Part 6.1

2.2K 110 2
                                    

Virginia Aprilia von Werth.

Sore yang tenang di kamar para gadis. Annetha dan Fanny sama-sama ternganga dengan tatapan takjub mendapati nama lengkap Virgy pada tanda pengenalnya. Dua gadis usil itu sedang merazia isi tas tangan teman baru keren mereka itu.

"Kamu turunan Belanda?"
Virgy tersenyum, "Kakekku sebelah ayah, separuh Belanda."
"Girl, nggak heran kulitmu kayak satin begini." Ucap Annetha sambil memegang dan mengelus lengan mulus Virgy sambil menatapnya kagum. Yang bersangkutan hanya tertawa kecil meningkahi perlakuan Annetha.

Virgy tak merasa risih sedikitpun, gadis itu senang dan mampu bergaul siapa saja.

"Ini... Asli, Virg..."
"Waaa... Hahaha." Kali ini Virgy tersentak kaget, tapi tertawa terbahak kemudian.

Fanny baru saja menyentuh dan meremas kedua.

"Oh, these are real honey. You can trust me." Ucapnya sambil masih terbahak kecil.
"Uh, you're so perfect. Nico beruntung sekali." Fanny yang setengah waras itu menyentuh dadanya sendiri kemudian, mencoba membandingkan.
"Haha, kamu bisa aja. Hmph." Ujar Virgy seraya mendengus kemudian.
Airmukanya berubah seketika, sedikit memuram.
Annetha dan Fanny langsung menangkap perubahan rautnya itu.

"Hey, what's with that face?" ucap Fanny.

Dari posisi duduk disamping sisi ranjang, Virgy kemudian membaringkan tubuhnya di ranjang, Annetha dan Fanny mengikuti, berbaring di kedua sisi Virgy. Gadis itu baru mengeluarkan suara beberapa menit kemudian.

"Aku sudah kenal Nico sejak kami sekolah dasar. Orangtuaku pindah dari Aussie lalu menetap di Manado begitu aku naik kelas 3. Waktu itu orangtuanya masih meniti karir di Manado juga. Ayahku dan ayah Nico adalah sahabat karib ketika kuliah di ITB dulu." Virgy berujar sambil tersenyum, Fanny dan Netha diam mendengarkan.

"Kami bertetangga selama tiga tahun. Aku bersekolah di tempat yang sama dengan Nico sampai kami lulus SD. Lalu disekolah yang sama lagi setelah SMA."

"Nico SMP di Bandung, that I know." Netha berujar, Virgy tersenyum.

"Iya, kalau tidak salah ayah Nico dimutasikan waktu itu karena perusahaannya sedang krisis. Setelah sudah stabil, ayah Nico kembali ke perusahaannya yang lama. Tapi tak lama, dia dan ayahku memutuskan mendirikan CV bersama dan mengurusnya sampai saat ini..." Virgy yang menyadari dua teman barunya itu hanya terdiam sejak tadi kemudian menjeda kalimatnya, "Apa aku terlalu bertele-tele?"

"Nggak kok." Netha.
"Yup." Fanny, keduanya berucap disaat bersamaan.
Netha menyubit pelan lengan Fanny kemudian.

"Nggak kok sayang... Lanjutin aja."

"Kamu suka sama Nico kan?" Straight to the point. Salah satu kelebihan sekaligus kekurangan Fanny disaat bersamaan.

Wajah Virgy merona merah. Ia hanya tersenyum, tapi masih terlalu malu untuk mengucap jawaban. Dari tingkah itu Fanny dan Netha bisa langsung membuat kesimpulan.

"Tapi Nico nggak pernah tertarik sama aku." Ujaran Virgy ini membuat Fanny dan Netha mengernyit heran.
"Masa sih? Dari kemarin dia mesra banget sama kamu." Netha berujar.

Ada jeda sedikit, Fanny sepertinya ingin mengutarakan sesuatu tapi memilih untuk menyimpannya. Ia memilih mendengarkan.
Gadis itu masih saja berusaha tersenyum, "Itu cuma untuk ditunjukan sama om Mathias. Dia tau ayahnya sangat mengharapkannya untuk... menjadikanku sebagai menantu mereka."

Sekali lagi dua gadis disamping Virgy itu ternganga, tapi untuk alasan yang jauh berbeda. Fanny terpikir sesuatu. Gadis sepertinya yang begitu mencintai seseorang teramat sangat pasti mempunyai setidaknya satu fotonya di dalam dompet. Ia kembali mengambil dompet itu, memeriksanya kembali tapi tak menemukan apa yang dicarinya. Pandangannya tertuju kembali pada Virgy, ia segera menangkap sesuatu yang mungkin dicarinya. Dikalungkan sebagai buah kalung emas putih gadis itu, sebuah liontin berbentuk dolphin.
Seperti sebelumnya, Fanny segera berusaha menyentuhnya. Tapi kali ini ia menatap Virgy, meminta persetujuan. Virgy cepat mengerti lalu melepaskan kalung itu dari lehernya, menyerahkannya pada Fanny.
"Kamu seperti detektif, Fan."

Yang disebut namanya tersenyum seraya membuka, keping liontin itu. Netha yang penasaran ikut melihat. Benar saja, didalam liontin itu, terdapat foto Nico memeluknya dari belakang. Keduanya tersenyum manis disana. Lembar foto berbentuk bulat itu sudah tersegel dengan lapisan kaca yang dibuat mengisi seluruh isi cekungan liontin itu. Indah sekali. Fanny hanya tersenyum kecil karena sudah menduganya, sementara Netha membelalak tercengang.

"Ya Tuhan, Virg. Indah sekali." Ujar Netha sambil menimang benda itu ditangannya.
"Nico memberikannya sebagai hadiah di acara ulang tahunku yang ke 18. Tepat sehari sebelum keberangkatannya melanjutkan kuliah di Bandung."
"Ini juga cuma untuk menunjukan pada ayahnya. Oh, damn, that jerk is a bastard." Tiba-tiba saja Netha ingin mengumpat.
"Dia tidak salah, perasaan memang tak bisa dipaksa kan?"
"Kalau orang tuamu bagaimana?"
"Mereka tak pernah menuntut apapun padaku, tapi aku bisa melihat dari wajah ayah. Dia juga berharap aku bersanding dengan Nico."
Hening sejenak, Fanny yang peka bergerak memeluk Virgy. Gadis itu perlahan meneteskan air mata.

"Aku terlalu serakah ya, mengharapkan Nico membalas cinta bodohku ini?"
"Oh honey, no!" Netha memeluk Virgy disisi berbeda.
"Jangan pernah berpikir begitu, Virg. Kamu bahkan pantas untuk lelaki yang jauh lebih baik dari dia."

Di depan pintu kamar, Nico dan Reno berdiri terdiam. Komponen utama yang dominan di rumah Nico adalah kayu, kedua lelaki itu setidaknya mendengar dengan jelas inti pembicaraan tiga gadis didalam kamar itu. Nico perlahan merasakan sesuatu yang berat menindih kepalanya.
Gadis itu, sampai seberapa jauh ia mau berbuat bodoh?

"Let's go to our room." Ujar Nico seraya menyeret Reno menjauh.

I Think I Love You, Buddy (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang