengan satu gerakan cepat tubuhnya ditarik hingga tak lagi berjarak dari sang kekasih. Tangan kanannya menetap di pinggang kiri Nico setelah menempatkan tangan kanan Nico di pinggang kirinya. Selanjutnya, tangan mereka yang lain saling menjalin dalam posisi terangkat ke udara.
Para sahabat di depan mereka ternganga menyaksikan, seperti beberapa dari arah para hadirin. Sorak tepukan tangan kemudian terdengar sebelum satu per satu dari mereka turun untuk bergabung di lantai dansa ataupun menuju meja makan.
"Dansa kita selanjutnya, aku akan benar-benar mempersunting kamu sebagai temanku menghabiskan sisa hidup. Seribu kali pun kamu dorong aku menjauh lagi, aku takkan bergeser meski sejengkal aja." Nico merasakan hangat di dadanya setelah ujaran singkat kekasihnya itu. Ia menunduk, airmatanya siap keluar.
Momen selanjutnya, Reno tanpa ragu dengan lembut mengangkat dagu Nico lalu mendaratkan ciuman ke bibir kekasihnya itu. Keduanya berairmata dalam ciuman penuh bahagia itu. Mereka telah melewati banyak hal, kesemuanya itu hanya membuat mereka menjadi lebih kuat dan dewasa lagi dalam menjalani hidup.
Bersama Netha dan Fanny, Virgy ikut berairmata. Bersama yang lainnya larut dalam haru dan bahagia.
"Lelaki bodoh, betapa beruntungnya kamu punya sosok yang mencintaimu seperti itu." Gumam Virgy pelan.

*
"Kamu membuatku merasa jadi orang paling jahat, Mathias. Harusnya kamu sempatkan membahas semuanya denganku. Kamu ini." Ujar Frank seraya menepuk pelan pundak sahabatnya itu.
Marlina yang terlalu malu menatap Hana justru ditarik lengannya mendekat.
"Dilihat lebih seksama, ini tuh hal baik. Kita hampir saja memasung anak-anak kita dalam kesukaran yang akan mereka jalani sepanjang sisa hidup. Kita berempat memang sempat punya mimpi besar untuk mereka, tapi apakah sepadan jika terwujudnya mimpi itu harus kita bayar dengan kehilangan sosok mereka sebagai anak?" Ujar Hana dengan tenang seraya menggenggam jemari Marlina."Hari ini kita belajar banyak hal, lebih-lebih kita sebagai orang tua. Juga yang nantinya akan segera menjadi orangtua." Lirik Hana pada Vanya dan Leo.
"Tante ih."
Hana masih bisa bercanda di situasi seperti itu. Memberi Mathias dan Marlina kelegaan yang besar dihati mereka. Hana benar, lebih banyak hal baik yang tercipta dari peristiwa yang terjadi hari itu.
Tiga hari kemudian...
Rombongan yang lain sudah pulang sehari setelah acara, termasuk Virgy. Nico dan Reno di minta tinggal oleh Mathias untuk dua hari lagi. Dalam masa itu, keduanya dibekali
"Maaf aku baru bisa datang lagi sekarang, kak. Kakak tau Reno, kan? Terakhir aku ngenalin dia sama kakak sebagai sahabat, kali ini aku bawa dia sebagai pacar. Orang yang akan bersamanya Nico habiskan sisa hidup...'
Ziarahnya kali ini sungguh berbeda. Kini Nico dapat dengan sempurna merasakan apa yang sang kakak rasakan dulu. Andai sang kakak masih hidup dan bersamanya hingga saat ini, betapa menyenangkannya mereka akan bisa saling berbagi. Usai ziarah keduanya kembali dengan motor menuju rumah. Tiba disana semuanya sudah siap, mereka harus segera kembali ke Bandung. Nico menatap kedua orangtuanya dengan cemas. Lagi, ia harus meninggalkan mereka demi menyambung hidup di tanah orang.
"Tolonglah pa, kabari Nico setiap kali ada apa-apa."
"Kamu tenang aja, tante akan pantau semuanya. Papa kamu perkembangannya pesat sekali, kayaknya berkat pacarmu yang hebat ini." Ujar Yemima seraya menepuk pundak Reno.
"Tante..."
"Tante kalian benar, papa amat bahagia dan jauh lebih tenang setelah tau sosok yang mendampingi anak papa adalah sosok sehebat Reno."
Nico memeluk sang ayah begitu lama menyusul kemudian menggendong Ben Junior yang begitu lucu seraya mencium ibunya. "Kamu yang cepet gedenya, jagain mama sama papa. Kalian berdua juga, awas aja kakak dengar pada bandel sama mama papa." Nico berujar tegas pada adik kembarnya, Fino dan Fani.
"Iya kak."
Mathias menatap putranya naik ke mobil bersama keluarga sahabatnya yang tak pernah ia duga menjadi orangtua dari seseorang yang kepadanyalah putra mereka menambatkan hati.
"Ma..."
"Hmm?"
"Rasanya lega sekali, harusnya papa bisa berusaha lebih gigi untuk lebih dekat dengan anak kita itu sejak dini yah. Kita akan bisa lebih peka."
Marlina tersenyum menggenggam tangan suaminya dengan sayang.
"Tidak pernah ada kata terlambat untuk itu, pa."
"Hmm, apa nanti mereka akan berencana menikah?"
Marlina tercengang dengan pertanyaan Mathias, wanita itu kemudian merenung sejenak lalu tersenyum. Hatinya menghangat membayangkan hal bahagia itu.
"Kita akan segera tau." Ujarnya sembari menggenggam tangan sang suami lebih erat.
To Be Continued

I Think I Love You, Buddy (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang