Setelah seminggu di Bunaken, Nico mengajak teman-temannya ke Tomohon dan Tondano. Awalnya mereka ingin berkeliling Manado."Just trust me, guys! Kalian hanya akan mengalami pengalaman hang out seperti di Bandung jika berkeliling Manado. Hanya sedikit perbedaan..."
"Apa itu?" Tanya Marco.
"Lebih buruk." Netha terbahak namun segera menutup mulutnya kemudian. Ada Virgy bersama mereka yang merupakan penduduk asli Manado.
"Nggak apa-apa, Neth. Nyatanya memang begitu, lebih macet, lebih kotor, dan lebih membosankan." Virgy berkata jujur. Matanya tak lepas menatap Nico disampingnya.Orangtua Virgy sudah kembali di hari yang sama dengan kedatangan mereka. Virgy masih diminta menginap oleh Marlina selama sisa liburan. Nico jelas tak senang, namun tak bisa berbuat apa-apa.
Mereka tiba di Manado terlambat akibat beberapa dari mereka yang tidak bisa bangun pagi. Masih harus ke rumah nenek Nico di ujung kota, meski dengan mobil pengantar yang di pesan online, mereka masih harus terjebak macet sebelum tiba di rumah nenek Nico. Tepat jam 12 siang mereka baru sampai. Satu kejutan kecil, mobil sang nenek adalah sebuah Jeep tua. Yang jelas tak punya AC di dalamnya.
Panas. Jelas saja, mereka bertujuh didalam mobil yang berukuran tak seberapa besar itu. Lebih-lebih kota yang sedang dilintasi mereka adalah Manado. Seluruh dunia rasanya tau seberapa panas kota itu di siang hari.
Baru beberapa menit perjalanan Nico sudah berkeringat hebat. Virgy bermaksud menyeka keringatnya itu dengan sapu tangannya. Malang, ia melakukan itu tepat di saat. Nico membelokkan mobil pada tikungan melingkar yang cukup panjang. Akibatnya tubuhnya terjerembab ke arah Nico, beruntung lengan Nico masih mampu menahan bobot tubuhnya. Lelaki itu bahkan tak menatapnya, fokus pada jalan. Ia harus menyalit beberapa mobil di depannya agar tak terjebak macet.
Sontak wajah Virgy merona merah, gadis itu segera menarik dirinya menjauh dari Nico. Ia serba salah, tak tau harus berbuat apa.
"Jangan cuek begitu lah, Nic. Lihat tuh pipi Virgy jadi merah gitu."Nico tak sengaja menangkap mata gadis itu. Ia yakin tak salah, Virgy baru saja menyeka airmatanya. Nico seketika merasa amat jahat, ini pertama kalinya ia melihat secara langsung. Gadis yang selalu tersenyum itu menangis, karena dirinya.
Nico mengambil sapu tangan Virgy yang jatuh di pahanya, menyeka sedikit keringat di wajahnya lalu mengembalikannya pada si pemilik.
"Sorry, tadi kurang fokus. Beloknya jadi tiba-tiba." Ujarnya tanpa menatap Virgy, tapi begitu saja sudah cukup untuk menghangatkan hati gadis itu.
"Seatbeltnya." Sedikit tersentak Virgy meraih benda yang dimaksud Nico, menarik ujung pengaitnya lalu berusaha memasangnya lada lubang pengait. Karena gugup, benda itu tak juga masuk kesana.Nico membantu memegang jemari Virgy, membantu mengarahkan pengaitnya. Sekali coba langsung berhasil. Gadis itu kian tersipu.
"Uuuuuu!!!" Olok-olok seisi mobil sontak menyeruak kemudian.
"Cinta yang hebat selalu muncul dari konflik yang hebat juga." ucap Yoyo sambil fokus dengan game onlinenya, Lancelotnya sedang menang besar melawan Clint Reno.
"Itu kalimat gua. Ada hak ciptanya." Protes Marco.
"Pinjem."Reno mendengus kesal, ia kalah lagi. Satu lawan satu dengan Yoyo. Padahal biasanya Yoyo tak pernah bisa berkutik jika ia sudah menggunakan hero andalannya itu. Terang saja, ia tak bisa fokus. Di dalam mobil memang panas, tapi hatinya terasa jauh lebih panas. Ia hanya bisa berharap mereka cepat tiba di Tomohon, kota yang katanya super dingin itu.
*
Nyaris pukul satu siang, mobil mereka baru mencapai pusat kota Tomohon. Ketujuh manusia didalamnya benar-benar nyaris terpanggang seutuhnya.
Mereka memutuskan singgah di rumah makan terdekat. Makan siang sebelum lanjut ke destinasi mereka. Sebuah resto barbecue dipilih mereka.
Para gadis memesan tenderloin steak sedang para pria memesan Korean style sautéed meat, dimakan dengan sawi segar. Nico segera mengomel begitu mendapati pembakaran dimeja mereka kurang baranya."Selalu saja begini, bang! Bang!"
"Iya tuan." Seorang pelayan pria tergopoh-gopoh menghampiri.
"Ini baranya udah mau habis, gimana sih!?"Omel Nico kesal. Seisi meja cuma bisa menunduk resah, mereka selalu akan mendapati kejadian semacam itu jika berkesempatan makan di luar bersama Nico.
"Heh, santai dikit kunyuk. Mereka bukan babu."
"Suruh siapa ga becus." Ujar Nico tenang seraya memakan potongan daging yang sudah sempat di panggangnya.
"Ckck." Reno menggeleng sambil tersenyum kecil.Semenit kemudian si pelayan datang membawa beberapa bara yang diletakan di spatula besi besar. Reno dan Yoyo yang paling dekat berdiri menjauh, memberikan ruang pada si pelayan untuk memasukan bara ke pemanggangan. Ia masih harus membuka menggeser plat yang menutupi tumpukan bara.
"Permisi, permisi. Bara panas! Bara panas!"
Entah karena bara yang dibawanya terlalu banyak atau kakinya menyenggol sesuatu, tangan si pelayan yang menggenggam gagang spatula menjadi kehilangan keseimbangan. Gagang spatula bergerak menuju tumpukan bara dengan sangat cepat, sempat terlebih dahulu menghantam kaki penopang pemanggangan. Bencana.
Kebetulan yang sial. Nico sedang dalam posisi membungkuk mengambil earphone miliknya yang terjatuh ke belakang dari saku celananya.
Tak semua bara dari spatula itu masuk ke pemanggang, beberapa melayang ke berbagai arah. Yang sebagian besar bisa terhindari. Tapi tidak untuk satu yang berukuran cukup besar bergerak ke arah punggung Nico yang masih menunduk.
Fanny dan Netha berteriak keras ketika Virgy yang duduk tepat disamping Nico, dengan telapak tangan telanjang dengan sigap menangkap bara itu lalu segera melemparnya ke arah pemanggang.
Wajar, menepis cepat benda membara itu akan memunculkan resiko lebih besar. Benda itu bisa hancur berhamburan ke sekujur tubuh Nico atau malah nyasar ke meja orang lain di sekitar mereka.
Marco dengan sigap segera meraih ketel berisi air es lalu mengguyurkannya ke telapak tangan Virgy. Gadis itu meringis hingga menitikan airmata. Nico yang terlambat menyadari keadaan hanya bisa membelalak ternganga."Bawa ke dalam segera, nak. Ibu punya obat. Ayo, harus cepat." Kejadian itu sepertinya tersaksikan oleh sang pemilik restoran.
Kali ini Nico yang bergerak cepat memapah Virgy mengikuti si pemilik resto.*
Keduanya tiba di ruangan yang sepertinya adalah gudang penyimpanan bahan baku segar restoran yang belum di olah. Wanita paruh baya pemilik restoran itu segera bergegas ke salah satu sudut ruangan begitu pintu terbuka. Ia kembali membawa kotak first aid.
"Temanmu yang tadi cepat tanggap segera menggugurnya dengan air es. Ini agar nggak infeksi saja." Wanita itu menarik tangan kanan lalu perlahan menyeka bagian yang terluka bakar dengan kasa yang sudah diberi alkohol.
"Ah." Virgy meringis kecil saat kemudian wanita itu membubuhkan obat merah.
Nico seperti ingin melakukan sesuatu tapi tak juga lolos dari enggan.
"Sudah. Tidak usah dibalut lagi, dibiarkan saja sampai kering, sambil ditambah terus obat merahnya jika dirasa perlu. Saya minta maaf sekali lagi atas kelalaian pegawai saya, mbak."
"Tidak apa-apa, bu. Saya yang harus terima kasih sudah di obati."
"Ini obat nya dibawa saja, sejam lagi bagus di tambah biar cepat bekerja. Kalau masih ingin istirahat disinu saja, nak."
"Ah tidak usah kami balik saja, bu. Sekali lagi terimakasih."
"Iya."Nico dan Virgy berjalan berdua kembali ke tempat mereka tadi. Nico benar-benar merasa seperti brengsek saat ini. Bahkan kata maaf pun terlampau sulit keluar dari mulut nya.
Kamu seperti ini pun tidak bisa menebus perbuatan bejatnya dulu. Tapi sialannya, aku merasa amat bersalah. Tidak, kamu bahkan pantas merasakan yang lebih parah dari itu.
"Lain kali biar ada balok besi yang mau menghantam kepala ku biarkan saja. Jangan jadi bodoh terus, kamu tau... Pada akhirnya semua itu sia-sia, Virg." Alih-alih meminta maaf, Nico memilih menyakiti hati si gadis lebih parah lagi.
Berharap setelahnya, Virgy akan berhenti tentang perasaannya diri lelaki itu.
Sayangnya Virgy sudah kebal, bukan baru satu dua kali Nico berlaku demikian. Tapi apa dayanya, ia benar-benar tak bisa menghentikan hatinya. Hati yang tertambat sejak lama pada lelaki berhati salju itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/167127486-288-k765695.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
I Think I Love You, Buddy (END)
RomanceFriend to Lover §§§ A bittersweet and (sometimes) naughty story about friends and (or to) lovers. §§§