PBE-19

402 47 4
                                    

Hari yang dihindari oleh dua insan itu akhirnya tiba. Acara akad nikah telah selesai sejak lima menit yang lalu. Dengan perasaan gugup, Elsye melangkah menuju lelaki yang sudah sah menjadi suaminya. Ia melirik ke arah sang ibu dan sang kakak perempuan yang menuntunnya.

Elsye menatap satu per satu keluarga sang suami yang tampak berseri-seri. Lalu beralih pada Ezra yang menghela napas panjang. Terbebas dari pernikahan dengan gadis centil yang selalu membuatnya risih, kini malah terjebak dalam pernikahan bersama office girl yang dibencinya.

"Mommy! Sekarang Eca punya teman bercerita di rumah!" serunya kegirangan.

Seumur hidup Elsye tak pernah merasa sangat gugup seperti sekarang. Ia memang bukan gadis yang alim. Akan tetapi, mengapa rasanya sangat sulit hanya untuk mencium punggung tangan lelaki yang sudah menjadi mahramnya?

"Kak Ez, malu-malu itu istrinya," celetuk Elan diiringi tawa renyah. Pemuda itu merasa gemas akan pasutri baru tersebut.

Tak mau mengabaikan momen yang sakral itu, si kembar dan Eisha memotret mereka. Meski sudah ada fotografer yang disewa. Elsye mencium punggung tangan suaminya sedikit lama atas permintaan adik-adik iparnya. Kemudian, bergantian dengan Ezra yang mencium keningnya.

"Sudah halal nih, Kak Ez, bisalah dilanjut setelah dua minggu menunggu," celetuk Eidlan yang langsung mendapat pelototan tuan dan nyonya Evander. Lelaki itu tercengir seraya menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

Setelah selesai, mereka bersiap menuju kediaman Evander untuk melakukan acara resepsi khusus keluarga. Karena rumah Elsye yang tak memiliki halaman yang besar membuat ia dan keluarganya menyetujui usulan tuan Evander.

Rasa pusing mulai menyerang Elsye. Gadis itu menoleh ke arah pria yang diam seribu bahasa. Perutnya mulai bergejolak ingin mengeluarkan sesuatu dari dalam. Dengan cepat, ia memukul lengan Ezra dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya menutup mulut rapat-rapat.

"Pak berhenti," pinta Ezra pada sang supir.

Setelah mobil berhenti, Elsye segera turun dan mengeluarkan isi perutnya. Beberapa mobil yang mengikuti dari belakang terpaksa berhenti. Desas-desus para tetangga yang memaksa ikut kembali terdengar. Mereka membenarkan asumsi bahwa Elsye tengah berbadan dua.

"Minumlah." Ezra menyodorkan air mineral yang sudah terbuka padanya.

Tanpa berpikir panjang, Elsye pun menerima. Ia meminumnya sedikit, lalu kembali masuk ke dalam mobil. Masih ada setengah perjalanan yang harus mereka tempuh. 

"Sebentar lagi sampai," ujarnya berniat untuk mengurangi kegelisahan gadis di sampingnya.

Para tetangga dan saudara Elsye terpukau melihat rumah mewah bak istana itu. Mereka yang semula menggunjingnya, kini berbalik memujinya. Elsye merasa muak dengan tetangganya yang tidak tahu diri itu. Ia harap, setelah dirinya menikah dengan lelaki kaya, maka keluarganya tak akan lagi mendapat hinaan dari mereka semua.

"Ayo silakan, acaranya ada di halaman belakang rumah," ucap salah satu pelayan yang disewa untuk acara hari ini.

Orang-orang mulai mengikuti pelayan yang menunjukkan arah menuju tempat acara digelar. Meninggalkan Edzard yang tersenyum masam. Ia telah dilangkahi oleh adiknya. Entah, kapan dirinya akan menyusul menikah.

"Nggak perlu iri, ada gue yang siap jadi istri lo, Edzard," bisik seorang gadis yang terkikik melihat raut wajah Edzard berubah tegang.

Zia tertawa lepas. Ia melambaikan tangan, lalu mengikuti semua orang. Edzard yang tak mau ditinggal pun segera berlari menyusul. Mereka menjadi orang terakhir yang menginjakkan kaki di halaman belakang yang disulap menjadi tempat acara resepsi pernikahan.

Pangeran Bermata Elang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang