Part 9.2

1.5K 93 0
                                    

Fanny mengendarai mobil dengan wajah lesu, ini seharusnya menjadi liburan yang menyenangkan bagi mereka semua. Tapi sejak kemarin tak ada yang berjalan sesuai harapan, suasana menjadi tak nyaman. Sampai detik ini.
"HUH! Sumpah jengah sama suasana pemakaman ini. Ayolah gank, change the atmosphere! Hmm, karena udah habis cukup banyak waktu di sini dengan... Nyaris sia-sia. Kita langsung ke Tondani saja sekarang, Nico... Show me the way!"
"Tondano, Fan."
"Ah iya, itu." Agaknya tensi diantara keduanya sudah mereda.
Virgy bertukar tempat dengan Fanny yang awalnya dibelakang, sedang Nico menempati tempat Fanny. Fanny memilih menyetir untuk perjalanan mereka selanjutnya. Ia merasa akan gila jika harus diam dalam suasana yang masih begitu tak menyenangkan ini.

Semalam dikamar para gadis, Virgy juga menceritakan apa yang terjadi. Masa lalu yang buruk di antara Nico dan dirinya. Fanny yang emosi akhirnya terdiam sendiri, satu sisi dirinya merasa maklum dengan perlakuan Nico yang semacam itu. Dia merasa akan melakukan hal yang sama atau mungkin lebih buruk jika di tempatkan pada posisi tersebut.
"Eh, sebelum kesana... Kan masih pagi juga ini. Nic, disini beneran ada pasar yang jual makanan ekstrim, kelelawar, ular, tikus?" Yoyo bertanya memecah hening.
"Kera, biawak, anjing, kucing." Sahut Nico.
"YA TUHAN! Anjing sama kucing? Nic! Jangan ah, aku nggak mau kesana." Jerit Netha ngeri.
"Beneran ada, Nic? Kita kesana yuk! Gua pengen liat!"
"Hahaha, kera udah di larang sih. Tapi yang lain masih ada, cuma belum tentu ada semua hari ini. Tergantung. Fan, dua lorong di depan belok kiri."
"FANNY! Kamu mau lihat anjing disembelih? Gila ah."
"Iya, aku penasaran. Hahaha."
Netha terdiam seketika. Nico mengarahkan jalan menuju pasar tradisional.
*
Mereka datang disaat yang tepat. Pasar makanan ekstrim itu memang sedang available. Meski sedang tidak full item. Hanya terlihat area ular, kelelawar dan yang paling membuat bergidik, anjing. Netha sudah nyaris muntah belum genap dua menit mereka disana. Mereka tiba tepat saat seekor seekor anjing baru saja di sayat lehernya, siap disembelih. Mungkin di daerah lain akan gempar jika melihat yang seperti itu. Namun di Sulawesi Utara, khususnya pasar ekstrim Tomohon ini, yang seperti itu sudah menjadi sesuatu yang biasa. Netha menatap heran pada Virgy yang ikut tertawa bersama Fanny melihat reaksinya.
"Anjing-anjing ini rata-rata anjing liar yang berkeliaran tanpa tuan diberbagai daerah, kadang sengaja ditangkap warga untuk di jual ke pedagang karena menganggu kenyamanan." Nico menjelaskan.
"Bukan peliharaan?" Kali ini Marco bersuara.
Nico menggeleng, "Jarang, kalau pun ada itu pasti pedagang ilegal yang mencuri anjing dengan cara memberi makanan beracun. Itu yang ngeri, jadi pastikan saja kalau mau membeli. Kalian harus lihat langsung anjingnya disembelih dari keadaan hidup. Kalau saat tiba sudah seperti itu, lebih baik cari pedagang lain, atau tunggu sampai mereka menyembelih yang baru." Ujarnya tenang sembari menunjuk ke arah seekor anjing utuh yang sudah dalam kedaan hangus kaku, dan berkilau basah oleh air.
"Oh God. Kamu nggak shock, Virg?" Netha yang tak sengaja menoleh segera mengalihkan pandangan.
Virgy menggeleng, "Aku udah terbiasa, dari kecil udah sering lihat. Aku juga suka makannya, itu enak banget kalau sudah di masak."
Netha sontak membelalak tak percaya, membayangkan memakan anjing memberi gejolak teramat buruk ke perutnya, ia benar-benar harus muntah sekarang. Gadis itu berlari menjauh mencari selokan terdekat. Lalu tak kembali lagi setelahnya.
Usai di area penjagalan anjing, Nico mengajak mereka ke area ular dan kelelawar yang bersebelahan. Yoyo terus mengambil gambar dengan kamera digitalnya.
Disini terlihat Marco yang dengan tenang melangkah mendekat lebih ke area kelelawar, sementara yang lain langsung bergegas ke area ular. Tak ada yang sadar kecuali Yoyo, lelaki itu mengalungkan kameranya sebentar untuk bergerak diam-diam menuju Marco.
"Apa?" Tanya Marco yang jengah ditatapi Yoyo dengan senyum aneh.
"Sayang, temenin aku dong. Ayo!" Tubuh Yoyo yang lebih jangkung dan atletis menyeret tubuh Marco mendekat ke arah area ular.
Sontak yang lain terbahak seketika. Marco sangat takut dengan yang namanya ular. Walau kecil saja tak berani di lihatnya. Sedang dihadapan mereka, ada seekor ular sanca berukuran besar dengan panjang tak kurang lima meter yang walau sudah mati, masih dalam keadaan utuh di panjang di meja beton menunggu pembeli.
"Yo, yo, please yo! Jangan Yo!" Marco terus berusaha meronta namun apa daya tenaga kuli Yoyo tak memberinya kesempatan. Alhasil yang bersangkutan hanya menutup mata selama disitu. Satu gadis diantara mereka tersenyum penuh arti menatap lelaki yang sedang terpejam itu, Fanny.

I Think I Love You, Buddy (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang