Seorang anak perempuan menatap nyalang ke arah anak laki-laki seusianya. Ia berkacak pinggang sambil menghentakkan kakinya di aspal. Melangkah mendekati Zia dan adiknya—Narendra, teman sekelas Eisha. Mereka tiba di depan gerbang kediaman keluarga Evander yang bertepatan dengan kemunculan Emmanuel dan Eisha dari belokan kawasan kompleks ini.
"Sebentar lagi," ujar Emmanuel setelah memberi pesan singkat pada salah satu kakaknya untuk membuka gerbang.
Tuan Evander sudah tak lagi memperkerjakan orang di kediamannya. Memiliki banyak anak telah memberi banyak keuntungan. Erland tidak perhitungan apalagi pelit soal keuangan. Hanya saja, ia tak mudah percaya dengan orang baru. Orang-orang kepercayaannya dulu telah memulai kehidupan baru bersama keluarga kecil mereka. Semua pekerjaan rumah dikerjakan secara bersama-sama. Meski kebanyakan anak laki-laki, tak membuat mereka enggan membantu sang mommy. Justru Eisha yang notabenenya adalah perempuan sangatlah malas. Anak itu hanya akan membantu saat mencuci kendaraan di akhir pekan.
"Masuk," ucap Edzard seusai membuka lebar gerbang kediaman.
Zia bergegas masuk ke dalam mobil dan mengendarainya memasuki halaman. Emmanuel menunggu sang abang yang sedang menutup gerbang. Sementara Eisha sudah masuk lebih dulu, diikuti oleh Narendra.
"Apa ada Ezra?" tanya Zia berusaha menyamakan langkahnya dengan dua tuan muda Evander.
Edzard menggeleng, "Ezra menginap di rumah Elsye."
"Nggak masalah. Mungkin udah saatnya lo tau, Edzard." Zia mendudukkan diri di sofa. Ia tersenyum lebar pada si kembar yang tengah menonton televisi. Kemudian, ia menghampiri mereka dan ikut bergabung. Mengabaikan Edzard yang keheranan.
Suara gaduh dari arah tangga membuat lima pasang mata mengalihkan pandangan ke sumber suara. Mereka melotot melihat Eisha berlari mengejar Narendra yang menuruni undakan tangga dengan tergesa-gesa. Menghindari lemparan buku di tangan nona muda Evander.
"Sini kau, Narend! Aku tidak akan tertipu olehmu, lagi!" teriak Eisha pada temannya yang bersembunyi di balik tubuh Zia.
"Tertipu apa sih, Ca? Aku tidak berbohong. Aku hanya ingin menitip surat izin saja," seloroh Narendra merasa lelah pada anak perempuan yang selalu saja curiga padanya.
"Buka dulu suratnya, aku ingin baca. Jangan sampai aku kembali dipermalukan karena ulahmu," pinta Eisha melayangkan tatapan sinis.
Narendra menghela napas. Ia terpaksa merobek amplop putih yang sudah direkatkan, lalu memberinya kepada Eisha. Anak perempuan itu membaca dengan teliti rentetan kalimat yang diduga ditulis oleh Zia.
"Sekarang kau ganti amplopnya. Jangan lupa berikan itu pada guru," titah Narendra membuat nona muda Evander mencebikkan bibir.
"Memangnya kenapa harus mengecek suratnya dulu?" tanya Elan mewakili rasa penasaran semua orang.
Eisha memutar bola matanya malas. "Narendra pernah mengerjai Eca. Bukannya memberikan surat izin atau sakit, malah surat cinta. Eca malu saat dipanggil guru ke kantor. Eca dikira mengerjai guru dan berakhir dinasehati."
"Bukan salahku. Itu salahmu yang tidak mau mendengar penjelasanku lebih lanjut. Kau asal pergi begitu saja," timpal Narendra tak ingin disalahkan. "Tapi ingat, ya, bukan aku yang menulis surat itu."
Eisha mencebikkan bibir. Kejadian itu sudah berlalu, tetapi ia selalu merasa kesal saat mengingatnya. Tak mau berlama-lama beradu mulut dengan Narendra, Eisha pun melangkah menuju ruang kerja sang abang. Ia teringat jika di dalam ruangan itu terdapat amplop yang sengaja disediakan oleh sang mommy. Narendra yang teringat jika kakak perempuannya memiliki keperluan segera menyingkir dari sana. Ia menunggu Eisha di depan pintu berwarna hitam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pangeran Bermata Elang [END]
Ficção AdolescentePangeran bermata tajam bak elang itu mendapati kabar yang sangat memilukan hati. Kabar perjodohan tersebar membuat Edzard terpukul. Ia harus merelakan sahabat perempuannya menikah dengan sang adik. Ezra yang tidak mau menjalin hubungan dengan gadis...