Part 8.3

1.6K 95 3
                                    

Seketika semangatnya kembali pulih. Di sekanya wajahnya yang sudah basah dengan airmata, lalu segera bergegas menuju mobilnya. Ia beruntung, Tuhan masih berbaik hati menganugerahkannya sosok-sosok yang teramat mencintainya. Keluarga. Waktu dan didikan Firdaus dan Marlina telah cukup membekalinya untuk bersikap dewasa, untuk tidak terpaku pada keterpurukan atau emosi sesaat. Ia hanya perlu berbakti lebih dan lebih lagi pada keluarganya itu. Soal Leo dan Rani, nanti pasti ditemukannya cara untuk menangani keduanya. Ia tak sabar bertemu Nico, ayah dan bunda.

Tapi rahasia takdir...
Tak ada yang bisa menerka...
Tak ada yang bisa merubah...

Satu detik.
Satu detik saja waktu yang dibutuhkan sang ilahi untuk melenyapkan secercah cahaya yang baru saja memberi harapan, kembali kepada gelap sebelumnya. Kali ini untuk selamanya.

Dengan tersenyum ia nyalakan mesin motornya itu.

Mobilnya terparkir tepat di pertigaan, dimana arah berlawanan dari arah Ben memasukan mobilnya ke arah pantai adalah sebuah jalan menurun nan curam yang bersimpang langsung dengan jalan raya.

Tepat setelah saat ia siap berangkat, pandangannya menangkap sebuah mobil box air minum yang melaju sangat kencang dari arah berlawanan, entah pengemudi yang mabuk atau sama sekali tak ada seorang pun didalamnya. Mobil itu bergerak tak beraturan menuruni bukit tajam itu.

Lalu tak jauh di hadapannya, ada seorang anak kecil yang entah bagaimana telah berada jalan raya, terus dan terus mendekati persimpangan. Memainkan sebuah balon yang diikat dengan sehelai tali.

Waktu seolah melambat, secepat yang ia bisa Ben memutar posisi mobilnya ke arah jalan.

Satu detik saja, waktu yang dibutuhkannya untuk membuat pilihan.

Ia tau seberapa besar laju yang dibutuhkannya untuk setidaknya membelokkan arah mobil jahanam itu hingga tak mengenai si anak.

BRAKKK!!!

Benturan yang amat hebat terjadi. Bagian belakang mobil Ben sampai terangkat beberapa derajat keatas sebelum kemudian menghentak kembali menyentuh. Kaca depannya pecah berhamburan, beberapa menyayat wajah Ben. Tubuhnya tersentak kedepan hingga dadanya menghantam setir. Namun sabuk pengaman masih berhasil menahan tubuhnya.

Usahanya berhasil, laju mobil jahanam itu berhasil di hentikannya. Terlambat sedetik saja, nyawa si anak tentu sudah melayang.
Terdengar teriakan histeris seorang wanita sesaat kemudian, sekali lihat Ben langsung tau itu ibu si anak. Wanita itu berlari tunggang langgang mendekati si anak lalu membawanya menepi. Seketika lokasi itu dipenuhi orang-orang sekitar.

Seorang lelaki berumur mendekati Ben, dengan usaha keras pintu yang sudah agak penyok berhasil dibukanya. Lelaki itu berairmata, segera bergerak membantu Ben melepas sabuk pengaman lalu memapahnya ke luar.

"Terima kasih banyak nak, Terima kasih. Saya tak bisa membayangkan apa yang sudah terjadi pada cucu saya jika tidak ada anak. Ayo, saya antar ke rumah sakit sekarang.

Ben masih berusaha tersenyum ditengah nyeri yang sedang dirasakannya nyaris di seluruh tubuh.

"Saya tidak apa-apa, pak. Cuma tergores sedikit saja."
"Tidak apa-apa bagaimana, ayo jangan membantah. Bapak antar sekarang juga." Sergah si bapak cepat, Ben akhirnya menurut saja.

Lelaki tua itu memapah Ben beberapa langkah kedepan sebelum Ben tersungkur ke tanah tepat setelah melewati jalan raya. Dadanya merasakan sakit yang teramat sangat menusuk menyiksanya, memberi perih yang terasa sampai ubun-ubun.

"Nak, ya Tuhan kamu tak apa-apa? Nak?"
Tak sampai semenit kemudian Ben terkapar tak sadarkan diri. Lelaki tua yang tersentak itu segera bergegas begitu melihat lelehan darah segar keluar dari mulut Ben.

"Tolong bantu, tolong!" Beberapa lelaki ikut membantu mengangkat Ben masuk kedalam mobil si bapak.
"Hati-hati, tolong pelan. Sepertinya luka dalam."

Pria tua itu melajukan mobilnya secepat yang ia bisa menuju rumah sakit terdekat. Darah masih terus mengalir dari mulut Ben.

*
"Kok lama sekali sih, pa? Sudah lebih setengah jam! Bukannya tadi dia bilang dekat."
"Sabar, ma. Mungkin macet, kan jam pulang kantor."
"Atau singgah membantu siapa saja yang dirasanya butuh bantuan di jalanan, mama tau kak Ben kan?"

Marlina yang gelisah tersenyum kemudian mendengar ujaran Nico. Benar sekali, putra angkatnya itu paling tak bisa membiarkan jika melihat ada yang butuh bantuan dimana saja. Lansia yang ingin menyebrang, pengamen yang bernyanyi mengharapkan satu dua rupiah, atau apapun. Tak ada alasan untuk tak mencintai sosok putra sulungnya itu.

Star shining right above you...

Dering ponsel Nico menggema tak lama kemudian. 'Kakak' tertulis di layar.

"See? Pasti sudah sampai." Nico segera mengangkat panggilan.

Marlina yang yak sabar segera merebut ponsel dari tangan Nico.

"Halo, Nak? Kenapa lama sekali, mama udah gelisah nungguin kamu!"
"Maaf, ini dengan keluarga Benedict?"
Bukan suara putranya yang terdengar.
"Hah? Oh... Iya, saya ibunya."
"Maaf bu, anak ibu baru saja mengalami kecelakaan mobil. Sekarang tidak sadarkan diri, kami sedang dalam perjalanan ke RS. Kandou."

Ponsel terjatuh dari tangan Marlina, seraya tubuhnya yang kemudian tersungkur pingsan.

END FLASHBACK

I Think I Love You, Buddy (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang