Part 17

1.1K 80 2
                                    

Malam Pengakuan

"Fanny! Lagi? Ya ampun kita bisa telat kalau gini!" Kicau Netha kesal.

Fanny baru saja terbirit meninggalkan mereka bertiga menuju toilet, mereka akan menonton film. Ia, Fanny, Marco dan Yoyo. Beberapa menit lagi film mereka akan di mulai.

"Kalian masuk aja duluan, gua nungguin dia."

"Yaudah, ayo Yo! Aku gak boleh kelewat sedetik pun film ini!"

Yoyo hanya bisa mendesis lesu mengikuti Netha yang menggaet tangannya menuju ruang bioskop.

*

Marco bergegas mendekat begitu Fanny terlihat di ujung koridor. Gadis itu terlihat lemas dan agak pucat.

"Kalo sakit ngapain datang sih Fan, bukannya istirahat aja?"

"Udah terlanjur janji, Co. Lagian ini ulang tahunnya, gak enak."

"Ya gak apa-apa juga kan, dia juga pasti ngerti. Aku anter pulang aja?"

"Jangan, udah mendingan kok. Ayo kesana, lagian disana bisa istirahat kan."

Marco mendengus resah, keduanya pergi juga menuju ruang bioskop yang di maksud.

*

Mereka kini bertiga di dalam mobil, baru saja kembali dari mengantar Netha ke rumahnya. Nyaris saja berakhir ditahan ibunya untuk bermalam disana seperti sebelumnya tapi masih berhasil mengelak.

"Eh sana ada yang jual bandrek, kalian tunggu bentar gua beli dulu."

Sepeninggal Marco, Yoyo bersuara juga. Demi mencari jawaban atas keanehan Fanny sejak kembali dari bioskop tadi.

"Lo pengen ngomong apa?"

"Hmm..." Fanny menunduk resah, masih ada jeda cukup lama. "Yo, please keep it a secret. Gua udah putus asa mau nyeritain ini ke siapa. Gua juga bisa gila kalo nyimpen sendirian tanpa ada pencerahan."

"Lo tau gua, kan? Cerita aja, kalau emang lo mau cerita."

"Hmm, Yo... Kayaknya gua hamil deh."

"..." Yoyo yang sudah mempersiapkan diri untuk yang terburuk masih terdiam mendengar jawaban sahabatnya itu. "Hamil? Lo yakin?"

"Iya... Udah gua tes dua kali."

Dengus nafas berat Yoyo terdengar kemudian, "Siapa?"

Jeda lagi, namun Yoyo tak mau mendesak. Ia paham situasinya.

"Marco." Ujar Fanny kemudian.

"Marco?" Sahutan cepat Yoyo itu terdengar nyaris seperti teriakan.

Teriakan lainnya mungkin sudah menggema setelahnya jika saja pintu depan tidak terbuka, Marco sudah kembali membawa tiga cup bandrek dan sebungkus gorengan.

"Lagi ngomongin gue kalian? Dasar! Ngomong apa sih? Nih bandreknya. Lo minum cepet, biar peningnya hilang."

"Siapa juga yang lagi ngomongin lo."

Selanjutnya perjalanan mereka diisi keheningan. Tak ada yang bersuara sampai mobil Marco tiba di depan kosan Fanny. Marco terlalu peka untuk tak paham apa yang menyebabkan kekakuan suasana sepanjang perjalanan pulang ini, apa yang ada di benak kedua sahabatnya itu. Namun ia sendiri tak jua berhasil menyusun kata yang cukup pantas untuk bertanya.

*

Ponsel Yoyo bergetar begitu mobil Marco memasuki lorong kosannya, panggilan dari Nico.

"Halo Nic."
"Bro, lo dimana? Lagi gawat nih!"
"Gawat apa lo, gue lagi nggak mood ladenin prank konyol." Tanpa sadar Yoyo menjawab dengan ketus dan nada suara yang meninggi.
"Ketus gitu. Gua mau minta tolong, sahabatku."
"Hmph, minta tolong apa?"
"Ini, kosan gua sama Reno kebanjiran, air kamar mandinya meluap. Sekasur-kasurnya bahas in the. Kita nginap di lo dong malam ini, ya?"
Segera Yoyo menyesali sahutannya yang setengah membentak pada Nico tadi.
"Oh, yaudah datang aja."
"Asik! Thanks bro, you are the best! Come on, yang. Off to go! Eh..." Ada jeda sejenak, "See you there ya, bro..." Kemudian sambungan terputus.
"Siapa?" Tanya Marco.
"Nico, katanya kosannya kebanjiran, mau nginep di gua ni malem."
"Wah, bagus dong. Gua juga pengen nginap di lo ni malem. Hahaha."
"Ah, kalian kira kosan gua lembaga sosial."

I Think I Love You, Buddy (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang