Beberapa hari kemudian...
"Murungnya udahan atuh. Papa bahkan jauh lebih bersemangat dibanding kamu hari ini."
Nico yang masih bersandar di pundak Reno mendongak, mengernyitkan alis dengan heran. "Papa?"
"Iya. Papa Mathias, anak Papa Mathias sekarang nambah satu lagi. Aku, si bungsu." Tutur Reno sembari mengutak-atik ponsel melihat foto-fotonya selama empat hari di Manado.
"Ih kata siapa? Emang..."
"Kita kan udah nikah. Lupa?" Ujar Reno dengan tenang sembari
Nico terbahak lepas, "Gila. Siapa yang mau nikah sama kamu?"
"Will... Lo baik-baik aja?" Suara Andra bertanya dari sisi lain pesawat.
Para sahabat itu duduk sebaris kecuali Marco dan Fanny yang duduk di barisan tepat dibelakang William, Nico dan Reno.
"Hish." Dengus William seraya memandang malas kearah jendela di sampingnya. Ia terjebak di samping Nico dan Reno yang terus memamerkan kemesraan tanpa enggan sedikitpun lagi.
Para sahabatnya terbahak. "Makanya cari istri. Nyaman banget udah seperempat abad pacaran ama jari." Ujar Andra datar sambil tetap fokus pada game yang sedang di mainkannya di ponsel.
"Rese lo! Gue doain Kang Hamzah dapet yang baru di Helsinki!"
"Halah, nggak bakal. Gua udah punya jurus pemikat paling ampuh!"
"Apa tuh?" Tanya Yoyo.
"Ajian Pitnah!"
"Hahaha, apaan tuh?"
"Dijepit ngeunah!" (ngeunah : enak)
"Hahahaha, anjir goblok siah maneh!" Maki William seraya melepas scruff nya lalu melemparkannya ke atas paha Reno menutupi bagian tengah tubuhnya.
"Kenapa tuh?" Tanya Nico heran.
"Dasar bini gak peka, itu tekukur laki lo udah siap terbang dari tadi." Ujar William sembari memalingkan lagi wajahnya ke jendela pesawat.
Kembali derai tawa mereka menggema keras sampai mendapat teguran dari penumpang di barisan belakang mereka. William telah gerah menatapi gundukan di celana Reno yang tercetak jelas dari celana denimnya sedari tadi.
"Ya maaf, abis gua belum juga di kasih jatah sama sahabatmu ini sejak balik." Tutur Reno merajuk, Nico hanya tersenyum kecil sembari menatap wajah kekasihnya.
"Kasihan..." Goda Nico yang kemudian ditingkahi Reno dengan bergelayut manja di bahu sang kekasih. "Menurut kalian, kamar gua di Manado akan cukup untuk kekacauan yang akan kita buat setelah sebulan lebih terpisah. Bisa-bisa tante Yemima jantungan disana." Ujar Nico dengan tenang seraya mengelus pelan bagian tengah tubuh Reno yang baru saja di tutupi William dengan jaketnya.
Reno tersentak lalu melenguh keenakan tanpa bisa di kendalikannya. Semua itu dilakukan Nico di depan teman-temannya tanpa enggan, semua orang ternganga menyaksikan. William segera menyesali meletakkan jaket mahalnya itu di sana.
"Bangsat!" Tiba-tiba Fanny mengumpat mengagetkan Marco di sampingnya.
"Hus!" Sergah Marco.
"Kenapa Fan?" Tanya Nico.
"Gua lagi mens bangke!" Jawab Fanny sambil tetap menatap tangan Nico masih berada di balik scruff William.
Di samping Marco, Yoyo hanya tersenyum sembari meneruskan kegiatannya menggambar sketchbook miliknya. Hal itu sudah dilakukannya selama beberapa waktu terakhir. Saran dari Hans sebagai solusi kecil penenang hatinya. Sketchbook itu pun pemberian Hans untuknya.
"Bagus banget ih, Yo. Nanti aku di sketsa juga ya?" Sergah Netha melihat
Yoyo tersenyum lalu membuka lembar lain dari buku sketsanya. Ada gambar Netha yang duduk sendirian di salah satu bangku taman hotel tempat mereka menginap beberapa hari sebelumnya.
"Aaa! Bagus banget! Aku foto, yah? Di post di Insta?"
Yoyo tertawa kecil, "Monggo." Dengan semangat Netha segera memotret dan mengunggah hasil sketsa Yoyo itu di media sosial miliknya itu.
"Eh, eh... ini siapa nih, ganteng banget!" Sergah Netha seraya menghentikan gerak jemari Yoyo tanpa sengaja membuka salah satu lembar buku sketsanya itu.
"Ini Kang Hans, sahabat Kang Dika. Kamu belum pernah ketemu?"
"Ah, iya aku pernah ketemu sekali. Tapi kayaknya waktu itu rambutnya nggak gini deh. Agak brewok juga."
"Iya, belum lama ini dia potong rambut." Jawab Yoyo sembari menyempurnakan detail-detail di sketsa Hans yang diambilnya diam-diam kala keduanya sedang berkunjung ke salah satu toko barang antik. Fanny menyenggol lengan
"Kang Hans udah beberapa bulan ini getol ngedeketin dia. Tapi kamu tau sendiri. Dia kelihatan ngasih ruang sama Kang Hans untuk bebas nunjukin perasaan. Tapi sejauh ini gak ada perkembangan."
"Ya ampun. Kenapa selalu aku yang telat tau sih. Hmm, aku gak yakin dia udah siap buat in relationship lagi. Dia mau gabung sama kita-kita gini aja udah syukur."
"My point exactly. Padahal sejauh ini kehadiran Kang Hans buat dia sangat membawa perkembangan hebat. Hmm, menurut kamu... Pemikiran bunda bakal gimana yah, kalau tau Yoyo sekarang lagi deket sama orang lain."
"Haduh... Aku nggak berani ngebayangin."
*
Beberapa hari kemudian...
"Kalian gak usah tegang begitu. Bunda udah tau kok gimana situasinya. Percaya atau enggak, Bunda bahkan bukan dengar itu dari Andika.
Fanny dan Netha akhirnya bisa menghembus nafas lega. Binar nyatanya telah tau maksud pembicaraan ketiga sahabat itu sebelum mereka mulai mengumpulkan niat menyampaikan. Hari ini setelah beberapa minggu mereka kembali berkunjung ke rumah Binar.
"Bunda udah lama tau?"
"Hmm, bunda beberapa kali menemukan mereka melayat berdua ke makam Ilham. Juga beberapa kesempatan lain yang untuk bikin Bunda bisa menilai. "
"Wah... Bunda sendiri gimana..." Tanya Fanny hati-hati.
Binar tersenyum seraya memasukan adonan kue yang baru selesai mereka buat ke dalam loyang lalu memasukkannya ke dalam oven. "Bunda itu akan bahagia kalau Yoyo semakin bisa jadi lebih baik kedepannya. Yoyo sudah menjadi anak Bunda, yang terbaik untuknya adalah kebahagian bunda juga. Bunda tau, Ilham juga sepemikiran."
Fanny merangkul Bunda mereka itu dengan hangat. Rumah almarhum Ilham masih menjadi tempat ternyaman mereka.
Tak lama berselang Andika pulang bersama Hans dan Vanya, ketiganya baru saja kembali dari sebuah perjalanan bisnis di Jakarta. Raut letih tergambar jelas di wajah-wajah mereka. Dalam tiga hari terakhir ketiganya nyaris tak memejamkan mata. Netha dengan cekatan membantu menurunkan beberapa bungkusan oleh-oleh yang dibawa dari sana.
"Ckck, calon mantu idaman emang." Sindir Fanny. Hanya di jawab oleh juluran lidah oleh Netha.
Netha membawa semuanya langsung ke meja makan sebelum menghampiri Binar membantunya menghangatkan teh jahe yang sudah ia buat sembari ketiga anaknya itu merenggangkan sendi-sendi mereka di sofa.
"Menang proyek kok mukanya pada kusut gitu."
"Hehe. Tulang pada remuk semua ini, bunda." Sahut Vanya. "Vanya bantu, bunda."
"Ih, gak usah. Istirahat atuh neng geulis. Istirahat dulu aja, nak Hans mau... Eh."
Semua takjub melihat Hans yang sudah terlelap dengan dengkur halus terdengar darinya.
"Dia beneran gak tidur dua malam ini, bun. Tadi juga pas sampai langsung antar Yoyo pulang dulu sebelum kemari." Vanya tercekat oleh ucapannya sendiri. "Bunda..."
"Haduh, kalian ini. Bunda akan sangat bahagia kalau merekam jadian cepat-cepat terdengar." Sergah Binar seraya mengisi gelas-gelas dengan teh jahe, aroma jahe yang - menyamankan segera tercium.
"Ayo di minum, nak, Vanya... Biar segar lagi." Ujar Binar seraya meletakkan nampan di atas meja lalu mengambil ransel dan jaket Andika dari sofa.
"Bunda, biar Dika aja."
"Udah, kamu minum aja." Ujar Binar seraya melangkah menuju kamar Andika.
Kue di oven telah matang sekembalinya dari kamar, cake jahe dan keju. Salah satu kesukaan mendiang anak keduanya. Binar melangkah menghampiri Hans seusai mengeluarkan kue dari oven.
"Hans. Bangun dulu..." Binar hanya menepuk pelan pundak Hans, tapi ia kemudian terbangun dengan tersentak hingga berdiri tegap menimbulkan tawa dari semua yang melihat.
"Ma-maaf bunda, Hans... Ketiduran."
"Udah duduk aja, minum dulu ini teh jahe biar kamu balik seger lagi. Ada kueh juga. Kalian udah pada makan malam kan?"
"Udah bunda, tadi nyampe Bandung langsung nyari makan. Ah, Hans nya nyusul setelah nganterin Yoyo pulang."
Hans tersedak kecil dengan seruputan teh jahe yang ia minum, Binar tersenyum seraya menyerahkan piring kecil berisi potongan cake.
"Hmm, bunda tunggu kabar kamu berhasil naklukin hati Yoyo. Ini di makan dulu kue nya."
Hans melongo bingung mendengar ujaran singkat Binar tersebut. Yang lain hanya tersenyum kecil karena sudah terlebih dulu memahami. Hans meminum teh dan memakan kue buatan Binar dalam kebingungan, "Yang harus kamu khawatirkan bukanlah bunda, tapi ibu Yoyo. Ibunya itu keras, lebih-lebih setelah bagaimana sulitnya Yoyo bangkit setelah kepergian Ilham." Suasana tentu berubah sedikit setelah ucapan Binar tersebut.
"Panjang umur nih anak." Desis Andika sembari memakan kueh.
Nico dan Yoyo tiba dengan motor Reno.
"Nico datang, Bunda!" Seru Nico seraya menghampiri Binar lalu mencium tangannya.
"Berisik lo, laki gua mana?" Cetus Fanny.
"Reno?" Ujar Vanya, Nico menunda menjawab akibat sedang mengunyah kue di mulutnya.
"Laper ama rakus beda tipis."
Yoyo kemudian memberi salam pada Binar sebelum duduk di samping Hans, di hadapannya Hans berusaha keras menyembunyikan raut bahagianya. "Makasih tadi yah, Kang. Aku gak tau Kang Hans mau kesini juga. Tau gitu tadi bareng aja."
"Gak apa-apa." Jawab Hans kaku.
Andika terbahak kecil berhadiahkan sikutan dari Vanya. Tindakan Yoyo selanjutnya lebih menghenyakkan lagi. Dengan santai ia mengambil tissue lalu mengelap sisa kue dan teh di ujung bibir Hans dengan santai.
"Kebiasaan."
"Yah, gimana nggak klepek-klepek kalau kayak gini." Desis Fanny dengan datar. "Heh, laki gua mana kunyuk! Datang ke bunda cuma tiap ada makanan enak aja lo!" Sentak Fanny membuat Nico tersedak kecil dengan teh jahenya.
"Rese lo!" Sergah Nico. "Marco sama Reno lagi di bengkel Alfons. Betulin mobil Will, biasalah lelaki gratisan. Si Alfons juga mau aja dibego-begoin sahabat-sahabatnya itu."
"Oh, bagus dong. Udah pinter mereka mikirnya." Jawab Fanny dengan santai.
"Hahaha, lupa gua lagi ngomong sama emak-emak matre."
"Hus, udah-udah. Kalian udah makan semua? Nico, Yoyo?" "Yoyo udah, bunda. Tadi ibu kirim makanan."
"Nico belum tante... Rendang yang kemarin masih ada nggak bunda?"
"Ya Tuhan." Gumam Fanny.
Binar tersenyum membelai rambut Nico tak lama. "Dika, tolong hangatin rendangnya yah nak, sama lauk yang lain juga. Bunda mau buat cap cay."
"Siap, bun."
"Yo, boleh bantu bunda sebentar?"
"Iya, bunda."
"Yang lain lanjutin minum teh aja."
Binar mengajak Yoyo membersihkan wortel dan kacang panjang di dipan halaman belakang. Langit malam sedang menurunkan hujan namun tak begitu deras, bulan bahkan masih cukup terang bersinar. Yoyo membantu dalam diam, tak ada pembicaraan dari keduanya untuk beberapa saat.
Yoyo benar-benar menjadi karakter yang berbeda semenjak kepergian Ilham. Meski telah jauh membaik dari depresinya, ia telah menjadi sosok yang jauh lebih tenang bahkan cenderung pendiam. Nyaris kebalikan sempurna dari bagaimana dirinya sebelumnya.
"Kabar bunda gimana? Maaf Yoyo jarang kesini akhir-akhir ini, bunda." Ujar Yoyo setelah beberapa saat.
"Hus, dengan kesibukan kamu sekarang sudah untung kamu gak tumbang sakit. Bunda Puji Tuhan sehat, kamu juga jangan sampai sakit. Sesibuk apapun jangan sampai lupa makan dan minum vitamin."
"Iya bunda, pasti."
"Hmm. Yo, bunda boleh tanya?"
Yoyo mendongak menatap Binar. "Iya bunda."
"Hmm, menurut kamu Kang Hans gimana..." Yoyo tertegun mendengar ujaran Binar, masih tak menjawab hingga wanita itu melanjutkan kalimatnya. "Bunda bisa lihat dia tulus sama kamu."
"Maksud bunda?"
Binar tersenyum, "Kamu menjadi jauh lebih baik berkat di dampingi Hans sejauh ini, bunda rasa... Tak ada salahnya kamu membuka hati."
"Bunda..."
"Ilham pasti akan senang disana jika kamu bahagia." Ujar Binar dengan tersenyum.
"Yoyo gak tau apa akan pernah siap lagi menjalin hubungan, bunda."
Binar menggenggam jemari Yoyo. "Bunda paham. Gak ada yang perlu diburu-buru. Bunda gak akan mengutarakan jni kalau gak melihat bagaimana kamu juga punya perasaan yang sama pada Kang Hans."
Yoyo tersentak. "Yoyo nggak punya..."
"Bisa jadi juga bunda salah. Tapi menurut bunda, untuk saat ini apapun yang membuat kamu bahagia kejarlah dan nikmati itu sebanyak yang kamu mau. Bunda gak ingin kamu terlalu lama terpuruk dalam sedih, nak."
Hati Yoyo menghangat meningkahi ucapan ibu mendiang kekasihnya itu. Ia masih tak menjawab, Binar pun tak menuntut jawaban. Yang dirasa perlu disampaikan telah tersampaikan.
*
Satya memasuki pekarangan di susul Leo yang berjalan di belakangnya dengan cengiran kecilnya yang khas. Ia baru saja diselamatkan dari ketersesatan oleh Satya.
"Lo bukannya telepon aja. Jadi bini gitu amat."
"Biarin. Lagian malu-maluin banget. Udah berkali-kali kemari masih aja gak hafal jalannya."
"Lo kok mau sih sama perempuan macam ini?" Tanya Hans.
"Udah nasib gua kayaknya, Hans. Malam bunda." Ujarnya memberi salam pada Binar yang baru keluar dengan Tupperware berisi rendang dan capcay.
"Ini buat Leo, nanti pulang langsung makan. Bunda hafal kamu pasti belum makan malam."
"Waduh, haturnuhun pisan bunda. Leo sama Vanya permisi yah bunda."
"Vanya juga bunda."
"Iya, pelan-pelan aja nyetirnya Le..."
"Iya bunda." Ujar Leo sebelum menyalakan mobil membawa Vanya pulang.
Marco datang bersama Reno beberapa saat kemudian dengan mobil lain yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Marco keluar takut-takut menghampiri Fanny telah menanti dengan tatapan datarnya.
"Mobil kalian?" Tanya Fanny menatap kedua pria didepannya itu bergantian.
"Tanya dia! Udah gua bilang jangan maksain karena mesinnya udah afkir." Seru Marco cepat menyalahkan
"Suruh siapa lewat jalan rusak itu! Hih malah nyalahin gue." Sergah Reno tak mau kalah.
"Kalian mah dari dulu sama blegug. Ini mobil siapa?"
"Alfons, hehe."
Fanny terbelalak, "Bukannya mobil dia juga udah pernah kalian rusak yah?" Cetus Yoyo pelan. Binar tersenyum kecil melihatnya.
"Ya Tuhan. Huh... Punya laki gini amat." Ujar Fanny sembari memijat dahi.
"Mau tuker?"
"Laki lo sama aja, semprul."
"Udah, makin larut ini. Junior juga pasti nyariin mamahnya. Yoyo jadinya?"
"Yoyo bawa motor Nico aja bunda. Nanti..." Ujaran Nico terhenti oleh cubitan kecil disusul isyarat dari Fanny disampingnya yang langsung ia pahami.
"Ah iya, yang... Handbagmu mana?" Tanya Nico dengan lihai meningkahi situasi.
Reno yang ditanyai langsung panik mencari hingga kedalam mobil. Lelaki itu keluar dari mobil dengan muka kusut. "Ketinggalan di bengkel..." Gerutunya.
"As usual. Yo, kamu balik sama Kang Hans boleh nggak? Kan searah?" Tanya Nico yang langsung ditingkahi senyum senang yang tak bisa disembunyikan Hans lagi.
Yoyo yang sudah paham gelagat para sahabatnya sejak tadi tersenyum kecil sebelum bersuara. "Kang Hans nya mau nggak nganter dia, mana tau ada urusan." Ujar Andika tiba-tiba.
"A...aku udah gak ada urusan lagi, kok." Sergah Hans cepat mengundang tawa keras dari semua orang.
"Yaudah, beneran mau hujan ini bentar lagi. Hati-hati di jalan semuanya." Perintah Binar.
Muda-mudi itu segera naik ke mobil-mobil yang ada. Binar mengamati semuanya dengan senyuman, mereka tak ubahnya adalah anak-anaknya juga. Sekali dua kali dalam mimpinya ia masih bisa melihat Ilham ikut serta dalam kebersamaan kelompok sahabat itu.
*
Hujan sudah turun cukup deras saat mobil Hans tuntas mengantar Yoyo hingga tiba di kosannya. Lelaki itu melepas sabuk pengamannya sebelum berbalik menggapai sesuatu dari jok belakang, sebuah payung.
"Makasih, Kang. Habis ini langsung istirahat, pasti capek banget seharian ini." Ujar Yoyo sembari menerima payung dari Hans dan melepas sabuk pengamannya.
"Kamu juga, bentar lagi perusahaan kalian bakal sibuk parah tuh. Selagi masih punya waktu istirahat dimanfaatin." Jelas Hans.
"Sip, aku masuk yah Kang." Ujar Yoyo. Hans mengangguk sambil tersenyum.
Yoyo sudah membuka pintu untuk keluar sebelum kemudian terdiam. Ditutupnya kembali setelah beberapa saat sebelum ia berbalik demi melakukan sesuatu yang nyaris membuat jantung Hans lepas dari tempatnya. Yoyo berbalik meraih leher Hans, menariknya sebelum mendaratkan sebuah ciuman lembut ke bibir Hans. Ciuman yang singkat namun cukup untuk membuat Hans terbang ke angkasa. Yoyo tersenyum setelahnya lalu keluar dari mobil dan masuk ke pekarangan kosannya. Hans yang terperangah masih berada di dalam mobilnya itu untuk jeda waktu yang tak singkat.
To Be Continued

KAMU SEDANG MEMBACA
I Think I Love You, Buddy (END)
RomanceFriend to Lover §§§ A bittersweet and (sometimes) naughty story about friends and (or to) lovers. §§§