Kalian akan kecewa, Nico tidak berdua saja berlibur ke Bunaken. Marco, Yoyo, Fanny dan Netha masuk dalam daftar. Berempat mereka masuk dalam inner circle pertemanan Nico dan Reno sejak semester pertama. Semua sudah menanti-nanti saat berlibur ke Bunaken, gratis.
Hampir empat jam waktu yang dibutuhkan untuk perjalanan dari bandara ke pulau Bunaken. Teramat melelahkan. Dua kata sederhana yang bisa menjelaskan. Dari dermaga ke rumah Nico hanya ditempuh dengan berjalan kaki tak sampai sepuluh menit.
Dua hal yang memukau Reno dan teman-temannya yang lain begitu tiba. Pertama, betapa indahnya rumah Nico yang menghadap ufuk timur, tepat di pinggir pantai. Rumah kayu minimalis dengan bentuk khas rumah adat Minahasa dengan sentuhan elegan yang modern yang ciamik. Ayah Nico seorang arsitek. Lalu yang kedua, baru saja mereka memasuki halaman, tiga orang bocah lucu segera berlarian menuju Nico lalu berebut memeluk kakinya. Dua perempuan dan satu laki-laki, terlihat seperti kembar.
"Wow, triplet kah? Nic?" Netha yang duluan bertanya.
"Hehe, Fino dan Fani kembar, adik kandung gua." Ujarnya sembari mengacak-acak rambut si kembar, "Julio sepupu mereka, lebih muda setahun."Ibu Nico keluar tak lama kemudian. Reno dan yang lainnya terkejut mendengar kalimat pertama yang keluar dari mulut wanita cantik bertubuh sedikit tambun itu.
"ANAK KURANG AJAR! SINI NGANA!"
Nico didera cubitan, pukulan dan jeweran kesal dari Sang bunda berkali-kali.
"Dasar anak durhaka, sudah tiga tahun baru ingat pulang! Rasain nih..."
"Aaa aw... Ampun ma, ampun."
"Tak ada ampun untukmu, wah... Ini teman-temannya Nico? Ini Reno, tante udah kenal! Makin ganteng aja kamu nak... Ini... " Ujarnya sembari masih belum melepas jewerannya di telinga putra sulungnya itu."Anetha tante."
"Yoyo tante."
"Fanny tante."
"Marco tante."
"Nama tante Marlina, ayo masuk makan dulu. Kalian pasti capek. Kamu, diam situ sampai matahari habis."
"Dasar Susi." Cibir Nico.
"Kutenggelamkan kau!"
Reno dan teman Nico yang lain tak lagi mampu untuk tak tertawa."Langsung ke halaman belakang, ayahmu bakar bakar. Ingatin untuk nggak bakar rumah."
Kerumunan itu terbahak sekali lagi.
"Ibu lo top lah, Nic. Hahaha."
"Haha, ayo."Kali ini tingkat keterkejutan Reno dan yang lainnya jauh lebih parah dari sebelumnya. Halaman belakang rumah ini benar-benar menghadap tepat ke ufuk barat. Pantai pasir putih terletak tak sampai dua puluh meter dari batas pagar rumah ini. Rumah Nico rasanya tak kalah dengan resort-resort mahal.
"Nic, sebenarnya Fanny masih harus nunggu selesai kuliah. Tapi... Kita nikah sekarang yuk!"
"Dasar jablay! Langkahi dulu mayatku." Sergah Reno berapi-api.
"Ish, emang kamu siapanya Nico?"Ditanyai begitu entah kenapa Reno terdiam, tiba-tiba bingung sendiri menyusun kalimat. Otaknya terhenti.
"Dia itu suaminya Nico dari jaman smp dulu." Seperti orang bodoh, Fanny ternganga mendengar ujaran Marlina. Berlebihan, seperti biasa.
"Nggak mungkin, tante. Mereka berdua..." Gadis lebay terlebih dahulu di tinggal rombongan sebelum menuntaskan kalimatnya.Nico segera bergegas menemui Firdaus ayahnya yang sedang sibuk dengan barbeque oven nya di pojok halaman. Beberapa langkah lagi ia berhenti, Reno tanpa sengaja menyaksikan. Ada yang berbeda dari penampilan ayahnya. Ia membutuhkan tongkat penopang untuk membantunya berjalan. Terlihat janggal saat ayahnya melangkah meski sudah dibantu benda itu. Meski begitu, dengan senyuman lebar ia membolak balik ikan, cumi, dan kepiting di atas panggangan.
"Hey, brader... Haha, sini ngana." Ayahnya bergerak cepat mendekati Nico lalu memeluknya. Mata Nico masih tak lepas dari kaki ayahnya.
"Itu apa, pa. Kiapa..." Nico siap berairmata.
"Hey, kita belum mati. Cuma struk ringan. Kong ngana manangis?"Sejak kecil Nico paling dekat dengan ayahnya. Melihat sang ayah kini harus menggunakan tongkat untuk membantu geraknya adalah siksaan berat untuk Nico. Nico tidak diberitahu sampai beberapa bulan setelah ayahnya keluar rumah sakit.
Antara rindu bercampur sedih baru mengetahui kondisi ayahnya itu, Nico masih menangis untuk beberapa saat dipelukan sang ayah. Reno yang merekam momen haru dihadapannya mendadak rindu suasana keluarga demikian yang dulu masih sempat terasa dikeluarganya. Sebelum ayahnya mendapati ibunya selingkuh.
*
"Saat itu ibu sudah mau menghubungimu. Tapi ayahmu mencegah, dia gak mau bikin kamu khawatir. Untungnya ditangani cepat, jadi tidak sampai gawat."
Marlina menjelaskan pada putranya, keduanya duduk terpisah sementara ayahnya asyik bercakap seru dengan Reno dan teman-teman Nico lainnya di gazebo. Putranya itu hanya bisa terdiam dengan wajah resah yang masih kentara.
"Udah, kamu fokus aja selesaikan kuliahmu. Percaya papa akan baik-baik aja."
Nico masih mendengus resah, belasan menit kemudian ia bergabung dengan kerumunan di gazebo. Ibunya sudah masuk ke dalam rumah menyiapkan makan malam sejak usai mengobrol tadi.
![](https://img.wattpad.com/cover/167127486-288-k765695.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
I Think I Love You, Buddy (END)
RomanceFriend to Lover §§§ A bittersweet and (sometimes) naughty story about friends and (or to) lovers. §§§