Kadang ironi juga bisa menciptakan keindahan. Yoyo yang dulunya menjadi sosok yang mengayomi, menjadi sandaran bagi Ilham di saat-saat rapuhnya kini disamping Hans menjadi kebalikannya. Hans adalah batu karang teguh tempat Yoyo kembali bisa berdiri dan menjalani hidup dengan tangguh, menjadi pelindung yang memberi kekuatan untuknya menjalani hari. Ia secara alami terposisikan sedemikian rupa. Jelas ada fase dimana otaknya menentang, tapi satu yang terus menjadi pedomannya... Adalah pesan yang selalu mendiang Ilham sampaikan padanya dulu, adalah untuk dengan jeli memahami isi hati sendiri terlebih dulu dan menjalaninya.
"Saya, pak?" Tanya Yoyo dengan tatapan tegang. "Ma-maaf, pak." Segera meminta maaf begitu menyadari nada suaranya meninggi meningkahi ujaran dari sang pemilik perusahaan tempatnya bekerja.
Mark tersenyum seraya menepuk pundak Yoyo, "Iya, kamu. Rasanya nggak ada yang lebih kompeten untuk aku percayakan menghandle proyek kali ini dibanding kamu. Sudah terbukti dari proyek kalian baru-baru ini."
"Wah, bapak terlalu memuji. Saya cuma bantu-bantu saja di proyek ini. Dan lagi proyek ini skalanya... Saya takut tak bisa memenuhi..."
"Sshhh... Satu kelemahan kamu yang benar saya dengar dari Pak Budi, terlalu pemalu. Sisanya, dia itu mengambil kredit dari kerja keras kamu dan tim. Huh, ayah terlanjur dekat sama dia sampai aku susah menemukan celah untuk mecat dia. Ah, kenapa juga kita bahas dia. Suryo, you probably knew i'm a person who doesn't take no as the answer for my order right?"
Yoyo segera tertunduk, kecele di depan bosnya. Tapi Mark justru terbahak keras seraya kembali menepuk pundak staff terbaiknya itu. "Bercanda. Kamu punya satu dua hari ini untuk memikirkannya, keputusan sepenuhnya prerogatifmu. Ah, aku harus berangkat sekarang. Another boring meeting. Semangat hari ini, Yo." Ujar Mark seraya beranjak dari mejanya. Keduanya keluar bersamaan dari ruangan, sekretarisnya sudah siap dengan jas dan tasnya. "Oh iya, pertemuan kita selanjutnya. Tolong panggil aku Mark aja, sama seperti yang lain. Setidaknya di kantorku sendiri aku ingin sedikit santai, ok? Let's go. Eit, tunggu. Yo, aku dengar dari Alfons kamu suka judo juga? Meeting kita berikutnya di dojo aja, kamu yang nyari tempat yang bagusnya. Ck, harusnya dari wawancara dulu kamu ngomong suka judo juga."
"Pak, kita hampir telat." Sang sekertaris menimpali.
"Hmph. Ck, nggih ndoro. Yo, see you."
Yoyo baru bisa bernafas lega saat sang direktur masuk ke dalam lift, masih melambaikan tangan dengan senyum andalannya sampai pintu tertutup. Yoyo masih mematung di sana sampai Alfons menghampirinya.
"Ckck, bos kayaknya naksir deh sama lo." Ujar Alfons.
"Jangan gila. Sini, gua butuh saran."*
Alfons hanya tersenyum mendengar tuturan panjang sahabatnya itu. Ia dan sebagian besar staff nyatanya sudah menerka bahwa Yoyo akan ditugaskan menangani proyek real estate yang merupakan proyek kolaborasi perdana perusahaan mereka dengan perusahaan asing.
"Fix bos naksir sama lo nih. Haha. Anyway, stop berpikir. Lakuin aja. Jangan kasih celah buat para tua-tua bangka disana." Ujar Alfons seraya melirik kearah para senior mereka di ruangan itu. Memandang bengis kearah Yoyo yang bahkan tak menyadarinya.
Mereka yang telah bekerja bertahun-tahun disana, belum pernah dipercayakan melakukan pekerjaan sebesar itu. Beberapa bahkan telah berada disana sejak perusahaan tersebut di dirikan.
"Ya Tuhan."
"Udah gak usah di ambil pusing. Yang jelas, lo nggak punya alasan untuk ragu ambil pekerjaan itu."Beberapa hari kemudian...
"Om Yoyo, kita ketemu lagi."
Mata Yoyo memicing mencoba mengenali sosok gadis kecil berkacamata nan lucu yang baru saja menghampirinya yang sedang menunggu di halaman rumahnya.
"Raya?" Ujarnya begitu mengenali siapa bocah itu, bocah yang ia temui di taman dekat tempatnya mensurvei lokasi pekerjaan. "Kamu... Tinggal disini?"
Mark keluar dengan hanya menggunakan boxer pendek dan sibuk mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk. Tubuhnya gagah proporsional, perpaduan sempurna gen Chinese dan British di dalam tubuhnya yang mempesona. Mengingatkan Yoyo dengan Hans.
"Masuk Yo, maaf berantakan. Saya terlambat gara-gara ngurus bocah bandel ini yang jatuh skuter. Oh iya, saya baru tau kemarin kalau kamu udah kenal sama Raya putri saya."
"Oh, eh, iya pak. Waktu itu nggak sengaja ketemu waktu..."
"Om, ssst."
"Halah, tanpa om Yoyo cerita juga ayah udah tau waktu itu kamu bolos lagi kan? Hih, saya mah udah pasrah Yo kalau dia nggak lulus SD. Nanti biar dikirim ke neneknya aja di kampung ngurus tambak udang." Tutur Mark sebelum menuntaskan kegiatan mengeringkan rambutnya. "Tunggu sebentar, yah. Saya berpakaian dulu. Ah, ini jus sirsaknya diminum dulu. Thanks, Bi Ipeh."
"Yur welkom, den." Ujar seorang pembantu yang mengantarkan jus sirsak sebelum berlalu.
"Wah, terimakasih pak. Jadi merepotkan."
"Minum doang, yaudah sebentar yah."
*
Dojo Hans
Senyum Hans yang menyaksikan Yoyo datang di hari yang tak biasanya ke Dojo segera memudar begitu melihat sosok menawan yang ikut bersamanya. Mark. Reno yang sudah dikirimi pesan singkat oleh Alfons segera paham situasinya.
Hari ini adalah persiapan terakhir untuk Peter mengikuti kejuaraan judo antar universitas yang akan diadakan lusa. Mengingat Hans dan Andika yang cukup sibuk, Reno menjadi orang yang di mi tai tolong Hans untuk menuntun dan memantau latihan sang adik.
"Heh, itu iler di lap dulu." Ujar Reno pada Andra yang terpaku dalam pesona pria yang dibawa masuk Yoyo itu.
"Hehe, siapa tuh? Bening banget. Yoyo pasarannya lagi tinggi nih yah." Cetus Andra membuat Hans mendengus mendekati kekasihnya.
"Pak.... Eh Mark, kenalin ini Hans..."
"Pacar Yoyo, senang bertemu dengan anda Tuan Mark."
Yoyo beserta beberapa orang yang menyaksikan pertemuan itu tersentak bersamaan mendapati bagaimana Hans memperkenalkan dirinya kepada bos Yoyo tersebut.
Mark menyambut jabatan tangan Hans, "Mark Padmana. Senang bertemu anda juga. Yo, gak usah sampai segitunya. Saya ini beberapa kali nggak sengaja mergoki kamu dijemput Hans di kantor sebelumnya. Seperti dugaan saya, pacar kamu galak."
*
Kehadiran Mark di Dojo serta merta menjadi pusat perhatian, Yoyo takjub mendapati Hans yang ternyata memiliki keahlian judo yang juga di atas rata-rata. Sudah beberapa murid disana yang beradu dengannya lalu dikalahkan dengan muda. Reno menjadi yang terakhir, takluk dalam waktu singkat.
Kyle dan Virgy datang bersama Nico menjelang makan siang, mereka baru saja mengantar Andika dan Netha ke bandara.
"Yang, kamu kenapa?" Tanya Nico pada kekasihnya yang terduduk lemas di salah satu sudut. Dijawabnya hanya dengan gelengan pelan.
"Mark!" Teriaknya Virgy mengalihkan perhatian Mark yang sedang minum.
Mark tercengang mendapati sosok yang tak asing baginya. "Virgy! Kyle!"
Obrolan seru tercipta setelahnya, Mark adalah salah satu regular di club judo yang sama dengan Virgy sewaktu di Australia dulu.
"Yaelah, kita jadi korban rekan seperguran yang." Ujar Reno.
"Iya ih. Dunia rasanya sempit banget yah. Eh tapi kayaknya seru yah kalau Pak Mark sama Virgy duel."
Mark segera membelalak dan menggeleng-gelengkan kepala. "Huh, sampai terakhir kali saya nggak pernah menang lawan dia."
Semua orang terbelalak tak percaya. Tapi Nico malah tergelitik untuk memaksa duel keduanya benar-benar terjadi. Kecele, Mark akhirnya takluk juga. Tak punya celah untuk menolak permintaan khalayak. Tak lama berselang keduanya sudah dalam balutan pakaian judo masing-masing.
Pertarungan berlangsung imbang untuk beberapa menit pertama, seruan para penonton baik dari para sahabat maupun mereka yang berkesempatan menyaksikan kian menambah semarak suasana.
Virgy mencuri kendali kala melihat stamina Mark mengalami penurunan, meski ia sendiri juga merasakan hal yang sama. Dengan gerakan kuncian andalannya, Mark kembali mengaku kalah dengan melakukan 'tap' demi mengusaikan pertandingan.
Yoyo menghampiri Mark yang duduk bersandar di dinding salah satu sudut ruangan dengan nafas tersengal-sengal. Membawakannya segelas air mineral.
"Minum dulu, Pak." Ujar Yoyo.
Mark menoleh sambil berusaha tersenyum, "Mark."
"Ah, iya. Mark."
Mark menghabiskan sebotol air itu dalam sekali tenggak. Lalu menarik nafas panjang sebelum menghembuskannya kembali kuat-kuat. "Huah, kalian kejam ih nyuruh saya tanding sama Virgy lagi."
"Hihi, tapi sudah bagus sih bisa sampai sejauh itu. Aku pernah nyoba sekali, nyaris pingsan. Kasihan banget nanti, Kyle."
"Haha, dia mah udah bucin parah dari dulu. Beneran nekat kemari tuh anak."
"Yang! Bisa lihatin Peter sebentar, nggak? Aku harus ke toilet." Tiba-tiba saja Hans sudah berada di depan mereka, menyela percakapan seru diantara Yoyo dan Mark dengan nada ketus.
Yoyo tersenyum kecil, sepenuhnya sadar apa yang sedang berkecamuk di pikiran sang kekasih. "Iya-iya."
Hans tak menyangka Mark akan menyusulnya ke dalam toilet, keduanya beradu tatap di wastafel ketika mencuci tangan seusai buang air kecil. Lalu saat Hans akan keluar lebih dulu, Mark mengujarkan sesuatu yang menghenyakkan Mark serta-merta.
"Sayang sekali saya terlambat bertemu dengan Yoyo."
"Maksudmu?" Hans jelas tak mau muluk-muluk memanggil bos kekasihnya itu dengan panggilan sopan.
Hans telah siap beradu lebih jauh jika saja Nico yang peka dengan situasi segera mengambil tindakan.
"Kang Hans! Kaki Yoyo terkilir tuh, udah lama nggak judo kali yah."
Hans tanpa bersuara segera berlari keluar mendapati kekasihnya sedang duduk di bangku panjang dengan menempelkan kompres es ke pergelangan kaki kanannya. Nyatanya tak separah bayangannya.
"Kamu nggak apa-apa? Masih sakit?" Tanya Hans sembari mengecek kaki sang kekasih.
Yoyo tersenyum kecil. "Tadi lumayan, ini udah mendingan. Udah lama banget nggak judo jadi gini."
"Kamu mah, kondisi juga belum fit bener kan?"
Obrolan keduanya berlanjut dengan Yoyo yang semakin nyaman bermanja dengan pemilik hatinya yang baru itu. Tak peduli di perhatikan para sahabat yang bahkan sampai mengabadikannya dalam potret.
Sementara di dalam toilet Nico terlibat percakapan kecil dengan Mark.
"Yoyo udah melalui banyak hal beberapa tahun terakhir ini. Hadirnya Kang Hans dalam hidupnya betul-betul sebuah anugerah, Pak. Yoyo akhirnya bisa berdiri tegap lagi setelah semua kesakitan yang dia alami. Hmm, sekali lihat saya langsung bisa menerka bagaimana sikap hati Pak Mark ke Yoyo. Tapi saya percaya Pak Mark akan menunjukkan itu dengan cara yang bijaksana." Ujar Nico panjang lebar.
Mark tersenyum kecil seraya memangku lengan."Gimana kamu bisa seyakin itu?"
Nico mengangkat bahu, "Yakin aja, percaya atau enggak... Keyakinanku jarang salah loh, Pak."
"Hahaha, kecuali saat kamu mutusin buat nikah sama orang lain meninggalkan kekasihmu meratap sakit disini dulu."
Rahang bawah Nico nyaris lepas mendengar ujaran Mark, jelas itu didengarnya dari Mark. "Hih, dasar Yoyo!"
"Saya lumayan dengar banyak tentang kamu dan beberapa sahabat kalian dari Yoyo."
"Eh... Itu..."
Mark menepuk pundak Nico, "Saya tau batas saya, Nic. Sejak awal saya nggak pernah punya niat mengganggu hubungan mereka berdua. Meski menduda, saya sudah punya tanggung jawab seorang putri yang harus saya besarkan dengan bijak dan layak. Hmm, yang tadi itu... Sebut saja mempererat jalinan cinta pasangan baru?" Jelas Mark seraya mengedipkan mata sebelum kembali ke keramaian.
Nico tertegun sejenak, tersenyum kecil lalu mengekor Mark.
*
Beberapa jam kemudian, apartemen Hans.
Yoyo terlihat sempurna dalam balutan Tuxedo custom untuk peresmian cabang baru perusahaan mereka. "Gimana Kang, pas nggak? Apa kegedean yah... Hey! Dari tadi bengong aja, bentar lagi kesambet nih."
Hans sejak tadi meringkuk di balik selimut yang menutupi tubuhnya dari pinggang ke bawah. Berpura-pura menekuri tablet PCnya demi usaha kerasnya mengalihkan perhatian dari sang kekasih yang tampak begitu menggoda sedari tadi.
"Eh, itu... Ba-bagus kok, pas. Cocok banget di kamu." Jawab Hans gelisah.
Yoyo mengernyit aneh, butuh beberapa saat untuknya menyadari apa yang sedang berlangsung. Ia lalu teringat sebuah paragraf dalam buku harian Hans yang diam-diam dibacanya beberapa waktu sebelumnya.
Aku akan dalam bahaya jika melihatnya dalam balutan tuxedo lagi, tapi aku harus bisa bertahan. Melakukannya waktu itu saja sudah membuatku nyaris kehilangannya. Bergidik rasanya membayangkan hal itu akan terjadi lagi.
Ia lalu tersenyum kecil, haru sekaligus sedikit tergelitik. Nyatanya ia sudah lama mempersiapkan diri, bahkan diam-diam menanti. Hans telah begitu baik dalam segala usahanya membahagiakan Yoyo, sudah sepantasnya ganti ia yang memberikan hadiah-hadiah kecil disaat-saat seperti ini.
Tanpa melepaskan apapun, bahkan sepatunya Yoyo menaiki ranjang menggapai Hans yang menatapnya gelisah.
"Yo..."
Jantung Hans berdebar kian kencang menyaksikan semuanya. Yoyo berhenti saat berada tepat di depannya bersimpuh sambil tersenyum manis.
"Aku mau bikin pengakuan."
"Pengakuan?"
"Minggu lalu, aku baca diari Kang Hans saat kebangun tengah malam. Hehe, salah sendiri ketiduran waktu lagi nulis."
Hans menoleh serta-merta dengan kuping yang memerah. Malu semalu-malunya. Tanpa bisa ia cegah Yoyo menyibak selimutnya disaat Hans lengah. Menampilkan gundukan besar dibalik boxer longgar yang sedang dipakainya.
"Sejak hari itu, Kang Hans nggak pernah menyentuhku kecuali aku yang mulai. Kejam, aku jadi seperti kekasih murahan yang terus meminta." Ujar Yoyo sembari jemarinya mulai mengelus pelan sesuatu yang keras di balik satu-satunya kain yang menutupi Hans kala itu.
"Emh..." Desis Hans tertahan.
Tau-tau kain itu sudah ditanggalkan sang kekasih. Memampangkan penis Hans yang mengacung keras dan gagah dihadapan Yoyo. Yoyo tak langsung menyentuhnya, jemarinya mengarah ke wajah Hans, membawa tatap keduanya bertemu.
"Aku nggak akan pernah paham kalau nggak sempat baca diarimu waktu itu. Kang..." Yoyo menciptakan lagi satu jeda menyiksa untuk lelakinya itu.
Yoyo mendekatkan bibirnya ke telinga Hans lalu berbisik lirih, "Gagahi aku seperti yang ada di dalam fantasimu, semaumu."
Tepat detik itu, Hans lalu kehilangan kendali pada dirinya.
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
I Think I Love You, Buddy (END)
RomanceFriend to Lover §§§ A bittersweet and (sometimes) naughty story about friends and (or to) lovers. §§§