PBE-34

349 47 6
                                    

"B-bisa kau minggir, Ez? Abang sudah terlambat," pinta Edzard gugup.

Ezra memberi jalan untuk sang abang. Selepas kepergiannya, ia melangkah memasuki ruang rawat istrinya. Lalu menyuruh Zion yang sejak tadi berjaga untuk menutup pintu. Melihat raut wajah datar Ezra, membuat Elsye menelan ludah dengan susah payah. Segala pemikiran buruk mulai merasuki. Ia teringat kekejaman suaminya saat di hutan kala itu, yang tak membiarkan para penculik tersebut bebas.

"Segera ganti pakaianmu. Kita pulang sekarang!" ucapnya seraya melempar sebuah paper bag ke arah ranjang pesakitan.

Elsye terdiam memandangi suaminya yang menatap lurus ke depan. Kondisi dirinya memang sudah lebih baik. Infus di punggung tangannya juga sudah terlepas sejak setengah jam yang lalu. Namun, haruskah mereka pergi tanpa menunggu mertua dan para iparnya?

"T-tapi Ba—"

"Tapi apa? Kau mau membuatku lebih banyak mengeluarkan uang untuk biaya rumah sakit?!!" bentak Ezra memotong perkataan istrinya.

"Jadi Abang nggak ikhlas?! Kalo nggak mau ngeluarin uang, nggak usah gaya-gayaan pilih ruang VVIP. Terus Abang juga nggak perlu bawa Elsye ke rumah sakit!!" pekiknya merasa sangat tersinggung.

Selama ini, mereka hidup memang menggunakan uang milik Ezra. Akan tetapi, dia tak perlu mengungkit pasal biaya rumah sakit. Karena seumur hidup Elsye, ia tak pernah dirawat seperti ini. Suaminya saja yang terlalu berlebihan, lalu menggerutu karena mengeluarkan biaya yang jumlahnya tidak sedikit.

"Berapa biayanya? Biar Elsye ganti. Termasuk baju ini," tukas Elsye merasa lelah dengan sikap seenaknya seorang tuan muda kedua Evander.

Tawa Ezra memenuhi ruang rawat ini. Tawa yang mampu membuat orang yang mendengar bergidik ngeri. Elsye berusaha untuk menutupi rasa ketakutannya. Aura yang terpancar di sekitar suaminya terasa begitu mencekam. Ia tak menyangka, jika saat murka Ezra akan sangat menyeramkan.

"Kau kembali pada dirimu sebelumnya. Apa karena berduaan dengan abangku, Edzard? Lelaki yang sempat menjadi tambatan hatimu?!"

Tubuh Elsye menegang. Ia menatap tak percaya ke arah pria yang beranjak meninggalkan ruang rawat ini. Perasaan sesak mulai menyelimuti. Tanpa sadar, air matanya melolos. Elsye gagal mengendalikan dirinya. Seharusnya, ia tak bersikap keras untuk menghadapi Ezra yang tengah dilanda amarah atau lebih tepatnya cemburu. Elsye tak dapat menentukan, jika sang suami telah mencintainya. Karena kepribadian Ezra sangatlah sulit dipahami.

"Nyonya, tuan Ezra menunggu di mobil," ujar Zion menyadarkan sang nyonya dari lamunan.

Elsye mengangguk, lalu melangkah menuju kamar mandi. Setelah berganti pakaian, ia mengikuti Zion yang memimpin jalan menuju parkiran rumah sakit. Pikiran wanita itu sangat kacau saat melihat Ezra duduk di samping kemudi. Sangat jelas bila pria tersebut tak ingin berdekatan dengan dirinya.

"Zion, berapa jam perjalanannya?" tanya Elsye yang harus menyiapkan diri sebelum memulai perjalanan.

"Tiga sampai empat jam, Nyonya," jawab Zion tanpa berani menatap atau melirik ke arah sang nyonya yang menghela napas panjang.

Satu jam ini masih cukup aman. Elsye memaksa dirinya untuk tertidur. Namun, di menit berikutnya ia tak kuasa menahan gejolak di perutnya. Ia segera meminta Zion untuk menepi, kemudian bergegas keluar. Elsye memuntahkan isi perut. Kepalanya terasa sangat pening. Ia sangat ingin menangis. Jika sebelum-sebelumnya, ada Ezra yang mengurut tengkuk leher dan memberikan sebotol air, tetapi sekarang tidak lagi. Pria itu sama sekali tak menunjukkan kepedulian terhadap istrinya sendiri.

Suara isak tangis samar-samar terdengar, membuat Zion gelisah. Ia tak bisa keluar mobil tanpa izin sang tuan. Ia juga masih sayang terhadap nyawanya sendiri.

Pangeran Bermata Elang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang