28 ㅡ Album Foto Kenangan

155 12 1
                                    

"Wah, beneran diem njir... Tau aja sama yang bening-bening. Aow." Gumam Andra terkagum-kagum, segera mendapat jitakan dari si ibu bayi.
"Berhenti mengumpat di depan anak gue."
Junior tergelak kecil di dekapan Virgy. Bocah yang biasanya hanya akan bertahan beberapa menit di peluk orang lain itu begitu betah bersama orang yang baru di kenalnya itu. Marco dan Fanny bahkan sempat meninggalkannya lebih setengah jam untuk membeli bahan-bahan tambahan untuk acara syukuran yang akan di adakan di rumah Reno nanti malam.
"Gimana?" Tanya Fanny setelah Virgy mencicipi salad buah buatannya.
"Enak banget. Udah pas itu, Fan." Jawabnya sambil tersenyum.
"Hmm, yah meski gak seenak buatanmu." Junior mencoba meraih-raih sendok dari baskom yang sedang di pegang ibunya. "Hey, bersabarlah setahun lagi bocah. Gigi baru muncul dua juga. Anji-" Fanny sudah berusaha menghindar dengan cepat, tapi kibasan tangan putranya jauh lebih cepat. Cukup cepat untuk membuat baju hingga leher ibunya terciprat campuran salad buah buatannya.
Andra dan Nico terbahak keras menyaksikan itu.
"Nah, itu kosakata emaknya lebih hebat."
"Hih. Awas lo berdua. Virg, aku minta tolong bentar lagi yah."
"Aduh iya-iya. Kamu bawa baju ganti?"
"Nggak, nanti pinjam punya Teh Vanya aja."
"Kan lagi keluar, pakai punyaku aja dari koper."
"Hmm, ok. Makasih yah cantik, i owe you a lot today."
Virgy hanya menggeleng pelan. Nico masih sempat berceloteh tak menyadari Fanny masih belum pergi. "Emang baju kamu ada yang muat sama dia? Ahk!" Guling raksasa di bean bag milik Vanya sukses mendarat di punggung Nico sampai membuatnya terjerembab ke karpet.
Andra dan Virgy ternganga, "Kok Marco bisa jatuh cinta sama dia sih?"
"Hah... Aku juga gak paham." Ujar Nico sembari kembali berdiri tegap.
Virgy yang masih shock hanya bisa terdiam, lalu dalam hening itu bocah di gendongan Virgy itu tergelak kecil. Membuat Nico menatapnya sedikit kesal.
*
Menjelang sore Marco sudah kembali dari tempatnya bekerja, ijin setengah hari untuk menghadiri acara spesial mereka. Kini Junior di ambil alih sang ayah, bocah itu kemudian terlelap nyaman diatas dada sang ayah yang berbaring di bean bag. Keduanya terlelap tanpa butuh waktu lama. Silvia menginstruksikan semua orang untuk jangan ribut, memberi ruang untuk ayah dan anak itu tidur meski sebentar. Yoyo mengabadikannya dengan kamera digital.
"Yo, ini beneran Marco?" Tanya Virgy.
Mereka berdua sedang mengedit foto dari laptop Reno, akan dibuat video untuk perayaan kecil mereka nanti malam.
Yoyo mengangguk. "Iya, itu waktu dia ngelamar Fanny di kampus. Di depan orang-orang."
"Wah, romantisnya."
"Romantis sih romantis, tapi baru kali itu ada acara nge lamar cewek yang nangis bombay malah cowoknya." Cetus Nico.
Semuanya terbahak kecil agar tak membangunkan ayah dan anak yang tengah terlelap teduh di atas bean bag itu. Fanny kembali dari dapur, melepaskan kacamata suaminya sebelum kembali bergabung dengan rombongan gosip di ruang tengah.
"Aku kok gak bisa tebak yah Fan, kamu sama Marco pacaran saat di Bunaken lalu." Tanya Virgy. Fanny ikut melihat-lihat daftar foto yang sedang di edit Yoyo.
"Jangankan kamu, kita-kita aja yang 24/7 sama mereka gak ada yang tau. Tau-tau nih anak udah bunting aja." Sindiran pedas ini kali ini datang dari Yoyo, langsung di hadiahi cubitan kecil dari Fanny.
"Yoyo ih." Ketus Fanny tersipu. "So, Virgy... Waktu itu aku sebenarnya pengen banget cerita sama kamu, karena masih terlalu berat rasanya untuk terbuka sama mereka. Gak tau kenapa meski cuma singkat kenal kamu aku ngerasa klop. Kita se frekuensi. Waktu itu kupikir kamu bakal beneran datang ke sini untuk kuliah bareng kita. Tapi gak jadi kan?" Jelas Fanny.
Virgy terpekur sesal, "Hmm... Aku juga sempet stres karena itu. Ngurus transfer data untuk pindah kuliah di dari Aussie ternyata gak semudah itu. Mau ngulang dari awal lagi kasian bapak sama ibu. Akhirnya aku putuskan buat lanjutin aja di sana sampe tuntas. Lagian di sana juga bisa sambil kerja."
Fanny tersenyum kecil menggenggam tangan Virgy pelan. "Pasti berat untuk balik lagi kesana, yah."
Virgy hanya tersenyum, "Kamu hebat banget. Aku sempat pengen kayak gitu juga, tapi lama-lama aku sadar. Aku gak bisa kayak gitu, terlanjur tergantung sama orang-orang di sekitarku. Apalagi dua bocah di atas sofa itu." Lanjut Fanny sembari menunjuk Marco yang telah terlelap bersama sang putra di atas bean bag. Bayi mungil itu terkulai pulas di atas dada sang ayah. Yang lucu adalah keduanya tertidur dalam posisi persis, terlentang dengan salah satu kaki di silangkan diatas kaki yang lain.
"Mereka mirip banget, yah."
"Tunggu sampai mereka mendengkur bareng."
Fanny dan Virgy terbahak pelan.
*
Setengah tujuh malam, para sahabat dan keluarga Reno mulai berdatangan. Reno yang bingung terus menanyai ibunya, apakah perlu mengundang sebanyak ini hanya untuk merayakan kesembuhannya. Ibunya hanya tersenyum lalu berkata. "Gak ada yang terlalu banyak untuk kamu, anakku."
Lalu hampir tepat jam tujuh malam, sebuah mobil yang sudah lama tak Reno lihat memasuki pekarangan rumah mereka. Dari dalamnya, keluar seorang pria paruh baya dengan tubuh tegap dan gagah terlihat kian memukau dalam kaus Ralph Lauren dan celana jeans Calvin Klein yang terlihat familiar di mata Reno. Keduanya ia beli dari tabungannya untuk ulang tahun sang ayah beberapa bulan sebelumnya.
Harry masuk di sambut Vanya yang segera mencium tangan sang ayah lalu membawa masuk beberapa bungkusan yang dibawa, pria itu kemudian segera melangkah cepat menuju putranya yang masih terpaku dalam duduknya di sofa. Lelaki itu duduk kemudian memeluk putranya dengan sayang, sejurus kemudian mencium puncak kepala Reno.
"Apakabar jagoan, papa kangen banget sama kamu. Maaf yah, papa gak bisa datang saat wisuda."
Reno tak mampu menahan, airmatanya tumpah di pelukan sang ayah. Balas memeluk sosok yang teramat dirindukannya itu sama eratnya. Memancarkan haru yang sama pada orang-orang disekitarnya. Silvia yang menatapinya dari dapur pun merasakan. Wanita itu tersenyum bahagia.
"Yah... Reno tau ini berat, tapi... Boleh nggak ayah pindah kota ini aja. Jangan jauh, yah? Reno butuh papa." Ayahnya tercengang.
Seperti seorang anak kecil, Reno merengek di pelukan sang ayah. Tumpukan perasaan dihatinya terluapkan tak tentu arah. Sang ayah ikut berairmata, tersenyum haru menyeka airmata sang putra.
"Hmm... Kamu masih bocah bandel yang cuma bisa merengek sama ayah rupanya yah."
Reno hanya menjawab dengan memeluk sang ayah kian erat di sela isaknya. "Untuk itu, kamu bisa tanya sama mamamu."
Silvia menoleh kaget, ia baru saja duduk bergabung dengan Vanya di sofa yang lain. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama keluarga kecil itu duduk bersama seperti itu.
"Hah? Kok aku..."
"Jangan gitu, kamu udah janji loh." Goda Harry.
Vanya hanya tersenyum sembari berganyut di sisi ibunya. Di tahap ini, hanya Reno situasinya. Ia tengah memperhatikan, merasakan sesuatu, tapi terlalu takut untuk berharap.
"Apa itu, ma?" Tanya Reno.
Silvia masih terdiam untuk sesaat. "Huh, tapi kan harusnya jadi surprise sebentar."
Harry tersenyum, "Bisa jadi bungsu cengeng kita ini gak akan ijinin acaranya mulai kalau mama gak ngomong."
Reno juga beberapa orang lain di ruangan itu tercekat kecil mendengar Harry menyebut Silvia dengan sebutan 'mama'.
"Ma..."
Mata Silvia siap basah, wanita itu menggenggam tangan putranya. "Lebih sebulan lalu, papa sama mama mutusin untuk rujuk nak."
Vanya sudah ikut terisak sedari tadi, memeluk ibunya dari samping. Mendengar kalimat itu dari ibunya, tangis Reno serta-merta pecah. Hatinya meluap-luap oleh bahagia yang tak terkira.
"Makasih... Ma, Pa. Makasih. Makasih." Hanya itu yang terus tertutur di mulut Reno berulang-ulang.
Pemuda itu merangkul kedua orangtuanya itu bersamaan. Tak ada harta yang lebih berharga daripada cinta dari orangtua kepada anaknya, cinta tulus dan tak menuntut balas. Mereka rela menanggung lelah hingga derita demi menjaga senyum dari putra-putri mereka.
*
Acara syukuran sederhana itu berlangsung penuh haru dan bahagia. Harry dan Silvia mengumumkan pada semua yang hadir mengenai proses rujuk yang sedang mereka jalani, jika tak ada halangan keduanya akan melangsungkan pernikahan bersamaan dengan pernikahan putri mereka Vanya dan Leo. Leo yang menjadi terakhir tau sontak terperanjat mendapati fakta itu. Hal ini menjadi kabar yang lebih bahagia lagi untuk Reno. Meski membutuhkan waktu yang tak singkat, bahagia itu akhirnya kembali secara utuh dalam keluarga kecilnya itu. Yang tersisa kini adalah ia yang harus memperkenalkan Nico secara resmi pada sang ayah.
Jeda yang tak singkat sudah tercipta dari momen sang ayah mengumumkan berita bahagia itu, selama masa itu pula hatinya terus gelisah. Nico menyadari tapi tak bisa berbuat apa-apa, ia sendiri sama gelisahnya.
"Yang..."
"Hmm?"
"Aku ngomong sama papa sekarang yah? Aku... Nggak tau kapan akan siap lagi." Ujar Reno sembari menatap sayu sang kekasih.
Sempat terdiam sejenak, Nico berujar. "Kamu yakin?"
Reno mengangguk pelan, "Kamu sendiri? Kalau kamu belum siap, aku gak akan..."
"Aku siap, siap. Kalau ngomong sama orangtuamu aja aku gak siap, gimana sama orangtuaku nanti?" Tegas Nico sembari balas menggenggam jemari Reno sama eratnya.
Ironisnya, kedua sejoli yang baru berujar demikian segera melerai genggaman tangan mereka begitu melihat sang ayah yang tiba-tiba saja berdiri dari tempatnya di samping Silvia di ruang tengah lalu melangkah menuju keduanya di ruang keluarga. Harry terbahak pelan sebelum duduk di satu-satunya sofa kosong yang tersisa disana.
Fanny, Marco juga Andra dan Netha pura-pura sibuk dengan hal yang entah apa, sama-sama gugup mengantisipasi apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Babe, aku mau pipis." Bisik Marco pada istrinya. Segera berhadiahkan cubitan dari Fanny.
"Hus, ditahan sebentar ih. Gak liat kamu, mau ada perang ini bentar lagi." Sergah Fanny sembari pura-pura melihat ke kereta dorong Junior.
Netha dan Andra susah payah menahan tawa.
"Hah, disini rupanya..."
Harry tiba-tiba membuka kotak permen kristal di meja tepat di samping Reno dan Nico yang sedang duduk. Mengambil beberapa buah permen nougat disana. Benda kesukaannya yang masih selalu disediakan Silvia.
"Nyatanya mama kamu emang gak pernah putus mencintai papa, haha." Ujarnya pada Reno seraya membuka satu permen lalu memakannya.
Putranya itu kamu tanpa bisa berujar apa-apa, padahal beberapa menit sebelumnya tekadnya sudah bulat. Harry melanjutkan sesi bermain perannya.
"Kenapa kamu?"
"Hah... Eng... Nggak pa, gak ada apa-apa."
Kali ini Fanny yang tak mampu menahan tawanya, nyaris saja pecah membahana jika tak di cegah Netha. Harry menoleh sejenak lalu kembali fokus pada sang putra.
"Hhh, kalian ini. Jadi, kapan papa kamu ajak ke Manado ketemu Om Firdaus?"
Untuk kesekian kalinya hari itu, Reno terperangah.
"Maksud papa..."
Harry menggeleng kepala pelan sembari tersenyum, "Ya sederhananya, melamar Nico untuk kamu."
Jantung Reno seolah berhenti berdetak untuk sejenak. Sedang Nico, tak usah ditanya, ia sudah membatu tepat saat Harry duduk tepat di sampingnya dari tadi.
"Pa..."
"Mau lihat wallpaper hape papa?" Reno mengernyit heran.
Harry lalu mengeluarkan ponselnya dari saku celana, lalu menghidupkannya.
Baik Reno dan Nico, juga para sahabat mereka disekitar sama-sama terpanah mendapati gambar yang menjadi wallpaper ponsel ayah Reno itu.
Foto Reno dan Nico berciuman menggunakan pakaian sarjana keduanya. Keduanya tak menyadari momen itu diabadikan Vanya sesaat sebelum mereka pulang dari acara wisuda.
"Ayah sebenarnya sudah menduga sejak lama, kamu paling semangat kalau cerita soal Nico tiap kita ngobrol. Sampai foto ini dikirim kakakmu di hari kamu wisuda, ayah gak kaget lagi. Ayah ikut bahagia."
"Ayah nggak... marah?"
"Kenapa harus marah, cinta bukan sesuatu yang harus di marahi."
Reno menatap kekasihnya, Nico tanpa sadar sudah mencucurkan airmata. Memalingkan wajah membelakangi semua orang, menyembunyikan wajahnya yang basah. Reno lalu tanpa enggan lagi memeluk kekasihnya di depan sang ayah, di depan semua orang.
"Maaf Om, Nico munggungin om." Ujar Nico setelah berbalik, wajahnya masih menunduk terlalu malu menatap Harry.
"Nico, makasih udah nemenin Reno di saat-saat paling berat di hidupnya saat Om jauh. Kedepannya, om harap kamu akan terus ada disamping Reno yah."
"Iya, om. Makasih banyak. Makasih banget Om." Nico kesulitan menyusun kata-kata.
"Tapi pa, foto itu... Apa nggak geli dijadiin wallpaper?"
"Geli kenapa? Entah kapan terakhir kali ayah lihat kamu sebahagia ini. Foto ini akan ada di layar hape papa untuk waktu yang lama."
Menjelang jam sebelas, Fanny dan Marco menjadi yang terakhir meninggalkan rumah Reno. Nico dipaksa menginap oleh Reno, meski sebenarnya ia malu karena baru kali itu ia menginap dalam kondisi kedua orangtua Reno berada di rumah.
Usai mandi, Nico mendapati Silvia sedang mengatur obat-obatan untuk di minum putranya sebelum tidur.
"Maaf yah, Nic. Pemanas airnya rusak tante lupa terus manggil tukang servisnya. Dingin banget ya airnya?"
"Gak kok tante, Nico justru gak terbiasa mandi air anget."
Reno terbahak kecil saat mendapati ayahnya masuk ke kamar mereka menggunakan piyama batik dengan corak kain yang sama persis yang digunakan Silvia.
"So sweet banget, hahaha."
Silvia hanya bisa tersipu, sedang Harry tersenyum lebar seraya ikut duduk di sisi ranjang. Nico masih berdiri canggung di depan kamar mandi.
"Calon menantu, sini duduk di samping Om."
Nico maju meski dengan kaku. "Kalau kalian sudah siap. Om akan bantu kamu ngomong sama ayah ibu. Mengenai kalian. Sedikit banyak om kenal orangtua kamu. Jelas akan butuh waktu, tapi asal kalian berdua bisa teguh menunjukkan kesungguhan mereka juga pasti akan luluh nantinya."
"Te-terima kasih banyak Om." Sahut Reno.
"Yasudah, papa dan mama mau istirahat dulu. Besok mama kalian harus pagi-pagi ke butik."
Reno tersenyum kecil, "Siap pa, ma. Moga MB nya menyenangkan."
"Naon MB teh?"
"Malam balikan, hahaha."
"Hahaha, yaudah... Eh, iya-iya hampir lupa." Harry merogoh saku celananya lalu mengeluarkan se kotak benda yang membuat Reno dan Nico ternganga.
Pria itu melemparkannya serta-merta ke atas ranjang, sekotak kondom. "Bisi kebelet, tapi saran ayah sih jangan dulu. Asa masih leleus eta tekukur, belum sembuh betul."
"Hahaha, papah ih. Udah atuh jangan di godain terus." Silvia menyeret Harry meninggalkan kamar putra mereka.
Reno dan Nico masih ternganga hingga beberapa saat setelah pintu di tutup. Keduanya kemudian bertatapan lalu terbahak kencang setelahnya.
"Kabetrik siah si papah ih, hahaha." Cetus Reno.
"Om Harry masih gak berubah yah. Selalu selucu dan se asik itu."
"Papah siapa dulu atuh."
Nico mengambil se kotak kondom itu lalu menimang-nimangnya. Reno tiba-tiba menerkamnya, mengunci pergerakannya dari samping seraya mulai mencumbu. Nico sendiri seperti di sengat listrik, sama-sama menginginkan, merindukan. Sudah lebih dua minggu sejak terakhir mereka melakukannya.
"Hahh, emang kamu udah kuat...? Ahh..."
"Penasaran? Coba aja?" Goda Reno sembari terus menghujani leher Nico dengan serangan.
Kali ini posisinya sudah berada di atas Nico, mengunci pergerakan kekasihnya itu dengan kedua tangannya. Sayangnya, tepat saat lelaki itu menunduk siap mendaratkan lidahnya keatas dada polos Nico. Terdengar bunyi seperti tumpukan batu bata yang baru saja di patahkan seorang karateka. "Ahhhkkk..."
Nico sontak membelalak, mencari tau apa yang terjadi. "Ka-kamu  kenapa, yang? Aduh..."
"Punggung aku, yang... Gak bisa gerak..."
Posisi mereka tak bisa dipindah. Reno berada cukup rendah untuk mengunci pergerakan kekasihnya.
"Hah? Gimana dong ini..." Nico menggunakan segala dayanya untuk melepaskan demi meminta tolong orangtua sang pacar tapi nihil. Reno terus meringis.
"Gak tau... Aahkkk, kamu jangan gerak yang! Sakit banget ini sumpah."
"Ya gimana? Aku mau manggil tante sama Om."
"Aaaaa... Ayang, beneran sakit ini teh..."
"Terus?"
"Ga tau... Hape kita..."
"Ah, eh... Tadi... masih di charge di ruang TV..."
Nico menepuk jidatnya. Sungguh sebuah kekonyolan di malam pertama ia menginap di rumah sang kekasih dengan kedua orang tua mengawasi.

Setelah mengumpulkan niat dan tekad. "TANTE... OM... TOLONG!"

To Be Continued...

I Think I Love You, Buddy (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang