Sehari Sebelumnya
"Kamu yakin mau ikut nak, kamu gak harus kalau..."
"Reno yakin, pa. Lagipula sebelum jadi kekasih, Nico itu sahabat baik Reno. We're the best buddy to each other."
Harry mendengus resah, menyalakan mobil siap mengantar mereka ke bandara. Menghadiri pernikahan Nico dan Virgy di Manado. Rombongan mereka tiba nyaris bersamaan dengan para sahabat. Menghadiri pernikahan sahabat seharusnya terasa amat menyenangkan, tapi empat jam lebih di dalam pesawat dilalui nyaris tanpa secercah pun keceriaan diantara mereka.
Mereka tiba pukul enam sore, Hana dan Yemima menjemput langsung meski sudah sudah payah di larang oleh Harry dan Silvia. Sejak memasuki ruang arrival, kepala Reno sibuk mengitari sekitarnya. Tapi sosok yang diharapnya akan terlihat nyatanya tak ada disana. Atmosfir kekakuan kian terasa hingga rombongan mereka tiba di hotel. Obrolan lebih banyak di dominasi oleh Harry dan Yemima dengan isi percakapan remeh-temeh yang tak berfaedah. Kekakuan paling terasa diantara Hana dan Silvia yang duduk bersisian. Tanpa mereka sadari sebuah dinding tak kasat mata tercipta diantara keduanya.
*
"Kang Mathias." Harry segera menunduk memeluk sahabat lamanya begitu tiba di lounge.
Mathias sedang berdua bersama Nico disana. Harry seperti tersentak lalu berbalik memandang sekitar, ia tak melihat putranya. Silvia memberi isyarat dengan gelengan pelan. Fokus Harry kembali pada Mathias.
"Harry. Hah, gua sempat berpikir gak sempat lagi bertemu sahabat gu-gua ini."
"Halah, bahasamu Kang. Kesetrum dikit gini aja, meski duduk di kursi roda. Aku masih gak akan bisa ngalahin Kang Mathias adu panco."
"Hahaha, bisa aja kamu."
Obrolan Mathias dan Harry berlanjut kian seru, Hana memilih mengajak Silvia menuju kamar mereka sementara Yemima segera menuntun para sahabat Nico menuju kamar-kamar mereka masing-masing.
Di samping sang ayah, Nico tertunduk... Tak berani menatap wajah Harry. Mathias bahkan dapat melihat jemari putranya itu gemetar.
"Nak, ayah boleh ngobrol berdua s-sebentar sama Om Harry?"
"I-iya yah, om, Nico permisi dulu." Nico berujar lebih tergagap dari sang ayah.
Lelaki itu segera melangkah menjauh, laju langkahnya perlahan bertambah cepat hingga berubah menjadi lari. Begitu tiba di toilet terdekat, ia segera muntah. Hasrat muntah yang amat sangat hingga pangkal lidahnya merasakan sensasi pahit yang amat menyiksa. Terang saja, ia belum menyentuh makanan apapun sejak pagi tadi.
Di cucinya mulut hingga wajahnya kemudian, berharap dapat sedikit mengurangi sedikit gejolak kesukaran di kepalanya. Menatap dirinya di depan kaca setelahnya, cakrawala pikirannya kembali terbawa pada momen percakapan terakhirnya dengan Virgy beberapa seminggu yang lalu. Nico benar-benar sedang berada pada titik terendah di hidupnya.
Jantungnya serasa lepas ketika ia menoleh, mendapati sosok Reno berdiri di depan pintu masuk toilet menatapnya dengan tatapan tajam yang begitu menakutkan untuknya. Beberapa saat keduanya terdiam, sampai Reno melangkah cepat menyeretnya masuk ke bilik toilet paling ujung. Nico kalah cepat menghindar, tau-tau lelaki itu sudah mengunci pergerakannya lalu melumat bibirnya dengan ganas serta-merta. Seperti singa yang baru saja berhasil menangkap buruan yang sudah di intainya sekian lama.
"Ren... Lepas..." Sekuat tenaga ia berusaha melepaskan diri dari kungkungan otot-otot tegas Reno.
Tapi lelaki di hadapannya itu tak memberinya sedikitpun celah. Tegas, menuntut dengan ganas. Lelaki dihadapannya itu mencurahkan semua tumpukan emosi yang telah membuncah dari dalam relung relung hatinya sekian lama. Hingga akhirnya ia menyerah, diam dengan pasrah. Ia tak lagi mengelak, membiarkan Reno melakukan semua yang ingin di lakukannya pada dirinya. Tau-tau Reno sudah melucuti kaus dan celana yang sedang dipakainya seraya terus mencumbunya.
Tepat saat Reno siap memasukkan jemarinya kedalam celana dalam Nico, pergerakan lelaki itu terhenti. Ia menunduk lama, sangat lama sampai Nico mulai mendengar suara isak kecil dari mulut lelaki dihadapannya itu.
"Kamu kejam, Nic. Kamu kejam."
Hanya itu saja, Reno kemudian terjebak dalam tangis tak berujung. Reno memeluk Nico dengan erat, seolah dalam sekejap saja lelaki itu bisa menguap kembali menghilang dari hadapannya. Nico tau, sosok dihadapannya itu telah kalah.
"Tolong pahami aku, Ren. Aku nggak akan minta kamu maafin aku, aku cuma ingin bahagiain ayah." Dengan tatapan datar dipakainya kembali pakaiannya yang tadi di lucuti Reno, dengan pelan digesernya tubuh Reno sebelum kemudian membuka pintu bilik dan keluar.
"Kamu sendiri... Apa kamu bakal bahagia? Apa kamu pernah benar-benar cinta sama aku?"
Kalimat terakhir Reno itu menghentikan langkah kakinya sebelum berbelok ke koridor lain. . Tapi ia tak menoleh, hanya terdiam beberapa saat sebelum melangkah pergi meninggalkan Reno dengan segala kemalangannya.
Reno memberanikan diri datang setelah mengumpulkan tekad yang di kiranya sudah cukup kuat, tapi mendapati bagaimana dirinya bersikap di depan Nico. Ia bahkan tak bisa melakukan lebih dari itu. Lebih-lebih setelah melihat bagaimana Nico meningkahinya tadi. Reno hancur, lebih hancur lagi dari sebelumnya. Semua ketakutan yang sempat dikiranya tak beralasan kini terjuwudnyatakan dengan cara paling kejam untuknya.
*
Tiba di kamarnya, Andra dan William sedang beristirahat setelah perjalanan yang cukup melelahkan. Mereka semua sudah paham, sebab dari raut muram dan wajah Reno yang masih basah oleh airmata.
"Ndra... Lo pernah tinggal di sini kan dulu."
"Duduk dulu, Ren. Iya, gua pernah tinggal di sini semasa SMA dulu." Ujar Andra seraya mendudukkan Reno ke tepian ranjang sebelum mengelap wajahnya dengan beberapa lembar tisu.
"Tolong antar gua ke tempat minum, dimana pun itu." Ujar Reno.
Andra terhenyak seraya menatap William. William sendiri tak bisa berujar apapun. "Tapi, Ren..."
"Tolong Ndra... Gua mohon." Reno berujar melas seraya memegang kedua pundak sahabatnya itu.
Andra kalah, ia mendengus resah sebelum mengiyakan permintaan Reno.
Beberapa jam kemudian... Reno sudah tenggelam dalam pengaruh alkohol di bawah remang-remang lampu disko di salah satu bar. William dan Andra mengawasi dengan resah. Mendekati tengah malam Andra sudah beberapa kali membujuknya untuk pulang tapi ia menolak. Andra akhirnya memutuskan untuk menyewa seluruh bar agar bisa dikosongkan hanya untuk mereka, semua demi menghindari hal-hal yang takkan bisa mereka kendalikan nantinya.
"Lo berdua gila, yah? Kenapa gak panggil gua dulu sih tadi?" Omel Fanny dari ujung talian.
Ia baru saja dititahi Silvia mencari keberadaan putranya yang sudah tak terlihat sejak sore.
"Gua gak tega tadi, Fan. Lihat dia kayak gitu."
"Hhh yaudah, gua sama Marco kesana sekarang. Pastiin semuanya aman." Tegas Fanny sebelum menutup sambungan telepon.
Tak selang sepuluh menit sebuah mobil tiba di tempat parkir Bar. Fanny turun dari kursi kemudi, tapi sosok yang muncul setelahnya bukanlah Marco, William dan Andra tersentak mendapati Nico turun lalu melangkah cepat memasuki bar.
Hatinya meradang mendapati kondisi Reno kala ia tiba. Berpangku tangan dengan tatapan kosong di depan gelas minuman. Reno tersenyum melihat Nico masuk lalu melangkah menujunya.
"Lihat siapa yang datang. Nicholas Rotinsulu, kekasihku. Ah, atau haruskah aku sebut... Mantan kekasihku." Tuturnya seraya mendekatkan gelas ke mulutnya siap menambah lagi kadar alkohol di dalam tubuhnya.
Gelas itu di tahan Nico, di letakkannya kembali ke atas meja. "Udah, ayo balik."
"Balik? Ke Bandung? Ke rumah kita?"
Rumah kita. Nico merasakan ribuan jarum menusuk jantungnya mendengar racauan-racauan kecil lelaki dihadapannya itu. Tangannya berusaha meraih botol minumannya setelah gelasnya di jauhkan Nico dari jangkauan tangannya. Nico lalu mengisyaratkan sang bartender untuk mengambil benda itu.
"Oh, Iya... Aku lupa, kamu nggak bisa. Besok kamu nikah kan yah. Betul, betul."
Nico tak meningkahi satupun kalimat-kalimat penuh kemalangan Reno. Dengan telaten ia memakaikan kembali sepatu kets yang Reno yang ㅡseperti biasaㅡ akan terlepas tiap kali ia minum. Membawanya mengingat kembali sebuah kenangan bahagia bersama Reno bertahun silam.
2 Tahun lalu...
"Kang Hardy... Maaf. Reno udah salah. Maafin Reno yah, kang."
![](https://img.wattpad.com/cover/167127486-288-k765695.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
I Think I Love You, Buddy (END)
RomanceFriend to Lover §§§ A bittersweet and (sometimes) naughty story about friends and (or to) lovers. §§§