Rasen harusnya menemani Miu ke butik gaun pengantin, menemui desainer gaun pengantin perempuannya dan melihat langsung bagaimana gaun pengantin itu jatuh di tubuh Miu. Sayangnya, karena pekerjaan, ia tidak bisa datang walau sangat ingin. Sebagai gantinya, Rasen menawarkan supaya mereka mencari cincin kawin bersama. Rasen sudah tiba di toko perhiasan, melihat-lihat model cincin yang tersedia dan menunggu Miu.
Namun, perempuannya tidak datang juga. Rasen berkali-kali mengirimnya pesan, meneleponnya juga dengan hati resah. Ada apa? Mengapa Miu tidak tampak juga batang hidungnya? Apa Miu kembali ingin membatalkan pernikahan mereka? Tapi kenapa?
Rasen sudah overthinking tak karuan memikirkan hal itu, sampai ia menerima telepon dari Miu yang mengabarkan jika ia mengalami kecelakaan mobil. Rasen tidak tahu separah apa, tetapi mendengar kata kecelakaan mobil, jantungnya langsung berdebar-debar ketakutan. Rasen kesulitan bernapas sepanjang perjalanan, berusaha keras untuk tetap tenang. Namun, air matanya terus mengalir.
Jeremy tidak bisa menenangkan Rasen, karena ia sendiri pun tidak tahu harus berbuat apa saat melihat Rasen yang menangis dalam diam. Ketika mobil mereka tiba di lobi rumah sakit, Rasen langsung berlari keluar mencari Miu yang menunggu di ruang administrasi sambil membalas pesan dari teman dan keluarganya.
Miu kelihatan baik-baik saja, menyandang tasnya di bahu walau ia kelihatan seperti menahan sakit di lengannya. Begitu melihat Rasen, ia berdiri dengan tenang, melangkah hendak mendekatinya, tetapi Rasen berlari menghambur ke arahnya dan memeluknya erat-erat. Debaran jantungnya yang bertalu-talu menggila dapat Miu rasakan sejelas-jelasnya saat mereka berpelukan.
Miu bisa merasakan tubuh Rasen bergetar dan napasnya memburu. Pelukannya semakin erat, hampir membuat Miu kesulitan bernapas. Miu bisa mendengar isak tangis tertahan Rasen saat memeluknya. Miu yang tadinya ingin memprotes karena pelukan Rasen langsung diam dan mengurungkan niatnya.
"Princess," bisiknya dengan suara benar-benar pelan dan napas memburu. "Saya ... saya takut, Princess. Saya takut ... kehilanganmu juga."
Miu terdiam mendengar ucapan Rasen yang terbata. Dirasakannya lelaki itu semakin kesulitan bernapas. Menyadari jika Rasen mengalami serangan kecemasan lagi, Miu langsung membalas pelukannya erat, mengusap punggung Rasen berulang kali.
"Breath, Rasen," bisik Miu lembut. "Atur napas lo."
Namun, Rasen masih kesulitan bernapas. Miu mengeratkan pelukannya, tetapi tetap memastikan jika pelukannya tidak membuat lelaki itu kesulitan bernapas.
"I'm here. I'm okay. Breath, Rasen." Miu mencoba menenangkan Rasen. "Gue nggak akan ke mana-mana, gue di sini."
Berkali-kali, ia mengucapkan jika ia baik-baik saja, jika ia akan selalu di sini tepat di sisi Rasen dan memberi tahu Rasen supaya mengatur napasnya. Rasen perlahan bernapas dengan teratur, masih memeluk Miu dengan tubuh bergetar. Miu mengurai pelukan mereka, menatap wajah Rasen yang memucat.
Wajahnya terasa dingin, mungkin ia benar-benar ketakutan. Juga, air matanya membanjir, membuat Miu menangkup wajah rasen lembut, mengusap air matanya tanpa kata. Tatapan Rasen masih menampakkan ketakutan, takut jika Miu juga meninggalkannya. Sedikit banyak, Miu mengerti mengapa Rasen seperti ini. Lelaki itu sendiri yang memberi tahunya jika traumanya belum hilang.
Miu sudah dengar soal trauma Rasen dari mama mertuanya. Menurutnya, traumanya itu sudah mulai sembuh karena Rasen sudah jarang mengalami kecemasan seperti ini. Ia sudah konsultasi dengan psikiater dan kadang masih melakukannya jika merasa kurang baik. Namun, sudah beberapa tahun ini Rasen jarang menemui psikiaternya karena ia mulai bangkit.
Menyadari jika dirinya membangkitkan luka lama Rasen, membuat Miu merasa bersalah.
"Gue nggak akan ke mana-mana," kata Miu pelan, menatap Rasen lekat. "Jangan takut."
Miu tersenyum kecil, menenangkan lelaki itu sebelum melangkah maju, berjinjit dan mengecup bibirnya berulang kali sampai Rasen tenang. Walau sedikit kesulitan karena perbedaan tinggi mereka, Miu tetap mengecup bibir dan wajahnya berkali-kali. Berhenti saat merasakan tubuh Rasen berhenti gemetar dan memeluk lehernya.
"Udah tenang?" tanya Miu, menatap wajah Rasen lekat.
Rasen tidak menjawab. Ia sudah lebih tenang, tetapi hatinya masih cemas. Miu memutuskan untuk mencium bibirnya lagi karena tak mendapat jawaban.
"Masih takut?" tanya Miu lagi.
Rasen mengamati raut wajah Miu. Perempuan itu tidak bertindak seperti orang-orang yang sering melihatnya mengalami serangan kecemasan begini. Miu tidak menunjukkan raut wajah kasihan. Ia justru kelihatan tenang, seakan tanpa eskpresi, tetapi matanya berbicara lebih dari itu. Rasen melihatnya sejak di Lapangan Jajan waktu itu. Ada kepedulian dan pengertian, seakan Miu tidak mempermasalahkan jika ia tampak lemah.
"Maaf," bisik Rasen parau saat ia akhirnya bisa bersuara. "Maaf karena nggak bisa diandalkan pada saat seperti ini."
Miu hanya mendengkus, meraih wajah Rasen lebih dekat padanya.
"I." cup. "Don't." cup. "Fucking." cup. "Care!" cup.
Miu mengecup bibirnya bertubi-tubi, membuat Rasen hampir menangis lagi karena alasan yang berbeda. Perempuannya mempedulikannya dan hatinya benar-benar menghangat. Bahkan, Miu yang gengsian itu melemparkan gengsinya, mengabaikan di mana mereka berada dan mengecup bibirnya sampai ia tenang.
Rasen menarik Miu ke dalam pelukannya erat. Merasakan cintanya bertambah berat untuk sang dara. Kalau begini, mau Miu bertingkah seperti ratu paling tega di bumi pun, Rasen akan tetap mengejar-ngejarnya. Mau ditolak, dicaci dan dipermalukan juga, Rasen akan terus mengejar Miu, sampai Miu mau menerimanya.
"Makasih," kata Rasen pelan, masih terdengar parau karena masih belum sepenuhnya tenang. Terima kasihnya mengandung berjuta arti, untuk pemahaman Miu tentang kondisinya, untuk kasih sayang yang dicurahkan oleh Miu walau Rasen tau Miu bukan tipe yang suka mencurahkan kasih sayangnya seperti itu, dan yang paling penting, ada satu hal yang membuat Rasen berterima kasih kepada Miu. "Terima kasih karena kamu selamat, masih di sini, bersama saya."
Miu pikir, hatinya hampir tercabik saat mendengar suara Rasen yang berterima kasih kepadanya karena ia baik-baik saja. Lelaki itu benar-benar trauma dan benar-benar takut kehilangan dirinya. Miu tersenyum, tidak membalas karena ia tak pernah tahu bagaimana cara membalas ucapan Rasen. Ia hanya bisa membalasnya dengan tindakan, yaitu dengan balas memeluk tubuh Rasen.
"Dua keluarga udah panik, yang bikin panik malah lagi sayang-sayangan sama calon lakinya!"
Miu melepaskan pelukan Rasen perlahan, melirik ke arah Aidan yang baru tiba. Kakak keduanya itu masih mengenakan kacamata hitam dan pakaian super modis, yang bisa Miu tebak berasal dari pemotretannya. Sepertinya, Aidan buru-buru kemari setelah mendapat kabar darinya.
"Makanya dijodohin," sahut Miu datar.
Aidan mendengkus, mendekat pada Miu dan memeriksanya sekilas. Miu kelihatan baik-baik saja.
"Nggak ada luka, 'kan?" tanyanya lembut.
Miu mengangguk. "Paling linu, soalnya badan aku ngebentur setir sama air bag."
"Dikasih obat?"
"Iya."
Aidan menghela napas lega, menatap Rasen yang masih memucat. Namun, ia tidak mengatakan apa-apa dan hanya tersenyum.
"Jangan panik, Kak. Miu ini jagoan," kata Aidan menenangkan dengan nada ceria walau sebenarnya ia juga khawatir kepada Miu.
Rasen memberi senyum tipis, walau wajahnya masih belum tampak baik. Namun, ia lega. Ia bahagia jika perempuannya baik-baik saja. Dengan begitu, dunia Rasen juga baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bratty Wife
RomanceWarn! Mature Content 21+ Kepalang geram dengan tingkah Miu Adistya yang manja, kedua orang tua Miu memutuskan menjodohkan sang anak bungsu dengan lelaki dari keluarga Kanagara. Tentu saja, hal itu membuat Miu memberontak. Pasalnya, Rasendriya Kanaga...