Part 2

5.7K 177 5
                                    


Mereka mandi berdua di dalam bathub setelah membilas diri sebelumnya. Bathub itu cukup untuk menampung mereka berdua yang duduk bersandar saling berhadapan. Air hangat di tambah aroma lavender dari sabun cair yang di masukan memberi sensasi relaks luar biasa hebat ke tubuh dua lelaki kekar itu.

"Ren..."
"Hmm..."
"Tadi itu menakjubkan."
Reno tertawa kecil, "I know, kamu udah bilang itu juga tadi."
"Ya kah? Hehe, ya... Rasanya, tadi itu seks terbaik yang pernah gua alamin."
"Wow, masa sih..." Mata Reno terbuka dari pejam.
Nico mengangguk, "Gua bahkan belum pernah orgasme sehebat tadi sama Nina. Pun yang lain sebelumnya."
"Hahaha, lebay lu. Muji gini pasti ada maunya nih. Ga ada pinjem duit! Gue lagi boke."
"I'm telling the truth, terserah deh lu percaya apa nggak. Hmm, kalo gue?" Nico yang sedari tadi menengadah ke atas kini menatap Reno di duduknya.
"Apa?"
"Lola, ya seks sama gua! Seberapa hebat gua? I think i'm your best sex too."
"Hmm... Mau jujur nih?"
"Jujur lah."
"Seks kita di vila pas reuni itu hebat banget sih, tapi..."
"Kok tapi?"
"Hehe kan lu suruh jujur!"
"Huh... So who is that?" Tanya Nico dengan nada yang terdengar sedikit kesal.
"Kamu inget, mbak Laura nggak?"
Nico terdiam sebentar, lalu seperti tersentak ia menatap Reno kembali. "No way! Lu pernah? Sama... Dia..."

Laura Janita, senior kampus mereka berdada besar dan berbibir sensual yang menjadi orang pertama yang mereka temui di hari pertama pengenalan kampus.

"Hahaha, dia percaya. Ga lah."
"Sialan."
"Seks terhebat gua sama Gemma. She's insanely amazing in bed."

Kembali, Nico merasakan kesal mendengarnya, tapi lebih dari itu, ia menyesal membuat sahabatnya itu menyinggung seseorang yang telah membuat luka yang amat parah di hidupnya. Gemma Cecilia, pacarnya sejak SMA sampai gadis itu dipaksa kuliah ke luar negeri setelah ditunangkan dahulu dengan lelaki pilihan ayahnya.

"Sayang, yang hebat dari dia cuman itu aja. Haha."
"Sorry, didn't mean to..."
"Nope, it's okay."

Reno beranjak lalu membilas badan lebih dulu. Nico menyusul kemudian. Ia tak mendapati Reno di kamar saat selesai mandi. Ia berinisiatif mengganti bed cover yang sudah tidak dalam kondisi baik akibat kekacauan yang mereka buat tadi.

"Kemana dia."
Ponselnya berbunyi beberapa menit kemudian. Seperti biasa, ajakan hang out dari beberapa rekan 'mahasiswa lama selesai'. Meski sempat enggan, Nico jelas masih tak bisa menolak ajakan menyenangkan macam itu. Dihubunginya segera ponsel Reno, namun langsung lemas ketika bunyi ringtone benda itu terdengar dari mejanya. Reno keluar tanpa membawanya.

*

Reno kembali ke ruangan setelah beberapa saat. Ia membutuhkan udara segar setelah percakapan mereka tadi menyinggung seseorang yang tak seharusnya. Didapatinya Nico tak ada, ia terlalu malas untuk mencari. Reno memilih berbaring beberapa saat. Ia yang sudah akan terlelap tersentak teringat tugas presentasi yang harus ia kumpulkan besok.

"Damn, bad time choice for sex."

Jarum pendek jam bergerak dari angka sebelas hingga dua belas, Reno akhirnya menyelesaikan menyusun presentasinya di powerpoint. Beruntung bahannya sudah ia kumpulkan sejak jauh hari. Nico belum juga kembali. Ia tak mungkin pulang, tasnya masih ada di sana.
Pesan chat app Nico muncul saat Reno sudah berniat meneleponnya.
'Gua nginep di Yoyo, ngerjain tugas.'
Ia langsung menghempaskan tubuh ke ranjang saking letihnya. Terlelap tanpa butuh waktu lama.
Tengah malam ia terbangun oleh bunyi telepon masuk yang amat mengganggu. Bisa bayangkan sendiri rasanya terbangun seperti itu. Nama Nico terpampang di layar ponsel Reno.

"Hmm."
"Halo? Ren? Ini Teo."
"Kenapa bang? Nico?"
"Ada, ini... Lo bisa ke Shangri-la sekarang nggak?"
"Hah? Males ah bang, aku capek parah."
"Si Nico babak belur dikeroyok, saya lagi nggak bawa kendaraan. Nggak tau juga apartemenmu dimana."
"What the..."

*

Sepertinya hari panjang Reno memang belum benar-benar berakhir. Tak sampai sepuluh menit ia sudah tiba di lapangan parkir cafe mewah itu. Keluar dari mobil Ia masih mendapati segerombol orang yang bercakap sambil mengamati dua laki-laki yang terduduk di salah satu sudut.
Berhasil mendekat, Reno ternganga melihat kondisi Nico. Beberapa bagian wajahnya memar, lecet dan berdarah. Begitu juga kedua lengan. Kemeja denimnya sudah kotor penuh debu dan beberapa noda darah. Teo yang sedang menyanggah pundak kiri Nico terlihat jauh lebih baik meski juga terdapat beberapa memar di lengan dan wajah.

"Kenapa ini, bang?"
"Nanti aja ceritanya, ayo... Kita ke RS dulu."

Reno bergegas bermaksud membantu mengangkat Nico, tapi Nico yang masih dalam keadaan mabuk berat malah mengelak. Butuh usaha keras untuk membuatnya menurut patuh.
*
Nyaris setengah satu pagi mereka tiba di RS tempat Teo bekerja. Teo butuh menjahit luka sayat yang cukup besar di lengan Nico disana.
"Apa yang terjadi, bang?"
"Aku juga nggak tau detailnya. Kebetulan sedang kumpul sama beberapa rekan disana. Tiba-tiba lihat beberapa orang berkelahi, sampai lempar botol. Langsung kulerai begitu sadar itu Nico."

Reno langsung mengerti begitu kegiatan mengutak-atik ponsel Nico yang baru diberikan Teo. Sebuah pesan video dari aplikasi chat.

"Bang, see this."
Your girl, man. At Shangri-la, now.
Caption singkat dibawah sebuah video yang menampilkan adegan Nina berciuman mesra dengan seorang laki-laki yang entah siapa. Cukup untuk membuat Reno dan Teo paham permasalahannya.

*

Nico terbangun mendapati nyeri kembali menyerah beberapa bagian tubuhnya. Butuh beberapa saat untuknya menyadari kondisi sekitar. Ia di rumah sakit. Lalu ada Reno yang sedang terlelap dalam posisi duduk berlipat tangan. Tenggorokannya rasanya seperti terbakar, ia ingin air. Tapi terlalu enggan untuk membangunkan Reno.
Tangannya yang masih nyeri dan gemetar membuatnya nyaris menjatuhkan gelas kaca berisi air putih yang berusaha diminumnya. Beruntung Reno yang sudah terjaga dengan sigap menangkap gelas malang itu.

"Just ask, kiddo. Nggak usah sok kuat."
"Nggak mau ngebangunin lu."
"Too much in your head, again. Nih..." Reno menyodorkan air untuk diminum dari sedotan. Nico malah berusaha menyingkirkan benda itu.

"Itu kayaknya nggak akan mau kesentuh air deh untuk saat ini." Ia menunjuk bibir Nico. Beberapa bagian luka karena bogeman.
"Damn."
"Jadi seorang Nico bisa juga kalah berantem ya, kirain jagoan."
"Apaan! Mereka bertujuh gua sendirian! Kalau... Ah..." Kalimatnya terhenti oleh rasa sakit luka di lengannya.
"Hehe, ok i know. Relax. Let's hug."
"Hmm."

Reno melakukan ritual wajib yang selalu mereka lakukan sejak dulu jika salah satu dari mereka sedang kesusahan. Memeluk dan membelai rambut.

"Gua akhirnya tau rasanya, Ren. Sial, sakit banget ya. Gua masih pengen minta maaf nyinggung Gemma kemarin, ini karma kali yah..."
"Apaan. Jangan ngomong gitu."
Reno melerai pelukan semenit kemudian. Terkaget sendiri mendapati Nico sedang berairmata.
"Hey... Oh.. No.. Lu nangis, karena cewek?"
"Oh... Damn man, gua ngerasa hina banget... Hish..." Nico sendiri kesal mendapati dirinya seperti itu. Ia kian tak mampu menahan tangisnya. Reno kembali memeluknya erat. Lalu menungguinya yang kemudian terlelap lagi tak lama kemudian.

*

"Nico berhasil membuatnya tumbang. Rasanya lukanya nggak kalah parah. Baru setelah itu, dia di serbu teman-temannya." Ujar Teo sambil menyerahkan resep beberapa obat dan vitamin untuk untuk Nico.

"Lalu?"

"Tapi yang paling menyakiti dia sepertinya adalah saat Nina melerai keduanya. Meski sedang kalap, Nico berhenti juga. Nina cepat-cepat membawa lelaki itu menjauh. Gerombolan itu juga ikut menyingkir setelahnya. Beruntung pemilik barnya nggak sampai panggil polisi." Reno tiba-tiba berhasrat menjambak rambut wanita saat ini.

Reno dan Teo kecele, keduanya baru tersadar keberadaan Nico di depan pintu usai ujaran panjang Teo tadi. Nico terlihat lebih dari tidak senang. Ia berlalu beberapa detik kemudian.

"Aku sepertinya masih harus melanjutkan duty menjinakkan istri merajuk itu bang."
"Hahaha, yaudah sana. Nanti aku kontak kalian lagi, i have something for you two!"
"Ok."

I Think I Love You, Buddy (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang