"Kang Hans kenapa itu Teh? Macam sembelit gitu gelisah kesana-kemari." Tanya Nico seraya kembali membaca katalog desain interior di hadapan meja kakak dari kekasihnya.
Vanya tersenyum kecil, "Dia lagi ngabuburit ngedate sama gebetan. Tapi sayang ada klien janjian datang, limabelas menit lagi."
"Oalah. Sabar atuh, Kang. Klien lebih penting."
Hans tak menjawab, hanya menggerutu sembari kembali sibuk dengan ponselnya.Malam kang, maaf ganggu
Aku boleh minta tolong?
Besok sore boleh anterin aku nggak?Pesan singkat dari Yoyo semalam sudah membuatnya terjaga hingga matahari terbit. Tentu saja ia mengiyakan, hal itu nyatanya sudah di rindukan Hans sejak lama. Sayangnya niat menggebunya itu terdahului oleh ajakan si target. Ia sungguh kehilangan muka.
"Pacarmu sendiri, kemana? Gak ikut kesini?"
Nico menggeleng pelan, "Marco kayaknya ngambil tongkat estafet demam dari Kang Hamzah. Fanny udah mulai masuk kerja, jadi kita pada gantian jagain junior. Sampe hari minggu nanti, Tante Edna bakal datang.""Tante Edna? Serius? Untung kamu bilang."
"Kenapa emang, Teh?"
"Itu, mau pesan brownies."
Nico hanya memandang jengah kemudian. "Aku pilih yang ini, Teh. Dapat diskon gak nih? Adik ipar ini."
"Apa sih yang nggak buat kamu. Ini seminggu bisa selesai sih, hmm, maaf yah Reno jadi ngerepotin kamu. Udah dibilangin gabung aja sama CV teteh."
"Hehe, emang lagi rewel dia Teh. Mau jadi self made millionaire katanya."
Vanya mendengus pelan sambil tersenyum, "Teteh gak akan minta bayaran. Tapi jangan sampe Reno tau, ok?"
"Eh, tapi teh. Ini terlalu..."
"Udah, sekali-sekali teteh juga pengen ngelakuin sesuatu sebagai kakak, dan kakak ipar tentu aja. Minggu depan teteh yang hubungi kamu."Nico takluk juga, ia tak punya celah menolak niatan Vanya. Reno bersamanya dan beberapa teman mereka baru saja membuka CV Desain Grafis. Meski awalnya hanya dilakukan demi mengisi kekosongan menunggu wisuda, Reno menekuninya dengan amat serius. Ia memiliki misi, misi yang tercetus dari sebuah kekhawatiran.
Nico masih disana sampai klien yang di tunggu Hans selesai dengan urusannya. Jarum pendek jam dinding nyaris menyentuh angka tiga saat sang klien meninggalkan ruangan. Hans dengan secepat yang ia bisa merapihkan semua berkas dan benda-benda lain di mejanya.
"Natalan kali ini gak jomblo lagi yah, Kang?" Sindir Nico.
"Sok tau kamu, duh mana sih..." Pria tampan itu seperti biasa kerepotan mencari sesuatu di saat-saat genting.
"Saku Kang, saku kemeja." Ujar Nico, di ikuti tawa kecil olehnya dan Vanya.Hans dengan cepat merogoh saku kemejanya, tempat ia beberapa saat sebelumnya ia masukkan. "Thanks." Pria itu dengan cepat menghilang dari pandangan Vanya dan Nico.
"Spill dong teh, siapa sih gebetannya?"
"Hmm, kamu kenal kok. Salah satu sahabatmu. Coba tebak?"
"Hmm, yang jomblo perasaan... Netha... Tapi dia juga masih di Paris. Siapa..."
"Dig deeper... Gak kepikiran?"Nico meringkuk memikirkan lebih dalam lagi. Sampai ia tersadar kemudian. "Yang cewek dan jomblo kan cuma Netha, teh?"
"Teteh gak pernah ngomong dia cewek sih, Nic."
"Oh my God... Minus William yang masih di Singapur... Yoyo?"
Vanya tersenyum seraya mengangguk. "Dia suka sama Yoyo udah lama banget. Sejak Yoyo gabung di dojo keluarganya, mungkin malah sebelum itu. Waktu itu Yoyo udah pacaran sama almarhum."
"Hmm, tapi teh... Kang Hans tau kan kondisi Yoyo sekarang gimana?"
"Huh... Tetehmu ini juga udah ngomongin itu berulang kali sama dia, tapi tebak jawabannya gimana?"
"Tetep ngeyel?"
"Hmm, bukan lagi. Lebih tepatnya dia nggak masalah biarpun cuma bisa jadi a shoulder to cry on. Gak tau deh gimana kedepannya. Andika juga nih yang bikin ulah, Yoyo pake di bawa ke dojo."
"Tapi kondisinya pelan-pelan emang membaik sejak aktif judo lagi sih, teh."
"Aku awalnya sama sekali gak tau kalau Hans suka sama Yoyo waktu ngajak ke sana waktu itu." Tiba-tiba Andika sudah ada di hadapan mereka berdua menjelang matahari terbenam.
"Cepet bener lo balik? Pesawat serasa naik angkot aja yah sekarang?"
"Ya, kan urusannya udah beres. Plus, ada tuan putri yang harus dikawal pulang ke tanah kelahiran."
"Tuan putri..." Gumam Vanya. Matanya membulat begitu yang di maksud muncul dari balik pintu ruangannya. Netha.
"Surprise!"
"AAA!!! My baby girl!" Lari kecil Netha diakhiri pelukan hangatnya dengan Vanya. Lalu dengan Nico.
"Bukannya masih sebulan lagi yah?" Tanya Nico.
"Dan harus wisuda via zoom call? Menurut ngana?"
"Berenti le, hahaha." sahut Nico dalam logat Manadonya yang khas.
"Aku gak mungkin ngelewati wisuda tanpa kalian semua, that's the point."
"Tapi kamu harus ngerelain banyak job itu yah?"
"Well true, tapi yang sempat juga gak kalah sih. Model agent aku berhasil majuin jadwal kerja campaign untuk Versace, Chanel sama LV. Segitu gak buruk-buruk amat kan?"
"Buset..." Ujar Nico.
"Jarang-jarang supermodel interneysyenel masuk office gue. Kamu udah makan cantik?"
"Belum teh, kemarin habis photoshoot banget aku langsung kontak Kang Dika. Terus beli tiketnya on site pula, haha. Aku gak mau kelewat foto bareng besok soalnya."
"Jadi intinya lo bikin Kang Dika gak ada jeda buat istirahat dulu habis kerja terus ngurusin lo balik Indo gitu?"
"Iya dong. Hahaha."
"Yaudah, kita ke Cafe Andra aja. Teteh kangen bakso mereka."
"SAMA TEH! Sumpah dari kemarin aku kepikiran kesana tau."

KAMU SEDANG MEMBACA
I Think I Love You, Buddy (END)
RomanceFriend to Lover §§§ A bittersweet and (sometimes) naughty story about friends and (or to) lovers. §§§