PBE-04

513 55 6
                                    

Satu-satunya tempat yang akan didatangi Edzard ketika suasana hatinya kacau adalah rumah sang paman. Rumah berukuran sedang yang selalu ramai akan orang-orang yang berkumpul untuk mengopi dan berbincang bersama. Eron menyambut kedatangan sepupunya dan menyuruhnya masuk ke dalam rumah. Namun, Edzard menolak. Lelaki itu memilih duduk di teras rumah sembari menikmati pemandangan malam.  

"Mau kopi atau susu?" tawar Eron mengambil duduk di sebelahnya.

"Tidak usah repot-repot." Penolakan yang diberikannya, menyadarkan Eron bahwa lelaki tersebut tengah dilanda masalah berat.

Mata elang Edzard teralih pada gadis yang menuju warung kelontong pamannya. Ia tersenyum tipis tatkala gadis tersebut melambaikan tangan padanya. Dia adalah Zoya. Gadis yang bekerja di kantornya, sekaligus teman terdekatnya.

Eron berpamitan pergi untuk melayani pembelinya alias Zoya. Ia tak kembali lagi saat Zoya menghampiri sepupunya. Dua manusia itu sering menghabiskan waktu di sini hanya untuk membicarakan hal yang terjadi di masa lalu. Melalui tatapannya yang mendalam, Eron mengetahui jika tetangganya memiliki rasa pada lelaki tersebut.

"Tumben banget kamu ke sini," sapa Zoya yang baru melihat temannya berkunjung. "Itu muka, kenapa kusut banget, Zard? Kamu tidak lagi patah hati, 'kan?"

Zoya melepas tawa. Lelaki dingin itu sepertinya tak mungkin merasakan patah hati. Menjalin hubungan atau dekat lawan jenis saja tidak pernah. Kecuali, pada gadis yang dulu memonopoli Edzard dan adiknya.

"Ya sudahlah, aku pulang dulu. Assalamu'alaikum." Sebuah cekalan tangan menghentikan langkah Zoya yang langsung memutar tubuhnya. Ia mengernyitkan dahi, menatap bingung ke arah Edzard yang kini berdiri di depannya.

"Temani aku ke masjid," pintanya tanpa sadar menarik tangan Zoya. Gadis yang menatap linglung punggung lelaki yang masih menggenggam tangannya sampai tiba di masjid.

Satu hal yang membuat Zoya semakin melabuhkan hati padanya adalah karena ketaatannya dalam melaksanakan kewajiban sebagai muslim, meski tak tepat waktu. Edzard selalu meluangkan waktu di tengah kesibukannya untuk bersujud kepada Allah. Terkadang, ia mengingatkan orang terdekatnya untuk salat. Termasuk Zoya. Gadis yang berdiri di depan masjid. Manik matanya memandang Edzard yang sedang mengambil air wudu. Tetesan air yang mengalir dari rambutnya yang basah membuat Zoya terpana. Gadis itu segera memalingkan wajahnya yang bersemu merah.

"Pulang saja dulu, lalu ke sini lagi," titah Edzard, kemudian masuk ke dalam masjid.

Suasana tenang dan damai hanya bisa didapatinya di kampung kota yang menjadi tempat tinggal keluarga pamannya. Selepas menunaikan salat isya, Edzard beranjak menuju rumah Zoya yang letaknya beberapa meter dari masjid ini.

Zoya terperanjat ketika seorang lelaki muncul saat dirinya membuka pintu. Ia merasa bimbang. Kedatangan Edzard membuatnya merasa tidak enak. Rumah sederhananya tidak sebanding dengan rumah megah keluarga Evander, tetapi Edzard tak pernah mempermasalahkannya. Bagi lelaki itu, perbedaan kasta bukanlah penghalang untuk menjalin hubungan.

"Aku mau main di sini boleh?" tanya Edzard mengangkat sebelah alisnya.

Zoya mengangguk kaku. "Boleh kok. Silakan masuk, Zard."

Edzard mendudukkan pantatnya di sebuah karpet. Di rumah ini, tak ada sofa. Membuat Zoya merasa malu. Ia tidak bisa menjamu tamunya dengan kue-kue lezat. Ia hanya bisa menyuguhkan kopi hitam kesukaannya dan biskuit sebagai pelengkapnya.

"Ibu dan Bapak ada, Zoy?" Zoya menggeleng. Gadis itu menggigit bibir bawahnya saat Edzard bergegas keluar dari rumah. Ia terlupa jika Edzard dididik oleh keluarganya untuk menghargai seorang perempuan. "Ada adikku kok, lagi nonton televisi dia."

Pangeran Bermata Elang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang