Miu mengembalikan kembali bola tenis yang diservis oleh Juli kepadanya. Dengan lincah, Juli balas memukul bola tenis dan diarahkan kembali kepada Miu. Sabtu pagi ini, cuacanya cerah. Sinar matahari pagi yang tidak terlalu menyengat membuat keringat semakin deras mengucur dari tubuh keduanya. Selain Miu dan Juli, ada beberapa orang lain yang datang ke lapangan tenis untuk bermain. Jelas mereka tidak mengenal semua orang itu karena mereka adalah pengunjung.
Mungkin, Miu tahu beberapa. Namun, ia juga kadang tak terlalu peduli karena lebih fokus dengan bola tenisnya. Terusan khusus olahraga tenis dengan logo buaya di dada kirinya sudah basah oleh keringat. Juli berhenti memukul bola, membiarkan Miu memenangkan permainan ketika melihat wajah Miu yang sedikit memerah meski sudah memakai topi tenis untuk menghadang cahaya matahari. Miu terengah, menatap Juli dengan alis terangkat.
"Kenapa?" tanya Miu dengan wajah heran, mendekat ke arah net sambil menatap Juli.
"Mukanya Non Miu udah merah," kata Juli mengingatkan.
Miu langsung membulatkan bibir, berjalan keluar dari lapangan dan berteduh ke tepi lapangan seraya menyeka keringatnya. Ia melepaskan topinya, membenarkan kuncir rambutnya lalu memakai topinya lagi. Juli menyerahkan minuman yang dibawanya di tas yang diletakkan di tepi lapangan. Isinya ya barang-barang Miu dan baju ganti. Juli berdiri di tepi lapangan, dekat dengan jalan yang biasa dilalui pemain tenis lain jika ingin keluar masuk lapangan.
Saat ada orang yang lewat, terutama laki-laki, mereka akan mulai bersiul sambil menatap Juli atau Miu dengan tatapan mesum dan menggoda. Terang-terangan menatap keduanya penuh minat. Miu biasa hanya membalas dengan tatapan tajam dan wajah garang sampai lelaki yang menatap mereka buang muka. Dan seperti biasanya, Miu kembali mendengar siulan yang menggoda mereka.
Perempuan itu memutar matanya, mendapati dua sosok lelaki yang melewati mereka sambil tersenyum-senyum. Kebetulan, suasana hati Miu tidak terlalu baik sejak kemarin karena sedang menstruasi. Perempuan itu kemudian mendelik garang kepada keduanya.
"Apa lo?" ketus Miu menantang, membuat keduanya langsung pergi tetapi sambil tertawa-tawa. "Anjing!"
Melihat suasana hati Miu yang sedang tak baik, Juli langsung turun tangan. Perempuan yang sembilan tahun lebih tua dari Miu itu langsung mengajaknya pulang.
"Non, udah panas. Pulang ya?" ajak Juli dengan nada membujuk.
Miu melirik Juli sejenak, mengangguk dan meraih tas kecilnya. "Jul, tas raketnya mana?"
"Ketinggalan di mobil, Non," kata Juli.
"Oh. Ya udah." Miu membawa raketnya, membiarkan Juli membawa tas besar dan raketnya sendiri. "Gue mandi di rumah aja, Jul. Kayaknya ramai di kamar mandi sini."
"Iya, Non."
Lalu, mereka berjalan keluar dari lapangan tenis bersama. Miu tidak banyak bicara. Biasanya, perempuan itu akan berceloteh soal apa yang akan ia beli hari ini. Hal itu jadi pertanda jika suasana hati Miu sudah tujuh tingkat lebih buruk dari sebelumnya. Juli hanya diam, berdoa dalam hati semoga ia tidak membuat kesalahan hari ini dan membuat Miu marah besar.
Mungkin, ia akan menuruti semua yang Miu mau khusus untuk hari ini daripada dapat amukan dari bos kecilnya.
Namun, bukannya Juli yang membuat masalah, malah orang lain yang membuat masalah. Belum juga mereka sempat menuju pintu keluar, dua lelaki yang bersiul tak sopan pada mereka menghadang.
"Hei, mau ke mana? Udah selesai main, ya?" Seorang lelaki yang mungkin hanya satu kepala lebih tinggi dari Miu menatapnya.
Miu mengerutkan kening saat melihatnya. Laki-laki itu tidak tampan sama sekali, cuma punya kulit putih saja. Laki-laki yang satunya juga sama saja. Dua-duanya hanya sedikit tinggi dan punya tubuh yang kurus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bratty Wife
RomanceWarn! Mature Content 21+ Kepalang geram dengan tingkah Miu Adistya yang manja, kedua orang tua Miu memutuskan menjodohkan sang anak bungsu dengan lelaki dari keluarga Kanagara. Tentu saja, hal itu membuat Miu memberontak. Pasalnya, Rasendriya Kanaga...