24 Desember
22.50
“AKU PESAN TIKET SEKARANG!!!” Nico berseru kesal.
Nico dan Reno sedang berada di depan kamera tablet milik Netha. Mereka bersama teman-teman yang lain rencananya akan berkumpul merayakan Christmas Night di rumah Reno. Tadi sampai harus diganti karena awalnya hanya tersambung dengan ponsel butut milik Nico. Di layar terlihat ibunya yang siap menjalani menghadapi proses persalinan. Sebentar lagi adik yang sudah ditunggu-tunggu Nico sejak meninggalkan Manado berbulan lalu akan segera lahir.
“Jangan gitu lah nak, kan katamu tanggal 10 nanti sidang kamu? Biar mama sama papa aja yang kesana nanti. Sama adik kamu ini!”
“Bener yah pa! Awas aja adikku gak datang!”
“Iya… Duh, kayaknya bakal sama bandelnya sama kamu nih Co. Jago bener milih hari buat keluar.”
“Baru 8 bulan kan yah, kak Firdaus? Gimana kata dokter?” Silvia ibu Reno sedang bersama mereka.
“Puji Tuhan sehat Vi bayinya, cuma ya tetap harus Caesar. Yaudah, nih kayaknya udah mau mulai. Papa telpon lagi kalau udah selesai, ok? Doa buat adikmu! Vi, ya?”
“Sip, kak.”
“Iya pah!” Sambungan video call terputus.
Nico langsung menunduk gelisah menutup wajahnya dengan kedua tangan. Silvia memeluknya. “Udah-udah jangan nangis. Gak lama kok prosesnya, tenang aja. Sambil doa terus.”“Iya tan.”
“Ren, kamu tenangin tuh Nico. Mama mau ngecek makanan dulu.” Ujar Silvia, Reno mengangguk paham.
Reno mendekat merangkul tubuh Nico dari samping. Ia tentunya ingin lebih dekat namun terlalu takut menunjukkan lebih di depan sang bunda.
Menjelang jam duabelas, Marco bersama Yoyo, Fanny dan Netha tiba. Fanny dan Netha langsung heboh berhambur memeluk Nico.
“Virgy nelpon tadi, kayaknya dikabari mama papanya.” Ujar Netha meningkahi tatapan tanya Reno pada mereka.
“Udah lama?” Tanya Fanny.
“Limabelas menitan. Kakaknya tadinya udah mau pesan tiket ke sana sekarang juga.” Ujar Reno sambil tersenyum simpul.
“Gila aja, lo sidang awal bulan depan! Bisa dimajuin juga, tau kan dosen-dosen kita? Udah sabar dikit aja.” Netha merepet panjang lebar.
Nico menengadah sambil masih dengan muka keruhnya yang belum bisa bebas dari gelisah. Menyandarkan kepalanya di pundak Fanny, lalu melirik ke arah Marco. “Gue pinjem bini lo bentar.”“I use your husband at anytime anyway, so…”
Nico tersentak bangun dan menatap seram ke arah Reno, kekasihnya itu terbahak pelan lalu menggeleng cepat-cepat. Nico masih merengut kesal sampai tablet PC milik kembali bordering, ayah Nico kembali menelepon.
“Udah tuh pasti! Angkat Nic!” Seru Netha.
Nico men-swipe layar sentuh tablet, lalu segera terpampang ayahnya yang masih lengkap dengan pakaian ruang operasi. Firdaus mengarahkan kamera ke inkubator tempat adik Nico berbaring. Nico bersyukur ukuran sang adik tak sekecil yang ia takutkan. Lelaki itu menangis penuh haru, adiknya begitu tampan.
“Namanya udah ada, kak?” Ujar Silvia.
“Benedict Christopher Rotinsulu.” Nico dan sang ayah melafalkannya nyaris bersamaan.
Netha segera menutup mulutnya, semua pun terbawa dalam haru. Mereka memberikan nama mendiang kakak Nico sebagai nama adiknya.
“Mama?” Tanya Nico.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Think I Love You, Buddy (END)
RomanceFriend to Lover §§§ A bittersweet and (sometimes) naughty story about friends and (or to) lovers. §§§