Satu minggu. Satu minggu sudah Yoyo menyiksa Hans dalam amarah dan perintah untuk menjauhinya. Hans yang tak mengerti alasannya. Apa karena mereka akhirnya bercinta? Tapi bahkan hingga dua hari setelahnya semua masih baik-baik saja. Di hari ketiga setelah malam itu mereka masih bersama dalam sebuah date.
Lalu di pagi harinya, Hans tak menemukan Yoyo di ranjangnya. Empat hari setelahnya ia baru tau, Yoyo mengambil cuti kerja lalu bepergian ke kampung halaman mendiang Ilham di Semarang. Menemui Binar dan Widya sang nenek.
"Rasanya gak mungkin ia marah soal malam itu. Buktinya kita masih kencan tiga hari setelahnya. Teman-temannya juga semuanya pada aneh, macam menghindari Hans semua. Mah, tau nggak Hans salah apa?"
Sang ibu menuangkan bihun pedas buatannya ke piring. Makanan favorit sang putra sulung. "Makan dulu, perut kamu lagi kosong. Kalau perut kosong otak gak bisa berpikir jernih."
Hans mendengus lalu mulai memakan bihunnya. Meski jelas adalah favoritnya, ia mengunyah tanpa minat. Sang ibu tersenyum kecil seraya membelai pelan rambut Hans.
Ibunya berujar tepat setelah putranya itu menuntaskan sepiring bihun itu. "Mah, ada ide nggak? Hans beneran blank gimana ngadepin Yoyo lagi."
Sang ibu mendengus pelan. "Nak, kamu coba lihat kalender."
"Hah?"
"Udah lihat aja dulu. Tenang, fokus pada hari dimana kalian berdua nge date waktu itu."
Meski tak mengerti Hans melakukan juga arahan ibunya. Menimang ponsel lalu melihat kalender pada hari tersebut. Lama, lalu ia tersadar, hari dimana mereka menghabiskan waktu bersama dalam kencan itu adalah peringatan tiga tahun meninggalnya Ilham. Ia mengutuki dirinya yang bodoh hingga lupa.
Hari ini, tepat seminggu setelah hari yang seharusnya. Ia berziarah ke makam Ilham, seorang diri.
Menambahkan satu karangan bunga, memercikkan cairan wewangian, lalu memanjatkan doa. Setelahnya, ia hanya diam menatap nanar ke arah nisan. Dimana terdapat ukiran wajah seseorang yang akrab, dengan senyum indahnya yang khas. Ia terlalu malu untuk menuturkan kata, hanya diam lama sebelum beranjak pergi.
*
Semarang
"Mas, ada tamu." Ujar Dewi sang adik.
Yoyo mendengus pelan, dengan enggan beranjak dari meja belajar tuanya.
"Ibu kemana?"
"Lagi ngobrol sama tamunya, tapi tamunya nyariin mas terus." Ujar Dewi sembari tersenyum kecil.
Yoyo langsung tersirat, menduga-duga siapa tamu yang dimaksud sang adik. Ia ingin bertanya tapi sang adik terlebih dahulu berlari keluar. Dengan enggan ia pun ikut menghampiri si tamu.
Benar saja, di ruang tamu Hans sedang mengobrol dengan sang ibu. Pandangan Hans segera tertuju padanya tepat sebelum ia berbalik untuk kembali ke kamar.
"Yo..." Suara Hans yang bergetar menghentikan langkahnya.
Ratri mendengus pelan, "Kalau ada masalah jangan di pendam, gak baik. Ibu ke belakang dulu, nyiapin makan siang." Ujarnya seraya menuntun sang putra duduk berhadapan dengan si tamu yang menatapnya dengan gundah, sebelum kemudian berlalu menuju dapur.
*
Dua pria di ruang tamu itu hanya diam untuk rentang waktu yang tak singkat. Sama-sama terlalu kelu lidahnya untuk mengujarkan apapun.
"Aku sadar kesalahanku memang terlalu besar. Aku akan mundur, Yo. Jika itu yang kamu inginkan." Kalimat Hans yang tertutur setelah jeda panjang itu nyatanya menghentak Yoyo hingga taraf yang tak terbayangkan olehnya.
Tapi lelaki itu masih tak merespon, memenjarakan Hans dalam keputusasaan. Keputusasaan yang akhirnya membawanya pada sebuah keputusan.
"Aku akan menganggap diammu sebagai jawaban, Yo." Ujaran singkat itu menjadi kalimat terakhirnya sebelum beranjak.
Ratri yang baru akan memanggil mereka berdua untuk makan menerima pamit dari sang tamu.
"Terimakasih sudah di ijinkan bertamu, bu. Hans pamit dulu."Wanita itu hanya bisa mendengus pelan menatap Hans yang melajukan mobil meninggalkan pekarangan rumah mereka, ia lalu menoleh menatap putranya. Ia melihat lagi raut suram yang terakhir di lihatnya tiga tahun silam.
Ingin membantu, tapi Ratri paham, yang bisa orangtua lakukan pada anak-anak mereka di saat-saat seperti ini adalah menjadi sandaran disaat letih, menjadi tempat memeluk dan melepas pedih. Bukan menceramahi, apalagi menuntut. Dan itulah yang ia lakukan sekarang. Wanita itu membawa sang putra dalam pelukannya tanpa suara. Terkadang yang dibutuhkan seseorang di masa sukar adalah, kenyataan bahwa disisi kita ada sosok yang setia menemani, tak perlu tindakan atau kata-kata. Cukup ada menemani.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Think I Love You, Buddy (END)
RomanceFriend to Lover §§§ A bittersweet and (sometimes) naughty story about friends and (or to) lovers. §§§